57. Memaafkan

8.1K 567 16
                                    

Susan menatap Verga agak ragu, gadis itu tidak tau menjawab apa. Ia kaget sekaligus merasa aneh, setelah menghilang selama tiga hari sekarang cowok itu berada di depannya dengan wajah babak belur, duduk di sofa ruang tamu rumahnya sambil memakan kacang kesukaan Susan.

Tunggu. Kacang?

Susan merampas toples berisi kacang yang di makan Verga, gadis itu memeluk toples itu erat. "Punya gue."

Verga tersenyum kecil, tau jika cara itu bisa membuat Susan bergerak dan tidak hanya diam.

Susan menutup toples dengan perasaan dongkol, ini adalah kacang yang di bawakan sang Ayah. Dan rasanya sangat Susan sukai, jadi dia tidak ingin berbagi. Pada siapa pun.

Susan, yang tadinya sibuk menutup toples kacang miliknya berhenti, membeku saat sebuah tangan mengusap puncak kepalanya pelan.

Verga tersenyum lembut, tangannya mengusap rambut Susan pelan. "Kangen banget. Tiga hari nggak bisa ngapa-ngapain. Cuma bisa tanya kabar dari orang lain." Tangan Verga turun memegang pipi Susan. "Tapi sekarang bisa lihat langsung." Senyuman Verga terlihat bahagia, senyuman yang membuat mata laki-laki itu terlihat melengkung bagai bulan sabit.

Susan menatap Verga dengan tatapan yang sulit di artikan. "Selama ini lo kemana?"

Verga menarik tangannya, dia duduk semakin dekat dengan Susan. "Gue menebus kesalahan gue."

"Sheva bilang lo sakit hati." Ucap Susan dengan wajah polos yang membuat Verga ingin sekali memeluk gadis itu, tetapi ia tahan sekuat tenaga. Jadi, Verga melampiaskan hanya dengan mencubit gemas hidung Susan.

"Jangan pasang muka gitu di depan cowok lain."

Susan mengerjab. "Hah?"

"Nanti mereka jatuh cinta, padahal lo cuma punya gue."

"Lo apaan sih?" Susan mengerutkan kening. "Tiga hari menghilang, kembali-kembali omongannya nggak jelas."

Verga meraih tangan Susan, cowok itu mengusap pungung tangan Susan dengan ibu jarinya. "Lo tau? Gue tersiksa."

"Tersiksa?"

Verga tersenyum, cowok itu mengangguk. "Tiga hari nggak ketemu lo, badan gue semua sakit. Tapi, lihat elo baik, dan bisa ada di samping lo buat gue bahagia," Verga menatap Susan lembut, membuat gadis itu gugup. "Tuhan memang adil, dulu gue selalu sakitin lo. Selalu buat lo jadi nomor dua, bahkan kadang nomor terakhir yang ada di pikirkan gue. Tapi sekarang, rasanya lo ada di nomor pertama. Selalu. Waktu gue ingat bagaimana lo nangis karena gue, rasanya semua rasa sakit yang gue rasakan saat ini nggak ada artinya. Lalu gue ingat kata Mama gue. Jangan sekali-kali membuat hati seorang wanita terluka, karena air mata seorang perempuan itu berharga. Dia bukan menangis karena cengeng, tapi karena dia tidak sanggup.

"Mungkin ini terdengar gombal. Tapi, gue nggak lagi menggombal, gue jujur. Selama tiga hari gue merenungi semuanya, dan sadar akan sesuatu. Kalau yang bukan milik gue telah bahagia dengan pilihan hatinya, kenapa gue enggak? Perempuan bukan hanya satu. Gue sering main perempuan, gue selalu buat mereka nangis. Tapi, nggak ada satu pun perempuan--selain Mama gue--yang bisa buat gue menangis saat dia jauh. Gue bego sia-siakan seseorang yang selalu ada, gue melupakan seseorang yang tetap ada. Gue malah sibuk mengejar yang tidak pasti.

"Susan, maaf. Selama ini gue acuhkan, gue sakitin elo. Bahkan kadang gue buat lo nangis. Gue terlalu bodoh untuk sadar kalau yang selalu ada lebih berharga daripada yang simpang siur. Maaf, maafin gue." Verga menunduk, air matanya mengalir. Bukan, dia bukan lemah. Tapi, dia hanya sadar, dia sadar akan sesuatu yang berharga. Dia sadar jika kebahagiaan bukan sekedar bersama, tapi saling mendukung satu sama lain. Hal yang tidak pernah ia dapatkan dari orang lain.

Susan menarik tangannya, sempat membuat Verga terkesiap. Sampai sepasang tangan itu memeluknya.

"Papa gue pernah bilang dulu, 'Seorang laki-laki bukan di ukur dari besar otot yang dia miliki, tapi dari hatinya. Air mata seorang laki-laki bukan mencerminkan kelemahan, tapi ketidak sanggupan atas sesuatu yang menimpanya'. Gue maafkan, Verga. Sejak awal. Bahkan lo nggak perlu minta maaf, gue sudah maafkan elo."

Verga membalas pelukan Susan, memeluk gadis itu erat. "Kata Mama gue, 'Kalau ada perempuan yang bisa membuat kamu menangis karena jarak, itu air mata rindu. Tapi, jika perempuan itu bisa membuat kamu menangis hanya karena diamnya, kamu mencintainya. Karena hanya diam yang bisa membuat yang tidak dapat di ucapkan terucap'."

Susan tersenyum, memeluk Verga semakin erat. "Gue rindu."

"Ekhem!"

Pelukan keduanya segera terlepas, lebih tepatnya Susan mendorong Verga kuat agar melepaskan pelukan mereka. Bahkan Verga sampai jatuh terlentang di atas sofa.

Brian menatap keduanya, wajah sang Kakak yang terlihat memerah dan Verga yang terlihat mengusap pipinya dengan mata agak memerah. "Lo ngapain, Kak?"

"Hah? Enggak ngapa-ngapain kok. C-cuma lagi makan kacang." Susan meraih toples dan memakan isinya.

Brian mengangguk. "Kalo peluk-peluk itu jangan terlalu di nikmati, setan lewat baru tau rasa."

Susan meringis. Ia juga yakin, tidak mungkin Brian tidak melihat dia yang memeluk Verga. Susan malu.

"Darimana lo?" Verga melirik Brian yang membuka kancing seragamnya.

Susan menoleh kaget, bukannya keduanya bertengkar, ya? Kenapa keduanya terlihat biasa-biasa saja, bahkan seakan pertengkaran itu tidak pernah ada.

Brian duduk di kursi single, cowok itu mengacak pelan rambutnya. "Sparing."

Verga mengangguk, kemudian melirik Susan yang terlihat mencari kesibukan, padahal Verga tau jika cewek itu memcuri-curi percakapan antara dirinya dan Brian.

Susan membuang muka dan pura-pura mengganti chanel tv saat tertangkap basah oleh Verga.

"Gue balik deh." Kini pandangan Susan benar-benar tertuju pada Verga yang meraih jaket dan memakainya.

Brian mengangguk. "Jangan kesini lagi." Brian menyeringai.

Susan menatap Brian lalu Verga yang terlihat mengangguk dengan senyuman geli.

"Pulang dulu ya." Verga tersenyum, cowok itu mengacak rambut Susan pelan saat berjalan keluar dari ruang keluarga bersama Brian yang mengikuti dari belakang.

Susan beranjak, gadis itu mengikuti keduanya hingga di depan pintu dimana Brian berhenti sambil bersandar pada pintu. Sedangkan Verga telah berada di atas motornya, siap melajukan motornya dengan helm yang telah terpasang di kepalanya.

Susan berdiri di belakang Brian, sedangkan Verga melihat itu dengan senyuman geli. Cowok itu melajukan motornya.

Brian berbalik, menatap sang Kakak yang mengerjab pelan. "Besok juga ketemu lagi, Kak."

"Apa sih?" Susan mengerutkan kening.

Brian tersenyum geli. "Rindu itu berat, kalo kata Dilan. Kalo kata gue Rindu itu ringan, 'kan besok ketemu lagi."

Susan memukul bahu sang adik. "Apaan sih lo!"

. . .

Komen yang banyak, ini cerita udah mau ending..

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang