33. Selesai

7.4K 585 9
                                    

Selama hampir seminggu Verga menghilang, bukan, Susan bukan khawatir atau apa. Hanya saja kenapa akhir-akhir ini cowok itu suka sekali menghilang.

Sedangkan Sheva sudah kembali seperti semula, bahkan meminta maaf pada Susan dan Rizky. Tentunya hubungan Sheva dan Rizky kembali hangat.

Hari ini adalah hari pernikahan Ava dan Irfan Susan telah siap dengan gaun berwarna putih, sesuai dengan dress code yang ada di undangan. Apalagi Sheva sampai mengantar sendiri di gaun putih yang sekarang Susan kenakan.

Rasanya agak tidak enak karena Sheva sampai melakukan itu. Tapi kata Sheva itu sebagai permintaan maaf.

Semua sudah jelas. Tentang foto yang beredar dan kenapa bisa Susan dan Rizky bertemu. Alasanya karena keduanya melihat sebuah keganjilan tapi tidak bertanya, sampai Irfan sendiri yang mengaku.

Malam saat pengajuan Irfan, Verga menghilang. Dan Susan masih tidak tau keadaan cowok itu. Padahal sebentar lagi ulangan kenaikan kelas.

"Kak," Susan menoleh ke pintu. "Ayo." Susan mengangguk sebelum bangkit mengambil tas selempang dan ponsel. Ayahnya tidak dapat ikut karena panggilan tugas. Ya, mau bagaimana lagi jika tugas memanggil.

Susan masuk ke dalam mobil, sedangkan Mamanya duduk di balik kemudi, dan Brian duduk di samping Sang Mama yang mengemudi.

"Jadi, Sheva dan Verga itu saudara satu bapak, gitu?" Jeni masih merasa tidak percaya jika Sheva dan Verga adalah Kakak-adik berbeda Ibu. Kedua orang itu tampak tidak memiliki kesamaan sama sekali. Wajah tidak mirip sama sekali, kecuali mungkin wajah keduanya yang rupawan. Sifat mereka juga hampir sama, keras kepala.

Acara resepsi di lakukan dengan tema garden party, setelah pemberkatan nikah para rombongan langsung menuju ke tempat resepsi yang tidak bergerak jauh dari gereja.

Susan duduk di salah satu kursi yang tersedia, di samping Brian. Mamanya hilang entah kemana, paling berbincang dengan teman-teman sosialita yang ada di acara ini.

"Kak," panggil Brian membuat Susan menoleh. "Arah jam sembilan."

Susan menoleh, tertegun dengan sesuatu yang ia lihat. Bahkan Susan mengerjab beberapa kali. Memastikan pandangannya tidak salah.

Di sana, orang yang seminggu ini menghilang. Ada di sana. Sayangnya tidak sendiri, tetapi bertiga. Ada seorang anak kecil di gendongan Verga, lalu seorang perempuan dengan gaun putih tanpa lengan yang tersenyum saat Verga bermain dengan anak kecil yang memakai jas mini berwarna putih. Tampak bahagia.

Susan membasahi bibir bawahannya, mengalihkan pandangannya. Entah kenapa rasanya, sakit.

"Kata Kak Sheva itu sahabat Bang Verga dulu." Susan menatap Brian yang tidak mengalihkan pandangannya dari Verga yang tampak bahagia. Bahkan tertawa berkali-kali, tidak pernah Verga seperti itu saat bersama Susan. Sekalipun, tidak pernah selepas.

"Sekarang gue tau kenapa Bang Verga selalu rebut pacar Bara dan teman-temannya."

Susan menatap kaget Brian. "Kok lo tau?"

Brian terkekeh pelan. "Gue nggak sebodoh itu biarkan lo dengan cowok yang nggak jelas. Sayangnya gue terlambat, gue tau di saat-saat terakhir."

Susan diam.

"Gue mohon, kalo lo punya perasaan sama Verga, buang. Cowok itu cinta mati sama sahabatnya," Brian menatap lekat Susan yang menunduk. "Kalau bisa jauhi Verga. Dan satu lagi, Verga selama ini jadi PHO karena cewek itu."

Susan menatap Brian, menunggu ucapan sang adik melanjutkan.

"Karena Bara dan teman-temannya buat sahabatnya hancur, dan Verga merasa bisa membalas itu semua dengan cara mengambil semua pacar-pacar mereka. Sayangnya semua itu nggak ada artinya."

Susan mengigit bibir bawahnya. "Nggak mungkin lo tau ini begitu aja, kan, Bri?"

Brian tersenyum sinis. "Gue udah pernah bicara dengan cewek itu, dan gue udah pernah bicara hal ini sama Bang Rizky dan Bara."

Susan terdiam. Apa ini maksud Bara saat itu?

Brian melirik Susan yang tampak ragu. "Kalau gue bisa putar waktu gue nggak bakal mau dekat sama orang itu. Gue nyesel biarkan lo dekat sama dia."

Susan mengalihkan pandangannya, entah kenapa matanya terasa panas. Dadanya terasa sesak, semua terasa pedih. Sakit. Tapi Susan tidak tau kenapa.

"Dan satu lagi." Susan menoleh dengan mata memerah ke arah Brian. "Dia dekati lo cuma sebagai pelampiasan."

***

Acara pernikahan itu berakhir dengan Mama Sheva yang melempar karangan bunga ke kumpulan para wanita yang menunggu bunga itu sejak awal acara.

Katanya jika bisa mendapatkan bunga itu akan secepatnya bisa menikah. Entahlah, Susan rasa itu tidak masuk akal. Bagaimana bisa rangkaian bunga bisa menentukan nasib?

Susan berjalan perlahan, dia sempat bertemu dengan Sheva tadi. Saling sapa dan beberapa kali berfoto dengan pengantin dan Sheva. Ada Verga di sana, tapi mereka seakan tidak pernah saling kenal. Cowok itu mengabaikannya, bahkan terus saja bersama dengan sahabatnya. Susan tidak tau anak siapa yang terus-terus di gendong Verga, tapi tampaknya Verga sangat menyayangi anak itu.

Susan mengirim pesan pada sang Mama jika dia akan pulang duluan, dengan alasan perut mulas ia di ijinkan. Asalkan saat sampai rumah memberikan kabar.

Setelah mendapatkan ijin, Susan berjalan menjauh dari tempat acara di gelar. Untung saja ia memakai converse tadi, bukannya sepatu tinggi yang di sarankan oleh Mamanya.

Memutuskan untuk berjalan kaki, Susan berjalan dengan langkah perlahan. Ia lupa membawa jaket, hasilnya dia kedinginan.

Susan tersentak saat bahunya di tepuk, hampir saja berteriak karena kaget.

"Kenapa kalian senang banget bikin gue kaget sih?" Kesal Susan menatap Febrian yang berwajah datar. "Eh, kok lo ada di sini?" Mata Susan menyipit.

Febrian mengangkat bahu. "Gue habis nongkrong." Singkat, padat dan jelas. Tipikal kulkas.

Susan mengangguk, matahari mulai tenggelam. Dan Susan tidak ingin sampai rumah dengan keadaan kedinginan, jadi Susan pamit pada Febrian.

"Gue antar?"

Susan menggeleng. "Thanks, tapi nggak usah. Bye."

Susan bergegas pergi, ponselnya bergetar saat di langkah ke tiga. Susan mengerutkan kening, nomor tidak di kenal menelfon. Tapi Susan tetap mengangkat telefon tersebut.

"Halo?"

"Seminggu gue nggak ketemu lo dan lo udah ketemu dua orang yang paling gue benci?"

Susan mengerutkan kening, merasa tidak asing dengan suara yang ia dengar.

"Cuma seminggu aja lo udah gini. Gimana kalo setahun?"

"Verga, gue dekat dengan siapapun bukan urusan lo." Ketus Susan, bayangan Verga tampak sangat bahagia bersama sahabatnya membuat emosi Susan tersulut. Apalagi nada bicara cowok itu menuduh.

"Gue pernah bilang kalo gue udah klai---"

"Gue nggak butuh lo klaim-klaim jadi milik lo. Buat apa lo ngomong gitu kalo lo malah lebih bahagia sama perempuan lain? Lo yang minta gue nunggu lo, minta gue buat berubah dengan hubungan tanpa status. Tapi apa balasan lo?"

"Dengerin---"

"Gue bosan dengerin lo terus, sekali-sekali dengar gue," Susan terdiam saat merasa air matanya mengalir, kenapa dia menangis? Untuk orang seperti Verga? Ia menangis untuk Verga? "Nggak enak jadi pelampiasan, Ga."

"Dengerin---"

"Lo yang dengerin gue," tekan Susan. "Gue tau, gue udah tau semua. Lo cuma jadikan gue pelampiasan, sama seperti semua pacar-pacar lo yang lain. Sayangnya gue nggak lo kasih nama sebutan."

"Susan!"

"Ah, gue tau. Gimana kalo nama gue cewek bego? Bego karena percaya sama lo yang ternyata brengsek!"

. . .

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang