2. Verga Itu....

16.2K 1.1K 35
                                    

Orang bilang Verga itu... Ganteng, keren, tajir, tapi sayangnya Player, PHO lagi.

Verga melangkah dengan kaki panjangnya menuju kelas 11 Bahasa 3. Kelas terakhir yang ada di ujung koridor, dengan pemandangan yang langsung mengarah ke lapangan. Lantai dua sekolah pagi ini nampak masih lenggang. Verga melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya. 06:17. Tentu saja waktu yang masih sangat pagi.

Verga memasuki kelasnya.

"Piket," jelas Susan yang berdiri depan kelas, sedang menghapus bekas spidol di papan tulis.

Verga menaikan satu alisnya. "Males."

"Lo sekertaris tapi nggak ada rajin-rajinnya." Susan mengacungkan penghapus papan ke depan wajah Verga. Menepis pelan Verga menatap malas Susan.

"Kenapa? Lo nggak suka? Gue yang jadi sekertaris dari bukan elo, lo cuma sekertaris dua. Yang ada nggak ada, nggak memperngaruhi apapun."

Susan menatap tajam Verga.

"Nggak bisa lawan? Hm?" Mendengus Susan meletakan penghapus papan itu di atas meja. Tidak ada gunanya meladeni ucapan Verga. Meladeni ucapan Verga sama saja meladeni anak kecil yang tidak mengerti apa-apa.

"Susan, Susan." Verga bernyanyi.

"Lo fans sama nama gue, makanya di sebut terus?"

Verga menggeleng. "Buat apaan. Nama gue lebih baik kali." Verga tersenyum, jenis senyum meremehkan.

Susan meniup poni rambutnya yang jatuh ke sekitar matanya dengan kasar. "Nama gue juga bagus kali,"

"Hm," gumam Verga malas.

"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!"

"Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin."

"Pala lo! Mana sudi gue stalkerin elo, nggak ada kerjaan banget." Susan mendengus, dengan tatapan yang masih saja sama ,Susan berjalan keluar dari kelas namun tangannya dicekal Verga.

"Kenapa? Salting?" Verga tesenyum dengan sangat menyebalkan.

"Salting? Sama elo? Bah, tunggu beruang kutub ada di hutan baru gue salting." Susan menghempaskan tangan Verga. "Najis tau nggak!" Gadis itu melengos pergi.

Verga tersenyum melihat punggung gadis itu dari belakang. "Susan, oh Susan."

***

Verga dengan cepat menyalin buku tugas Rizky. Walau Rizky bisa dikategorikan ke dalam perkumpulan anak nakal, cowok itu sama sekali tidak pernah menyepelekan tugas. Apalagi tugas bahasa Jerman. Guru yang mengajar galak, pake banget.

"Elo kalo masalah nyontek paling cepat banget." Rizky menghadapkan kursinya ke Verga, agak mendekatkan diri ke cowok yang sedang menulis itu.

"Rejeki jangan disia-siakan." Balas Verga, tangan cowok itu dengan cepat menulis kata-kata dalam bahasa asing itu.

Rizky hanya mengangguk.

"Kita olahraga di lapangan? Panas." Terdengar suara keluhan dari Sheva. "Kenapa juga sih kelas kita olahraga di jam terakhir?"

"Kok lo malah protes ke gue? Lo kata gue yang buat jadwal apa?" Susan menanggapi tidak kalah jengkel. "Sana protes sama guru."

Sheva menyengir. "Enggak berani."

"Kalo nggak berani jangan ngomong." Susan kembali fokus pada tugas bahasa Jerman miliknya. Guru yang mengajar tidak bisa hadir, dan memberikan tugas yang bejibun. Guru yang terkenal galak dan memiliki mata super tajam. Bagai elang yang memperhatikan mangsanya. Guru itu juga sangat ditakuti karena jabatannya sebagai wakil kepala sekolah. Salah sedikit say good bye dari sekolah.

"Kenapa harus ada pelajaran olahraga? Nggak tau apa gue nggak bisa olahraga."

"Udah terima aja."

"Tadi aja lo protes, sekarang terima aja." Cibir Susan. Sheva menyengir.

"Cewek itu emang suka ya mempermasalahkan hal yang bahkan nggak perlu." Rizky mengalihkan pandangannya ke Verga, setelah mendengar perdebatan anatara Susan dan Sheva.

"Emang gitu. Cewek emang susah dimengerti. Tapi mau selalu dimengerti."

Rizky menjentikan jarinya, dan menunjuk Verga. "Gue setuju sama elo, Bro."

Susan dan Sheva berdiri, membuat Rizky yang sedang menatap keduanya mengikuti arah perginya dua cewek itu.

"Hm, mereka mau ke mana ya?" Rizky nampak berfikir.

"Paling ke toilet, sebentar lagi pergantian jam." Verga meregangkan jari-jari tangannya hingga menimbulkan bunyi yang agak nyaring.

"Lo mau ganti baju sekarang atau nanti?" Rizky, cowok bergaya santai itu mengeluarkan baju olahraga miliknya, meletakan di atas meja.

"Sekarang aja deh. Gue juga mau ke lapangan cepat-cepat." Verga memasukan buku dan segala peralatannya ke dalam tas, sebelumya mengeluarkan baju olahraga miliknya.

***

Susan dan Sheva baru saja selesai mengganti bajunya, keduanya mengikat tinggi rambut masing-masing terutama Sheva yang memilki rambut yang agak panjang.

Setelah menyimpan seragam mereka di kelas, Susan dan Sheva berjalan ke lapangan basket. Pelajaran hari ini memang mengenai basket, salah satu eskul yang banyak diikuti anak di kelas 11 Bahasa 3. Kecuali Susan tentunya, ia lebih suka memakai otak dibanding otot. Lebih suka berfikir, karena itu ia masuk ke eskul Jurnalis. Sedangkan Sheva lebih memilih pada eskul paskibraka, tidak aneh jika Sheva memiliki tubuh yang agak lebih tinggi dibanding Susan, karena salah satu syarat anak paskibraka adalah tinggi.

Sesuai perkiraan Verga pasti sudah ada di lapangan, dan benar saja cowok itu sudah ada di sana bersama Rizky bermain basket.

"Verga ganteng ya kalo lagi main basket." Susan dan Sheva duduk di bawah pohon yang ada di pinggir lapangan.

"Kadang lo puji kalo Verga itu ganteng, tapi kadang lo ejek kalo dia cowok paling tengil yang pernah lo kenal." Susan geleng kepala. "Labil."

Sheva menyengir. "Bukan gitu, gue jelaskan." Sheva berdeham. "Jadi setiap cowok itu ada saatnya ganteng, kalo Verga itu ganteng saat main basket, kalo Rizky ganteng kalo lagi membaca--"

"Gue nggak ada tanya Rizky tuh," Susan tersenyum geli.

"Ya... Gue cuma bilang aja." Balas Sheva dengan agak gugup.

"Ekhem! Kok rasanya ada yang nyangkut di leher gue ya, gue beli minum dulu." Susan dengan cepat berlari, membuat Sheva meneriaki namanya. Sheva tau apa maksud Susan. Rizky.

Cowok jakung itu mendekat ke arah Sheva. "Hai, Va,"

"H-hai," balas Sheva agak gugup. Siapa yang tidak gugup jika yang di depannya adalah salah satu anak cowok yang paling keren di sekolahnya. Satu kelas lagi. Rizky juga memiliki wajah yang putih bersih, mirip-mirip orang Thailand atau Filipina gitu. Katanya sih orang tuanya ada yang keturunan sana.

"Kenapa lo gugup gitu?" Tanya Rizky dengan nada geli. Tentu saja ia tau jika Sheva menyukainya, sudah terlihat begitu jelas. Bukan pertama kalinya bagi Rizky disukai teman sekelasnya, sejak Smp dia sudah menjadi idola. Sama seperti sahabatnya Verga, hanya saja Verga itu versi brengsek sedangkan dirinya versi baik. Mungkin.

"E-enggak kok. Gue n-nggak gugup." Sheva mencoba tersenyum senatural mungkin. Walau sulit, dan membuat senyumnya malah aneh.

Rizky tersenyum, dengan lembut menepuk bahu Sheva. "Va, lo itu cantik. Jangan berharap sama gue, gue bukan cowok yang baik buat elo. Lebih baik hapus perasaan lo sama gue." Rizky mengacak rambut Sheva pelan sebelum menjauh dari gadis itu.

Sedangkan Sheva hanya menunduk, menahan air matanya yang hendak keluar.
. . .

Rizky enaknya diapai ya? Nyebelin banget.

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang