Susan menopang kepalanya dengan dua tangan yang ditumpu pada kasur berseprai biru langit dengan pola abstrak. Ia sudah lelah mendengar celotehan Sheva.
"Susaaaan! Gue kalah sebelum berperang." Sheva lagi-lagi menyuarakan isi hatinya, entah sudah kotak tisu yang keberapa yang digunakan Sheva hingga membuat kamarnya yang tadinya bersih penuh dengan tisu.
"Ya udah lah, nggak usah diingat lagi. Malah bagus menurut gue, Rizky udah kasih lo peringatan di awal. Daripada ntar lo malah sakit hati di belakang, pilih mana?"
"Tapi tetap aja," rengek Sheva.
"Gara-gara elo gue nggak jadi makan kacang di rumah." Susan mendengus kesal. "Padahal gue udah tiga hari nggak makan kacang. Gue frustasi."
"Lo cuma nggak makan kacang aja lebay. Gue makan hati!" Sheva mengusap air matanya menggunakan tisu yang ada di kotak ke empat--sepertinya.
Susan berdecak malas. "Udah lah gue capek dengar tangisan elo. Lo mau buat kamar lo sampe penuh dengan tisu juga Rizky nggak bakalan tarik kata-katanya."
Sheva bukan berhenti, malah menangis dengan keras. Untung di rumah milik Sheva belum ada yang pulang. Mama Sheva sedang bekerja, jadi aman.
"Jangan nangis lagi. Cowok masih banyak Va, nggak cuma Rizky. Barangkali dengan lo lepas Rizky hari ini besok lo dapat penggantinya, bahkan lebih baik dari Rizky." Susan menepuk bahu Sheva.
"Kalo nggak?"
"Kalo nggak.... Berarti jodoh lo belum lahir kali?" Susan terkekeh melihat wajah datar Sheva. "Gitu dong, kembali ke Sheva kesayangan gue. Jangan nangis," Susan memeluk Sheva, dengan senang hati Sheva membalas. Sheva memang aslinya datar, bahkan sangat jutek. Karenanya julukan untuknya adalah ketua kelas galak, tidak segan menegur. Apalagi anak laki-laki.
"Gue balik, udah sore." Susan mengambil tas miliknya yang tergeletak di lantai. "Jangan kangen sama gue, bahaya."
"Siapa juga yang mau kangen sama elo? Masih normal kali." Sheva terkekeh. "Sana balik,"
"Gue diusir, sakit batin gue." Susan memegang dadanya dengan dramatis.
"Pergilah kau jauh-jauh, malas kali aku tengok muka kau." Sheva mengeluarkan logat batak yang begitu kental. Sheva memang memilki darah batak yang berasal dari Mamanya. Karena itu ia memilki kepribadian keras. Apalagi mulutnya yang santai tapi menusuk.
"Yang orang batak keluarkan logat ya gitu." Sheva terkekeh. "Oke, gue balik."
Susan keluar dari rumah Sheva. Walau langit sudah mulai menggelap, Susan masih dapat melihat dengan jelas jalan yang nampak lumayan ramai. Padatnya ibu kota membuat Susan harus berhati-hati. Ia sudah menelfon Mamanya, tapi tidak diangkat. Terpaksa ia harus berjalan kaki pulang, awalnya Sheva ingin mengantar Susan tapi ditolak dengan alasan ingin singgah ke beberapa tempat yang pastinya bohong.
Susan memutuskan membeli minum disalah satu mini market yang lumayan dekat dari rumahnya. Susan mengambil minuman berasa buah dan cokelat kesukaannya.
Jalan menuju rumah Susan memang selalu saja sepi disaat malam, karena itu Susan selalu mengajak Brian untuk menemaninya. Walau enggan adiknya itu tetap akan menemaninya, walau dengan wajah cemberut. Tapi kali ini Susan benar-benar sendiri.
Susan meremas ponselnya dengan takut, di pinggir jalan ada beberapa orang yang sedang berdiri di sana. Jika hanya anak-anak muda atau sejenisnya Susan tentunya tidak akan takut. Tapi ini, sekumpulan pria berbadan besar dengan tato yang banyak menutupi kulitnya.
"Angkat, ayo angkat Bri." Susan sudah berkali-kali menelfon adiknya tapi sama sekali tidak diangkat. "Brian angkat." Susan mulai panik, apalagi salah satu dari lima orang--kalau tidak salah hitung--mendekat ke Susan yang sudah berhenti di tempat yang agak jauh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Teen Fiction"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...