"Lo darimana?" Susan melipat tangannya di depan dada, matanya menyipit menatap Brian yang masih mengenakan seragam sekolah. Putih abu-abu, dengan baju yang telah keluar dari celana dan kancing baju yang telah di buka seluruhnya hingga baju di dalam seragam terlihat. "Brian!"
Brian seakan tidak mendengar, cowok itu berjalan melewati Susan begitu saja.
"Ini jam delapan malam, Brian. Lo darimana aja? Seharian lo nggak pulang." Susan menutup pintu, dengan langkah besar gadis dengan baju bergambar Spongebob yang kebesaran di tubuhnya itu mengejar langkah sang adik. "Untung Mama belum pulang, Yan."
Brian berdecak pelan. "Udah lah, Kak. Lo lebay deh." Brian berhenti di depan kamarnya. "Gue lupa ngabarin aja, gue main di rumah teman gue."
"Sejak kapan lo suka main di rumah teman lo? Kalaupun lo main, nggak mungkin selama ini."
Brian memutar bola matanya. "Capek, Kak." Brian masuk ke dalam kamarnya, langsung mengunci.
Susan menghela nafas. "Punya satu lagi kayak gini bisa gila gue."
***
Sekali lagi, ada yang berbeda pagi ini. Di sekolah.
Susan mengikat rambutnya menjadi kuncir kuda. Susan kemudian mengikat tali sepatunya kuat.
"Karma itu ada, iya kan?"
Susan menoleh, menaikan sebelah alisnya. "Emang ada apaan?"
Sheva tersenyum kecil. "Enggak. Gue cuma kepikiran aja. Karma itu memang kejam banget, tapi kalo nggak kejam orang nggak bakal kapok."
"Lo nggak lagi kesambet, kan? Perasaan gue nggak enak nih." Susan berdiri, sedikit bergindik. Sheva tertawa.
"Gue masih sangat waras." Sheva ikut berdiri, terutama karena guru olahraga mereka yang telah meniup peluit.
Susan berbaris di paling belakang, sejajar dengan Sheva yang berbaris di sebelahnya.
"Verga nggak masuk?"
Sheva mengangguk. "Iya, sakit. Di rumah sakit."
Susan menoleh, kaget. "Sakit apa?"
"Sakit hati." Ucap Sheva menahan tawa.
Susan tersenyum masam. "Gue tanya serius juga."
"Gue juga serius." Sheva berkata dengan nada serius tetapi masih tidak dapat membuat Susan percaya.
"Mama ada orang sakit hati di rumah sakit."
"Kalo parah?"
"Ini sakit hati yang model bagaimana sih?" Susan mengerutkan kening bingung. "Sakit hati karena cinta atau karena penyakit."
Sheva mengangkat bahu, tersenyum misterius. "Lo akan tau, dua atau tiga hari lagi. Itu pun kalo Verga bertahan."
***
Hari berikutnya, lagi Verga tidak masuk. Semakin membuat Susan bingung, kemarin-kemarin cowok itu bertingkah aneh, dan sejak kemarin menghilang begitu saja.
Hari berikutnya lagi, semua masih sama saja. Batang hidung cowok itu tidak kunjung muncul. Sudah tiga hari cowok itu menghilang.
Padahal simulasi ujian nasional tinggal beberapa minggu lagi tapi cowok itu tidak kunjung terlihat.
Susan sudah bertanya pada Sheva, tetapi jawaban Sheva selalu misterius dan membuat Susan bingung.
Hingga jam sekolah habis, Susan bergegas untuk pulang. Terlebih karena Ia ingin segera mengistirahatkan tubuhnya.
"Gue pulang sama teman." Brian menunjuk temannya yang menjadi tebengannya. "Lo pulang duluan aja."
Susan hanya mengangguk.
"Semoga gue nggak salah ya." Brian tersenyum sebelum berlari menuju temannya. Ucapan yang mampu membuat Susan bingung.
Susan menggeleng pelan, melupakan ucapan aneh sang Adik dan Sheva beberapa hari ini yang selalu menjurus ke 'bahagia' dan segala macamnya.
Mobil Susan tiba di parkiran rumahnya, ia sedikit menatap bingung pada motor yang terlihat asing di halaman rumahnya. Tidak mungkin Ayahnya sehari pulang dan langsung membeli motor baru, kan?
Susan berjalan masuk. "Di halaman motor sia...pa?" Ucapan Susan berhenti begitu melihat sosok yang menghilang beberapa hari ini. Sosok yang sedang berbincang hangat dengan sang Ayah di sofa ruang tamu.
"Brian mana?" Deva, Ayah Susan bertanya.
"Pulang sama teman." Susan mengalihkan pandangannya saat Verga tersenyum. "Aku ganti baju dulu." Susan bergegas menuju kamarnya.
Di balik pintu, Susan memegangi dadanya. Rasanya sesuatu di dalam sana berdegup kencang, ada rasa senang dan khawatir. Terutama melihat Verga yang dahinya di plester, sudut bibir yang terluka dan lengan yang terlihat di perban.
Susan menggeleng, menghapus bayangan yang ada di kepalanya. Gadis itu cepat-cepat berganti baju.
Susan memegang kenop pintu dengan gugup, ia takut untuk keluar. Mengigit bagian dalam bibirnya, Susan membuka pintu dengan ragu. Gadis itu berjalan ke ruang tamu, tapi tidak menemukan dua orang yang sempat berada di sana saat ia datang.
"Om, lagi jemput Tante." Susan menoleh kaget, bahkan gadis itu sampai memegang dadanya dengan ekspresi terkejut. Verga terkekeh pelan. "Kenapa mukanya gitu?"
Verga duduk di sofa yang di tempatnya tadi, sedangkan Susan hanya diam. Gadis itu masih berdiri.
"Nggak capek berdiri terus?" Verga melirik Susan yang sejak tadi hanya diam dan mengigit bagian dalam bibirnya dengan gusar. "Nggak kangen?"
. . .
Kalo nggak banyak komennya malas lanjut, ini cerita udah mau selesai soalnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Teen Fiction"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...