46. Cerita Masing-masing

7.4K 549 12
                                    

Pada minggu terakhir di bulan juli, pada hari yang tidak bersahabat. Langit yang mendung dan hawa dingin yang mengundang setiap orang untuk mencari kehangatan. Begitu juga Susan.

Hujan saat jam istirahat itu tidak mengasyikan, membuat siapapun yang berniat ke kantin harus rela terkena hawa dingin dari hujan, bahkan basah. Walau ada atap yang menaungi setiap jalan mereka, tapi tetap saja semua itu tidak dapat menahan hawa dingin yang menusuk.

Hujan deras dengan angin kencang yang terjadi di siang hari memang menyebalkan. Seperti kebanyakan orang di hari yang dingin, malas. Begitu juga Susan.

Menopang dagu di atas meja, Susan mendesah pelan. Meski telah memakai jaket, tetap saja hawa dingin tetap saja menusuk.

"Kantin nggak?" Sheva yang baru merapikan rambutnya bertanya, tanpa mengalihkan pandangannya pada Susan, Sheva sibuk dengan ponsel yang di gunakan sebagai cermin untuk berkaca, memastikan rambutnya telah rapi. "Heh, di tanya juga." Sheva akhirnya menoleh saat tidak kunjung mendapatkan jawaban dari temannya.

"Hm?" Susan menoleh. "Gue titip aja, mager kuadrat." Susan menjatuhkan kepalanya di atas meja dengan kedua tangan lurus dalam mode lemas di atas meja, di samping kepalanya.

Sheva berdecak. "Mana uangnya?" Susan merogoh sakunya masih dengan posisi yang sama dan memberikan uang jajannya untuk hari ini kepada Sheva. "Pesan apa?"

"Roti dan susu." Susan merebahkan kepalanya di atas meja menghadap Sheva.

"Agak lama, jangan marah." Sheva memeriksa penampilannya sekali lagi sebelum beranjak.

"Yang penting jangan sampe bel masuk." Sheva hanya bergumam sebelum berjalan, bertepatan dengan itu Rizky datang ke kelas Susan dan Sheva. Tentunya dengan orang yang Susan rindu, tapi ia tahan.

Susan melipat kedua tangannya dan menenggelamkan kepalanya di lipatan tangannya. Semoga orang itu cepat pergi. Sayangnya dewi keberuntungan tidak berpihak padanya.

Susan mengangkat kepala saat kursi di sampingnya bergeser yang menghasilkan suara, membuat Susan kaget.

"Lo ngapain?" Susan menggeser kursinya, berusaha agar orang yang menatapnya kini tidak sadar jika dia mencoba menjaga jarak.

"Gue bakteri ya?"

Susan menoleh dengan kaget. "Hah? Eh? Bakteri? Maksudnya?"

Verga menunjuk kursi Susan. "Lo menjauh."

Susan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal, tapi itulah reflek Susan saat di tanyai hal yang sulit ia jawab.

"Bakteri 'kan ada yang baik. Gue nggak menjauh kok, perasaan lo aja." Susan berusaha tertawa, rasanya merasa saat lawan bicaranya tidak memberikan ekspresi lain selain wajah datar.

"Dan gue bakteri jahat, right?"

Susan menggeleng. "Enggak lah, lo apaan sih." Susan tertawa, berusaha mencairkan suasana. Tapi tidak berhasil. "Oke, lo ngapain ke sini? Gue udah menjauh, jadi apa lagi yang salah?" Susan menyerah, lebih baik meluapkan apa yang ia rasakan.

Verga menggeleng pelan. "Cuma, mau menyapa teman."

Teman?

Susan tersenyum sinis, dari dulu judulnya Susan memang 'temam' sedangkan Lona 'sahabat jadi cinta' harusnya Susan tidak kaget.

"Benar juga." Susan mengangguk. "Nggak ke kantin?"

"Masih kenyang, tadi pagi gue  sarapan masakan Lona jadi masih kenyang."

Harus ya di ceritakan? Susan tidak mau tau kok.

"Oh," Susan mengangguk. "Gue ke toilet dulu." Susan beranjak, begitu juga Verga. Cowok itu mengikuti Susan. Padahal Susan sengaja beralasan ingin ke toilet agar bisa menjauh dari Verga, tapi cowok itu malah mengikutinya.

"Aduh!"

Saking fokusnya mengintip Verga dari ujung matanya, Susan sampai tidak melihat siapa yang ada di depannya. Bahkan tidak memperhatikan jalannya.

"Ngapain lo ngintilin Kakak gue  kayak kutu?" Susan yang tadinya ingin melempar sumpah serapah pada siapapun yang ia tabrak--walau jelas-jelas dia yang salah--langsung terdiam dengan wajah mendongak kaget melihat siapa yang ia tabrak, pantas saja tangannya langsung di pegang.

Verga diam, tidak menjawab. Sikap Brian benar-benar berubah semenjak kejadian lalu, sikap yang biasanya ramah berubah dingin dan panggilan yang biasa Brian gunakan hilang begitu saja.

Brian tersenyum sinis. "Gue udah bilang, jauhi Kakak gue." Brian menunjuk Verga yang berjarak hampir semeter darinya. Bahkan Brian tidak peduli jika beberapa anak mulai berhenti dan menonton kejadian yang tidak biasa ini.

"Gue cuma mau bicara." Verga akhirnya menemukan suaranya. "Gue cuma mau ngom--"

"Waktu lo buat ngomong udah habis, bahkan udah kadaluwarsa. Jadi lo nggak punya kesempatan lagi buat buka suara." Brian menatap Verga penuh benci. Jika bisa dia benar-benar akan memukul Verga sekarang juga, tapi jika dia melakukan itu bulan pertamanya di Sma akan berakhir dengan tidak baik.

"Udah." Susan mendorong Brian mundur saat adiknya itu terus saja maju. "Brian." Susan menahan kedua tangan Brian.

Brian yang telah terpancing memejamkan mata, berharap emosinya bisa reda dengan apa yang ia lakukan. Tanpa bicara, Brian menarik tangan Kakaknya.

Menyisakan hening untuk Verga.

***

Susan meremas kedua tangannya. Walau kadang terlihat cuek, dan terlihat tanpa ekspresi di depan orang lagi, saat marah Brian bisa berubah menjadi orang lain.

Seperti sekarang, Susan duduk di kursi kayu, sedangkan Brian bersandar pada tembok dengan rahang mengeras. Benar-benar tidak bersahabat.

"Dia cuma mau bicara, Brian." Susan sekali lagi membuka suara, setelah tanggapan berulang kali yang ia dapat dari adiknya hanya lirikan tajam.

Brian melirik sang Kakak, matanya tajam. "Gue nggak peduli, Kak. Sekali gue bilang jauhi, ya jauhi. Lo mau gue buat orang itu masuk rumah sakit?"

Susan menggeleng pelan, walau terlihat biasa, Brian SD hingga SMP ikut taekwondo, hanya saja Brian keluar setelah sampai di sabuk cokelat, lebih memilih bermain basket.

Brian menghela nafas pelan, bagaimana pun ini bukan salah Kakaknya. "Udah, lupain aja." Brian berbalik, melangkah menuju tangga yang menghubungkan rooftop dan lantai dua.

"Bri,"

Langkah Brian terhenti, cowok itu menoleh ke belakang. "Sakit hati itu nggak enak ya."

Tatapan Brian berubah sendu, langkah yang sebelumnya ingin menuruni tangga kembali ke tempatnya semula. Di depan Susan.

Susan mengigit bibir bawahnya. "Gue capek, di tarik ulur terus. Kadang dia jauhi gue kadang dekati gue, mau dia itu apa?"

Brian mengusap bahu Susan yang bergetar. "Udah. Cowok macam begitu lo buang aja, nggak ada untungnya buat lo."

Susan tiba-tiba mengangkat kepala dengan wajah basah dengan air mata. "Gue mau bilang perasaan gue yang sebenarnya."

"Perasaan?"

Susan menatap sang Adik. "Gue suka dia, tapi dia nggak tau itu karena udah pergi begitu aja saat hari gue udah berlabuh."

"Jangan." Brian menggeleng tegas, meremas pelan bahu Susan. "Jangan ketemu, apalagi ngomong sama dia, Kak."

Susan menggeleng, menepis pelan tangan sang adik. "Gue harus ngomong, Bri. Sesak tau di pendam terus, walau gue tau dia bakal tolak gue."

Brian menatap tajam, dengan tangan mengepal. "Lo pilih ketemu cowok brengsek itu, atau gue menjauh dari lo."

Wajah Susan berubah. "Bri, nggak bisa gitu dong." Protes Susan tidak terima.

Brian menggeleng tegas sekali lagi. "Lo tinggal pilih. Lo mau gue menjauh dari lo atau lo yang menjauh dari cowok itu?"

. . .

Mana komennya guys??

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang