42. How Long?

7.5K 522 4
                                    

Bel istirahat berbunyi, membuat sebagain besar masyarakat Sakti Bangsa berkerumun untuk pergi ke kantin.

Begitu juga Susan dan Sheva yang mendapatkan kelas yang sama.

"Lo kelihatan lebih bersinar." Ucap Sheva membuat Susan menoleh dengan bingung. "Sadar nggak kalo banyak yang lihatin elo."

Susan menatap sekitarnya, beberapa murid terutama laki-laki banyak yang melihat padanya, ada yang curi-curi pandang, ada juga yang terang-terangan menatap Susan. Bergindik pelan, Susan mengalihkan pandangannya.

"Padahal gue biasa aja loh." Susan meringis risih. "Nggak ada yang berubah dari gue."

"Lo lebih sering senyum, dan lo udah mulai belajar cara jadi cewek. Biasanya lo paling ogah dengan penampilan lo, sekarang sekali lo perhatikan penampilan lo, langsung jadi terkenal." Sheva tersenyum geli. "Gue yakin, nggak lama lagi bakal ada cowok yang dekati lo, atau bahkan nembak lo."

Susan meringis pelan. "Gue nggak mau pacaran."

"Itu alasan basi buat tolak cowok yang tembak lo." Sheva mengapit salah satu tangan Susan. "Atau lo sama Kak Arga aja? Dia udah di sini, kan?"

Susan mengangguk pelan. "Katanya sih gitu." Arga dan Susan memang tidak putus kontak setelah kepulangan Susan dari Bali, bahkan cowok itu begitu sering bertanya kabar Susan. Bahkan bertanya hal yang tidak penting. Menurut Susan, Arga itu baik hanya saja belum bisa membuat Susan jatuh. "Masih ospek mereka, jadi jangan di ganggu. Biar fokus dulu."

Sheva tersenyum geli. "Lo sama Kak Arga lucu deh. Kalian dekat cepat banget."

Susan mengangkat bahu. "Gue merasa nyaman aja."

Sheva menganggukan kepalanya. "Bisa jadi awal yang baik."

"Gue harap juga begitu."

Kantin tampak ramai, tentunya. Susan dan Sheva duduk di salah satu meja dengan Sheva yang pergi memesan makanan, sedangkan Susan duduk guna menjaga tempat mereka tidak diambil oleh orang lain, beruntung ada Rizky yang duduk sendiri di salah satu meja, membuat Susan tidak perlu mencari meja kosong lagi.

"Susan, ya?" Susan yang tadinya sedang menatap ponselnya mendongak, tersenyum. "Gue Alrich." Susan membalas uluran tangan cowok itu. Susan ingat, Alrich adalah anak nakal yang selalu menjadi langganan ruang BK. Suka tauran dan membuat masalah. Ciri-ciri yang harus di hindari.

Susan menggeser sedikit dirinya saat Alrich duduk tanpa permisi di samping Susan.

"Kenapa gue nggak pernah lihat elo? Padahal kita sama-sama kelas 12." Alrich tersenyum, Susan yakin jika perempuan lain yang berada di posisinya saat ini pasti akan sangat senang dengan senyuman Alrich. Sayangnya Susan tidak.

Susan mengangkat bahu. "Lo aja yang kurang perhatikan. Gue emang nggak terlalu menonjol kayak lo."

Alrich tertawa, membuat beberapa orang menatap ke arahnya. "Tapi gue beruntung bisa ketemu elo sekarang, dari pada nggak sama sekali."

"Gue harus jujur, gue nggak tertarik dengan lo. Gue punya sedikit pengalaman nggak baik dengan anak nakal." Susan tersenyum, sedikit menyeringai saat wajah Alrich berubah marah. "Lebih baik gue beri peringatan sekarang, dari pada lo main hati."

Alrich mengangguk beberapa kali, tersenyum. "Gue suka gaya lo." Alrich beranjak dari samping Susan, berjalan menuju meja yang di isi oleh teman-temannya.
"Wow, keren lo bisa buat Alrich pergi gitu aja tanpa emosi." Rizky duduk di depan Susan dengan wajah takjub, cowok yang sejak tadi hanya diam itu membuka suaranya. "Hebat lo."

"Gue cuma ngomong yang sebenarnya aja." Susan menyelipkan rambut ke belakang telinga. "Lagipula gue beneran nggak mau berurusan dengan anak nakal, makan hati."

Rizky manggut-manggut. "Oh iya, hari ini hasil tes DNA keluar, kan?" Susan yang tadinya hendak menekan tombol power ponselnya berhenti. "Dia nggak mungkin anak Verga, lo yakin sama gue."

Susan tersenyum, mengejek. Senyuman penuh ejekan untuk dirinya sendiri. "Kalau pun bukan anak Verga emang urusan gue? Gue nggak peduli, Ky. Capek gue." Susan menghela nafas pelan. "Gue cuma mau dia bahagia aja."

"Bullshit, San," Susan menatap Rizky. "Nggak ada orang yang rela orang yang dia sayang bahagia sama orang lain."

Susan mengangguk. "Gue memang nggak rela, nggak pernah rela malah. Emang gue punya kekuatan macam apa agar Verga tetap di samping gue? Nggak ada. Gue kenal Verga nggak selama Lona, gue nggak ada apa-apanya. Lona pasti sudah tau Verga luar dalam, sifat baik dan buruk. Gue cuma seperti laut yang Verga lewati dan pelabuhan tempat dia bersandar itu Lona. Gue cuma jadi jalan aja."

Rizky terdiam, Susan terluka. Rizky tau itu, tapi dia juga tidak dapat melakukan apa-apa. Semua keputusan berada di tangan Verga.

"Kan gue bilang apa." Sheva meletakan makanan pesanan mereka di atas meja. "Belum sejam gue ngomong eh, udah ada aja yang dekati lo."

"Gue nggak mau sama dia. Mau cari anak baik-baik. Jangan badboy." Susan mengambil sendok, lalu memakan nasi goreng miliknya. "Kadang gue merasa jijik lihat kalian pacaran di depan gue."

"Bilang aja lo iri." Sheva tersenyum sombong. Dengan sengaja menempel pada Rizky yang sibuk memakan nasi goreng yang ternyata adalah pesanan cowok itu, sedangkan Sheva hanya meminum susu dari kotak dan sebuah roti.

Susan bergindik jijik. "Menjijikan."

***

Sebelum kembali dari Bali, Bara sempat mencuri beberapa helai rambut Jafrel, anak Lona yang masih belum di ketahui siapa Ayahnya.

"Ini hasilnya." Bara memberikan map berwarna cokelat itu pada Susan.

Susan meraih map pemberian Bara, Susan menatap Bara, Febrian dan Fajar.

"Kalian udah lihat hasilnya?" Susan mengigit bibir bawahnya. Merasa takut dengan hasil yang ada di dalam map cokelat penentu segalanya itu.

Febrian mengangguk. "Udah. Sekarang lo yang buka."

Susan meremas pelan map cokelat itu dengan gusar. "Nggak usah deh. Gue cuma bantu aja."

Fajar menggeleng. "Lo pasti penasaran, lo pasti takut kalo anak itu punya Verga."

Susan tidak mengelak, walau semua orang mengatakan Verga bukan Ayah dari anak Lona. Tapi tetap saja, Susan merasa takut. Ia takut jika anak itu memang anak Verga, yang artinya Susan harus menghilangkan rasa yang terlanjur hadir.

Susan mengangguk pelan, gadis itu meletakan map di atas meja dengan perlahan. "Gue nggak ada hubungannya dengan semua ini."

"Ada." Bara menatap Susan serius. "Lo yang buat gue tau siapa Ayah dari Jafrel. Kalo lo nggak ada, sampai kapan pun gue nggak bakal tau siapa yang harus tanggung jawab, walau sudah terlambat."

Susan masih terlihat tidak yakin.

"Buka," Fajar menunjuk map. "Lo akan menyesal kalau nggak lihat itu sekarang."

Susan menatap map itu, dengan tangan agak gemetar membuka map tersebut.

. . .

Happy New Year guys!

Update spesial tahun baru, jangan lupa di komen

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang