39. Percakapan

7.3K 607 8
                                    

Lusa adalah hari terakhir Susan berada di pulau Bali ini. Karena sudah mendapat apa yang ia cari, hari terakhir ini Susan habiskan dengan hanya berkeliling hotel.

Dengan celana jins di atas lutut dan kaos oblong, Susan berjalan keluar dari kamar hotelnya. Sheva, Brian, Rizky, dan trio Kakak kelasnya pergi berbelanja untuk terakhir kali sebelum kembali.

Susan memakai earphone hanya pada telinga kirinya, gadis itu berjalan menuju rooftop hotel. Kata Brian di sana bagus karena berada di tempat tinggi, membuat pemandangan di bawah terlihat lebih bagus.

"Eh," Susan kaget melihat Verga yang duduk di salah satu kursi di rooftop. Verga menoleh pelan. "Sori, gue nggak tau lo di sini." Susan berbalik, hendak berjalan tapi suara Verga membuat langkahnya berhenti.

"Gue mau bicara."

Susan terdiam di tempatnya, tubuhnya terasa membeku. Gadis itu menghela nafas, mencoba tenang dan perlahan membalikan badannya. Menatap sang pemilik suara. Sejujurnya Susan agak rindu dengan suara itu, karena belakangan ini Verga selalu menatapnya datar tanpa ekspresi dan tidak bersuara sama sekali.

Verga menatap Susan yang terlihat melepaskan earphone yang menyumbat telinga. Cewek itu berjalan mendekat, duduk di samping Verga dengan jarak yang lumayan jauh.

Biasanya Verga akan mendekat saat Susan menjauh, tapi kali ini Verga tetap membuat jarak.

Hening sesaat sebelum Verga membuka suara. "Lo dekat dengan sepupunya Sheva?"

Susan mengangkat bahu. "Nggak juga, cuma asik aja bicara dengan Kak Arga. Asik, tapi ya gitu."

Verga memperhatikan Susan dari samping, gadis itu terlihat tenang. "Lo suka?"

Susan menoleh, memiringkan sedikit kepalanya. "Suka apa?"

"Arga."

"Oh," Susan manggut-manggut. "Suka. Tapi, entahlah kenapa rasanya cuma sebatas teman aja."

"Kenapa nggak coba serius? Kayaknya Arga juga pengen serius ke elo."

Susan membuang pandangannya ke arah lain, tangannya mengepal kuat tapi Verga tidak melihat itu.

"Tapi, gue nggak mau." Susan menatap lurus. "Buat apa juga? Lebih baik gue fokus belajar, masa depan gue masih panjang."

Verga mengangguk. "Memang, tapi kadang lo harus mengistirahatkan otak lo. Salah satu caranya dengan memiliki orang yang spesial."

"Gue punya." Susan cepat menyahut ucapan Verga. "Tapi sayangnya dia nggak pilih gue aja."

Verga bungkam.

"Kalo waktu bisa di putar, gue berharap nggak pernah kenal dengan dia. Terlalu sakit, saat gue udah nyaman dia malah memilih untuk menyerah. Padahal gue juga berusaha, gue ikuti apa katanya. Tapi, ternyata cinta lama belum kelar itu masalah besar." Susan menggoyangkan kakinya yang sedikit menggantung di kursi. "Tapi, kalo dia bahagia gue bisa apa? Kalo orang lain bilang cinta itu nggak harus memiliki. Bagi gue itu bullshit, tidak ada orang yang rela orang yang dia sayang dengan orang lain sedangkan dia menderita."

Susan menunduk. "Walau pun begitu, lebih baik berdamai dengan hati. Lebih baik melepaskan, karena tidak semua bisa di pertahankan dan di genggam erat. Kadang melepaskan lebih baik." Susan mengangkat bahu. "Jadi gue hargai pilihan lo." Susan menatap Verga yang tetap bungkam.

"Lagipula, lo kelihatan lebih bahagia sama Lona dari gue. Lo nggak pernah tertawa selepas itu saat lo sama gue, lo lebih sering senyum dan lempar gombalan receh. Padahal bukan itu yang gue mau, gue mau lo bebas saat dengan gue. Tapi gue nggak sespesial itu hingga bisa buat lo bebas saat dengan gue." Susan memasang satu earphone. "Gue punya permintaan, gue harap lo nggak tolak ini. Gue nggak akan minta apa-apa lagi, setelahnya gue bakal menjauh, gue akan berlagak seperti kita nggak kenal. Seperti yang lo lakukan." Susan tersenyum.

Verga terdiam. Sekejam itu kah dirinya? Verga tidak pernah memikirkan perasaan mantan-mantannya dulu, tapi setelah setelah mendengar ucapan Susan, Verga merasa dia begitu kejam. Mempermainkan hati banyak perempuan hanya untuk kesenangan. Tidak, pelampiasan.

"Gue tau, lo cuma jadikan gue salah satu pelampiasan lo, untuk Lona." Tatapan Verga berpindah tepat ke mata Susan yang terlihat terluka. "Gue harus ucapkan terimakasih ke elo, karena lo gue jadi tau perbedaan yang serius dan main-main. Doakan aja gue nggak akan ketemu cowok macam lo lagi."

Verga membeku. "Apa permintaan lo?" Verga mengalihkan pembicaraan, Susan tau itu. Gadis itu tersenyum.

"Gue mau anak Lona tes DNA."

***

Arga meraih tangan Susan, menggenggam tangan kecil itu.

"Jadi, Verga bilang apa?"

Susan menghela nafas pelan. "Dia nggak mau, awalnya. Tapi setelah gue minta terus dia akhirnya mau. Dia bakal bujuk Lona supaya mau."

Arga mengangguk pelan, dia menarik Susan ke sebuah gang gelap.

"Lo nggak mau apa-apain gue, kan Kak?" Susan merapatkan diri ke arah Arga, gang gelap ini sedikit membuatnya takut. "Kak."

"Gue nggak niat jahat, Susan." Arga menenangkan, cowok itu meremas pelan tangan Susan. Seakan mengatakan jika semua baik-baik saja.

Ternyata gang itu mengarah pada sebuah pasar tradisional yang menjual berbagai macam jajanan khas indonesia.

"Ada tempat kayak gini di sini?" Tanya Susan takjub, dengan penjual yang ternyata para anak muda dan tempat stand berjalan yang di hias seindah mungkin untuk menarik pembeli. Tempat itu tampak ramai.

"Ada, ini hari terakhir buka. Jadi lo beruntung gue ajak ke sini." Arga menarik tangan Susan ke salah satu stand.

"Siapa nih? Pacar?" Stand penjual bubur kacang merah itu tersenyum. "Cantik."

Susan hanya tersenyum. "Kenal?" Bisiknya pelan pada Arga.

Arga tertawa. "Teman aja."

"Teman kok pegangan tangan." Cibir penjual itu sebelum memasukan bubur kacang merah yang sejujurnya belum pernah Susan makan. Hanya sering dengar tapi tidak pernah mencoba.

"Nggak pa-pa nempel, yang penting judulnya tetap teman." Penjual itu tertawa dan memberikan uang kembalian Arga.

"Mau beli cendol atau selendang mayang atau mau es doger." Arga menunjuk stand penjual minuman yang berjejer.

"Kalo gue bilang mau semua gimana?" Susan menyengir. Arga tertawa. Tidak bisa menahan untuk tidak mengacak rambut Susan.

"Boleh. Gue nggak masalah punya pacar gemuk kok."

Susan mendelik. "Kemarin katanya cuma mau lihat muka cemburu doang."

Arga tersenyum geli. "Nnggak jadi deh, lo lucu kayanya di jadikan pacar."

Susan menggeleng dengan tatapan aneh ke arah Arga. "Kayanya kepala lo kepentok deh, Kak."

Arga tertawa. "Ayo."

. . .

Ini cerita ada pembacanya nggak sih? Kok sepi amat.

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang