51. Menjauhlah

7.7K 529 22
                                    

Kelas 12, sekarang mereka hanya perlu fokus untuk ujian. Begitu juga Susan yang semakin sibuk, les sana-sini, kursus dan segala macam.

Pergi pagi pulang petang.

Hal yang biasa dirasakan Susan, walau tak seperti teman-temannya yang lain. Pergi pagi pulang malam, les plus kursus di hari bersamaan dalam satu minggu.

Susan sudah pernah merasakan lelahnya saat masa SMP, ia sibuk belajar sana sini sampai lupa akan kesehatan. Seminggu sebelum UN berlangsung Susan jatuh sakit hingga harus di rawat di rumah sakit, untunglah dia bisa sehat dengan cepat dan melaksanakan ujian dengan baik.

Susan memakan mie goreng miliknya, matanya melirik sang adik. "Lo kenapa?"

Brian menoleh, kepalanya menggeleng pelan. "Enggak."

"Nggak sakit, kan?" Susan menempelkan pungung tangannya pada dahi sang Adik. "Enggak. Kenapa sih?" Susan menarik tangannya.

Brian melirik, lalu menunduk sambil memainkan sedotannya. "A-ada cewek yang nembak gue."

Rizky langsung melepaskan tawanya, sedangkan Sheva tersenyum geli dan Susan menatap bingung sang adik.

"Emang kenapa?" Susan memakan mie gorengnya dengan tenang.

Brian mengusap wajahnya frustasi. "Masalahnya Kakak kelas, kalo kelas 10 sih nggak masalah. Ini kelas 12, Kak."

Susan tertawa, dia menepuk pungung sang adik masih dengan tawa berderai. "Pesona lo panjang amat sampai kena pincut Kakak kelas."

Brian menatap kesal. "Lagi susah juga."

"Ya lo nggak bisa larang dia punya perasaan lebih ke elo. Itu hak dia, tapi kalo lo emang nggak nyaman ya lo harus bilang. Lo cowok, kan? Yang tegas dong. Gue temani deh kalo lo takut."

Brian mengangguk. "Tapi lo lihat dari jauh aja ya."

"Iya, iya. Takut banget sih."

***

Susan berada di balik tembok, sedangkan Brian dan Kakak kelas yang ternyata mantan teman sekelas Susan sedang berbicara di depan kelas Brian yang telah sepi.

"Maaf, Kak gue nggak bisa. Bukan karena apa-apa, gue cuma nggak mau aja pacaran untuk sekarang. Gue nggak bisa larang Kakak punya perasan ke gue, tapi gue nggak bisa balas perasan itu. Maaf."

Susan tersenyum, ia melipat tangannya di depan dada. Ketegasan sang adik membuatnya salut. Tidak seperti Verga yang takut menegaskan sesuatu yang sudah di pilih.

"Nggak pa-pa, gue malah lebih suka kalo lo ngomong langsung. Daripada lo menghindar, makasih udah biarkan gue punya perasan ke elo."

Dengan begitu sang Kakak kelas yang jatuh cinta pada Brian, berjalan menjauh.

Brian berjalan ke sang Kakak yang melirik, masih dengan posisi bersandar pada dinding dan tangan bersedekap.

"Good," Susan tersenyum, menepuk pipi Brian. "Lo harus jadi cowok yang tegas, oke? Jangan lemah, A ya A, B ya B. Tegaskan apa yang lo rasa." Susan tersenyum. "Pulang yuk."

Brian hanya mengikut, membiarkan sang Kakak berjalan terlebih dahulu.

"Kak,"

Langkah Susan berhenti, gadis itu berbalik. "Apa?"

"Kak Arga, kenapa nggak kelihatan lagi?"

Susan tersenyum geli. "Kenapa? Kangen? Jangan-jangan lo belok lagi."

Brian menggeleng. "Mana ada! Gue cuma tanya." Kesalnya.

Susan tertawa, saat tawa itu mereda pikiran Susan tampak melayang jauh. Kakinya melangkah perlahan.

"Dia udah punya seseorang yang bisa imbangi dia, yang bisa dia andalkan, dan yang dia sayang," Susan tersenyum. "Dia udah bahagia."

"Lo punya perasaan sama Kak Arga?"

Susan terkekeh. "Enggak ada kok. Tenang aja."

Brian mengangguk pelan. "Lo mau gue kenalin teman gue nggak?"

"Enggak," Susan menggerakan jarinya ke kanan dan kiri. "Gue nggak mau pacaran, apa lagi seumuran elo. Masa Kakak ipar seumuran dengan adik ipar." Susan tertawa, gadis itu sedikit berlari menuju mobilnya yang terparkir.

Brian menatap pungung sang Kakak.

***

Kembali ke tempat yang sama, Susan meremas pelan ujung bajunya. Hari ini Verga tidak masuk sekolah, kata Sheva cowok itu tidak mau keluar dari kamar sejak Susan menemui cowok itu.

"Lo buang-buang tenaga kalo lo mau bujuk dia, lebih baik lo hangout bareng gue." Sheva lagi-lagi mengatakan hal itu, ini ketiga kalinya. Pertama di pesan, kedua di telefon dan ketiga sekarang.

Susan tersenyum. "Kalo dia udah sadar. Gue bakal berhenti, tenang aja."

Susan memutar knop pintu kamar Verga, kamar itu lagi-lagi kosong. Hanya yang membedakan adalah kamar saat pertama kali Susan masuki berantakan, tetapi kali ini terlihat rapi. Cahaya matahari pun dapat masuk dengan baik.

Pintu kamar mandi terbuka, Verga keluar dengan wajah dan rambut yang basah.

"Kenapa nggak masuk tadi?" Susan mengikuti Verga yang mengambil handuk yang di jemur pada pagar pembatas balkon.

Verga diam, cowok itu mengusap wajah serta rambutnya yang basah menggunakan handuk hingga kering. Setelahnya mengembalikan handuk tersebut pada tempat sebelumnya.

"Kenapa nggak masuk tadi?" Verga mengabaikan pertanyaan Susan, cowok itu berjalan menuju tempat tidur. Seperti kehadiran Susan hanya angin. Tapi, gadis itu tak menyerah.

Susan merangkak naik ke atas tempat tidur ukuran super besar milik Verga, cewek itu menarik salah satu tangan Verga yang menutupi kedua mata cowok itu.
"Kenapa nggak masuk?"

Verga menepis pelan tangan Susan, cowok itu membalikan badan. Membelakangi Susan.

Tak kehabisan akal, Susan menarik kedua bahu Verga dan menahanya. Mata keduanya bertemu. 

"Jangan abaikan gue, semakin lo abaikan, gue malah akan semakin mendekat."

Menyerah, Verga menahan kedua pergelangan tangan Susan. Perlahan merubah posisinya menjadi duduk.

"Gue malas ketemu lo, makanya gue nggak masuk. Tapi lo malah datang ke sini." Verga menatap Susan dingin, membuat wajah gadis itu sedikit berubah. "Menjauh dari gue. Lo nggak bakal bisa merubah apapun, kalau bisa lo jangan berharap apapun. Semua yang lo lakukan nggak ada gunanya, jangan pedulikan gue. Jangan buang tenaga lo untuk hal nggak penting."

Kepala Susan menunduk. "Lo penting, karena itu gue nggak merasa buang tenaga."

Verga menggeleng, membuat Susan perlahan mengangkat kepala. Wajah cowok itu dingin. "Gue nggak mau kenal sama lo lagi, kalau bisa anggap kita nggak pernah kenal lagi. Mulai sekarang, sampai seterusnya."

Ini, kali kedua Verga meminta Susan menjauh. Semua masih terasa sakit.

"Lo nggak lihat?" Susan menatap Verga dengan matanya yang telah basah. "Gue lagi berjuang untuk elo, tapi elo dengan mudah suruh gue pergi. Lo tau? Gue hilangkan semua gengsi gue cuma supaya gue bisa ketemu lo."

Verga bergeming.

"Lo emang nggak punya hati!" Susan memukul bahu Verga, air matanya terus mengalir. Verga hanya diam, membiarkan Susan memukulnya. "Lo buat gue jadi cewek bego yang jatuh cinta sama cowok mental banci kayak lo! Gue benci!"

Susan melepaskan tangan Verga dengan kasar, gadis itu turun dari tempat tidur Verga. Susan membuka pintu lalu menutupnya dengan kuat.

Verga hanya diam.

. . .

Komen guys.....

Verga enaknya diapai supaya kapok ya?

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang