17. Konflik

9.2K 657 12
                                    

Susan sampai di kantin dengan perasaan kesal. Ia sedang tidak ingin ke kelas, toh, sebentar lagi bel akan bunyi.

Susan segera duduk di salah satu meja yang masih kosong, stelan memesan makanan segera minuman ia mengirim pesan kepada Sheva agar saat istirahat segera ke kantin.

Tidak lama pesanan Susan datang, ia memesan mi goreng dengan tambahan bakwan di atasnya. Serta pop ice rasa permen karet, jika saja ada pop ice rasa kacang pasti Susan akan selalu memesan minuman itu.

Saat bel berbunyi seketika kantin menjadi padat. Sheva sepertinya sedang mencari Susan diantara lautan manusia. Susan mengangkat satu tangannya, memberikan kode pada Sheva dirinya berada.

"Gue frustrasi." Sheva tanpa permisi mengambil minuman Susan dan menegaknya hingga tandas. "Gue tadi mentok, tinggal 2 nomor gue nyerah."

"Nyerah sih nyerah, tapi nggak usah minum punya orang juga." Omel Susan. "Ganti!"

"Iya, boneka Susanku." Sheva beranjak memberikan Susan minuman, dan membeli pengganjal perut untuk dirinya.

Byur!

Rasa dingin itu segera menyebar, hingga membuat Susan berjengit kaget.

"Jadi cewek jangan kegatelan, ngambil pacar orang sembarang. Jangan tukang tebar pesona!" Sentak Zara dengan emosi, dia sama sekali tidak terima Verga memutuskannya. Sudah bela-belain putus dari Ketos, eh malah di putusin. Jadi tentu saja dia tidak terima.

"Maksud lo?" Susan masih terlihat tenang, walau seluruh tubuhnya basah karena air yang entah dari mana. Tapi sepertinya itu adalah air es, karena air itu terasa dingin.

"Lo ganjen banget sama Verga, sampe dia minta putus dari gue. Dasar!" Susan menutup matanya saat tangan Zara melayang ke dekatnya. Tapi ia sama sekali tidak merasakan sakit, perlahan ia membuka matanya. Ada tangan yang menahan lengan Zara, mencegahnya agar tidak sampai ke Susan.

"Punya hak apa lo atur-atur apa yang gue suka? Gue putus sama elo bukan karena Susan, tapi gue malas ladeni cewek manja yang sok kayak lo!" Verga menatap Zara tajam. "Lo nggak berhak apa-apa tentang gue." Verga menghempaskan tangan Zara kasar.

"Tapi kamu suruh aku putus dari Bara, katanya kamu lebih sayang sama aku dari Bara. Kenapa sekarang malah berbalik!"

Verga tertawa dengan nada mencemooh. "Lo lupa gelar gue di sekolah ini? King PHO. Gue itu perusak hubungan orang, sebenarnya lo yang ganjen. Udah tau punya pacar gue deketin mau, gue suruh-suruh mau. Elo yang bego!" Verga tidak suka dengan kelakuan Zara. Hanya karena ia memutuskannya, Zara jadi melampiaskan semua ke Susan. Enak saja.

Perdebatan Verga dan Zara terhenti saat Susan pergi begitu saja dari kantin.

Ia menangis, iya seorang Susan menangis. Ia tidak suka di buat seakan-akan ia adalah dalang dari sebuah kejadian. Yang bahkan ia tidak tau.

Susan menggapai tasnya dan memakainya. Segera ia keluar dari kelas, tidak peduli tatapan penasaran dari teman-temannya.
"Susan!" Sheva mengatur nafasnya, ia tidak sanggup mengimbangi langkah Susan. Apalagi cewek itu sudah meminta ijin di guru piket.

"Bu, saya mau antar siswa yang tadi jadi saya permisi." Setelah guru piket mengangguk, Verga segera berlari mengejar Susan.

Susan berusaha agar air matanya tidak jatuh, sekuat tenaga ia berusaha agar tidak terisak.

"Susan," Verga menahan tangan Susan, membuat cewek itu berbalik.

"Lepas." Suara Susan tampak lemah, tidak ada tenaga. "Gue mau pulang, Ver."

Verga menggeleng tegas. "Nggak, lo sama gue." Verga menarik tangan Susan menuju tempat motornya di parkir.

"Gue bisa pulang sendiri." Susan masih berusaha melepaskan tangannya dari Verga, yang sepertinya tidak berpengaruh apa-apa.

"Lo balik sama gue." Verga menyalakan mesin motornya. Tangannya segera menggapai tangan Susan saat cewek itu hendak lari. "Naik."

"Nggak mau. Gue bisa pulang sendiri!" Nada suara Susan meninggi. "Gue nggak mau Verga." Susan hampir menangis.

Jujur, Verga tidak suka melihat cewek menangis. Walau sesungguhnya ia sering membuat banyak cewek menangis karena. Tapi, Susan beda. Dia tidak boleh menangis.

Verga menghela nafas. "Gue antar." Kata Verga lembut. "Gue nggak mau nanti lo kenapa-napa. Mau ya?"

Bagai sebuah sihir, kepala Susan mengangguk. Ia segera naik ke atas motor Verga. Melingkarkan tangannya di pinggang cowok itu, segera menumpukan pipinya ke punggung cowok messy itu.

"Nangis aja. Gue nggak masalah kok pungung gue basah." Verga melajukan motornya. Ia tau menangis adalah salah satu hal dapat menengkan.

Susan tidak tahan, ia segera menumpahkan semua tangisnya di punggung Verga. Bahan pelukannya pada pinggang cowok itu mengetat, memeluk Verga erat.

***

Verga sempat membawa Susan ke rumah itu. Tapi, rumah Susan kosong. Dan sepertinya akan bahaya jika meninggalkan Susan di rumah sendirian dengan keadaan yang berantakan seperti sekarang.

"Kok ke rumah lo sih?" Susan segera turun dari motor Verga.

"Gue takut ninggalin lo di rumah sendiri. Ntar lo melakukan hal yang aneh-aneh lagi." Verga membuka pintu rumahnya.

"Dih, gue nggak bakalan lakuin itu." Susan mendelik. "Gue balik aja deh. Nggak enak, lo juga di rumah sendiri."

"Lo takut gue apa-apain, ya?" Tanya Verga jahil. Susan mendelik.

"Pala lo!"

Verga tertawa. "Tenang aja. Gue nggak nakal kok."

Susan mendengus. "Gue balik aja. Gue gerah mau ganti baju."

"Pake baju gue aja. Susah amat, emang di rumah gue nggak ada air apa?" Verga mendengus gemas. "Lo mandi aja di kamar gue. Gue siapkan baju, lo ambil aja handuk yang ada di lemari."

Susan mengikuti Verga yang naik ke lantai dua.

"Gue nggak bakalan ngapa-ngapain, sumpah!" Verga mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, membentuk tanda perdamaian.

Susan menatap Verga dengan mata memicing, ia menghembuskan nafas. Ia sudah merasa sangat gerah, dan merasa badannya lengket. Susan meletakan tasnya di atas kasur Verga.

"Di kamar mandi lo nggak ada kamera atau CCTV, kan?" Tanya Susan curiga.

Verga berdecak. "Lo nggak percayaan banget sama gue. Nggak ada, sumpah. Belah dadaku kalau dinda tidak percaya." Verga berucap dramatis.

"Nama gue bukan Dinda," Susan mendengus geli.

"Udah sana mandi."

Susan segera masuk ke dalam kamar mandi. Segera menyegarkan badannya.

***

"Baju lo ukuran apa sih? Besar amat." Susan mencepol rambutnya dengan sembarangan. Verga yang berada di dapur menoleh.

"Itu aja baju gue waktu Smp, badan lo kecil sih." Verga menuangkan sirup ke dalam gelas.

"Kenapa lo kasih gue baju lengan panjang sih? Tenggelam tangan gue, turun-turun lagi bajunya." Gerutu Susan, tangannya tidak kelihatan lagi. Sudah tenggelam dalam panjangnya lengan baju.

"Terima aja kali." Verga memberikan gelas berisi sirup berwarna oranye itu ke Susan.

"Iya, iya." Susan menerima gelas itu dan menegaknya. "Enggak ada kacang?"

Verga mendengus geli, ia mengacak rambut Susan gemas. "Di otak lo adanya kacang doang ya?"

Susan mengangguk polos. "Kacang itu cinta pertama gue, dan suatu saat nanti akan ada cowok yang jadi cinta terakhir gue."

Verga tersenyum. "Gue, kan?"

Susan mendengus. "Pastinya bukan elo!"
. . .

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang