44. Masa Itu

7.4K 530 11
                                    

Tidak pernah Verga sangka jika dia dan Sheva adalah Kakak beradik namun berbeda Ibu.

"Ini pasti buat kalian kaget." Irfan, orang yang membuat Verga hadir di dunia ini menghela nafas. "Tapi itulah kenyataannya, Ayah nggak mungkin tutupi ini selamanya."

Tangan Verga terkepal kuat, buku-buku jarinya memutih. Matanya menatap penuh amarah pada orang yang membuat ia ada, membuat Sheva yang ternyata Kakaknya ada.

"Mama diam aja?" Verga beralih pada Sang Mama yang menatapnya dengan pandangan sendu. "Kenapa Mama mau sama orang seperti dia?"

"Karena cinta bisa membuat apapun menjadi bisa." Lina meraih tangan Verga di bawah meja, mengusap tangan itu. "Kamu akan tau nanti."

Verga menggertakan giginya. Bagaimana Mamanya bisa setenang ini? Kenapa Mamanya mau di duakan?

"Kenapa Mama nggak lepas orang itu dari dulu saja? Kenapa Mama mau menikah dengan dia? Padahal Mama tau hatinya bukan untuk Mama!" Verga menunjuk Irfan yang hanya diam di tempatnya. "Mama nggak pikirkan hati Mama?"

Lina tersenyum, mengusap rambut Verga. Tangan Lina menarik tangan Verga yang menunjuk Irfan. "Mama cuma perlu kamu, Nak." Verga memejamkan matanya. "Mungkin dulu, Mama memang cinta pada Papamu, tapi sekarang rasa itu nggak ada lagi. Semua cinta dan rasa sayang Mama, ada di kamu. Bagi Mama, kamu cukup jadi alasan kenapa Mama kerja mati-matian, kenapa Mama rela capek, padahal Papa kamu selalu berikan nafkah walau kami bukan lagi suami-istri."

Verga mengigit bibir bawahnya, menatap Mamanya dengan kepala menggeleng pelan. "Aku nggak terima, Ma. Mama sama aja di selingkuhi."

Lina tersenyum. "Yang penting bagi Mama itu, kamu Verga. Mama nggak masalah membagi kasih dengan Ava, asal kamu tetap buat Mama. Karena kamu hidup Mama."

Verga menunduk. "Aku masih nggak terima, Ma." Lina memeluk Verga. "Aku..  Aku.."

"Udah."

Sheva hanya melihat kejadian itu dengan diam, Susan pernah menyinggung tentang hal ini. Tapi Sheva tidak percaya, lebih percaya pada omongan orang. Sheva meremas roknya, dia bodoh karena lebih percaya pada orang lain di banding sahabatnya sendiri.

"Dan teman kalian, Rizky dan Susan," ucapan Irfan membuat Sheva menatap orang yang ternyata adalah Ayahnya. "Kalau bukan karena mereka, mungkin semua ini akan semakin rumit."

Verga yang sudah tenang menatap Ayahnya. "Mau anda apa?"

Irfan tersenyum. "Saya mau semua anak dan orang yang berharga bagi saya berada di pernikahan saya nanti."

Ava menarik tangan Sheva. "Kamu sekarang mengerti kenapa Mama bisa menerima Irfan dengan mudah, kan, Nak? Tidak seperti laki-laki lain."

Sheva mengangguk, Irfan ternyata bukan lah orang asing. Bahkan awal pertemuan Sheva dan Irfan rasanya Irfan bukanlah orang yang asing. Irfan seakan tau apa yang di sukai dan tidak di sukai oleh Sheva. Selalu ada, dan melindungi. Persis seperti Ayah yang Sheva mau selama ini. Dan ternyata Irfan memang Ayah Sheva.

Sheva melirik Verga. Jika dia menjadi Verga, dia pasti akan marah. Tidak terima karena bertahun-tahun, orang yang melahirkannya di jadikan pelampiasan wanita lain.

"Saya juga mengundang sahabat kecil kamu." Ekspresi Verga berubah. "Saya tau kejadian setahun silam, dan saya juga yang membantu teman kamu itu. Kalau kamu mau, saya akan ajak dia ke pernikahan kami."

Verga membeku. "Lona? Anda tau dimana Lona?"

Irfan mengangguk. "Saya bisa antarkan kamu ke sana."

***

Seminggu Verga tidak masuk sekolah, sebuah alasan kuat membuat ia rela tidak sekolah. Bahkan lupa tentang Susan.

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang