47. Rasa

7.2K 571 30
                                    

Beberapa hari setelah pembicaraan di rooftop yang membuat Susan lebih memilih menjauh dari Verga daripada sang adik menjauh, membuat Brian sering diam-diam mengikuti kemana Susan pergi. Kadang Susan jengah, tapi jika di omeli balasan Brian dengan wajah datar dan 'Emang nggak boleh?' Membuat Susan kesal setengah mati para adiknya itu.

Seperti sekarang, Susan sedang berada di perpustakaan dengan laptop menyala yang ia gunakan untuk mengetik sebuah naskah novel yang ingin Ia kirimkan ke salah satu penerbit, tentunya setelah perimbangan panjang. Kisah yang pernah ia buat, ia remake ulang, ia ingin membuat sebuah cerita yang ia sendiri rasakan.

"Kenapa cewek banyak yang genit ke gue, sih?" Brian melirik risih beberapa murid perempuan yang sengaja masuk ke dalam perpustakaan dan rela bersama dengan tumpukan buku yang biasanya paling di hindari demi melihat salah satu keajaiban dunia. Padahal Brian merasa dirinya tidak seganteng itu.

Susan mengangkat kepala, menatap sekelilingnya. Benar, ada banyak murid perempuan yang mencuri-curi pandang, ada juga yang mengambil foto secara diam-diam. Susan terkekeh pelan. "Siapa suruh sok cool, muka datar-datar gitu."

Brian berdecak pelan. "Dari sononya gue udah gini cetakannya, Kak." Cowok itu bersandar pada sandaran kursi, melipat tangannya di depan dada dengan beberapa helai rambut yang jatuh ke dahinya. Yang tanpa sadar membuat beberapa pekikan di dalam ruangan sunyi itu.

Brian berdecak kesal, sedangkan Susan terkikik pelan. "Udah, nikmati aja. Kapan lagi coba lo jadi idola para cewek-cewek."

"Gue risih, Kak." Brian memutar bola matanya. "Untung nggak ada yang fanatik."

"Tapi, kalo ada pasti seru deh. Apalagi kalo nggak takut nempel ke elo, gue bayangkan ekspresi lo pasti lucu." Susan tersenyum sendiri membayangkan jika ada cewek yang menempel pada Brian dengan sengaja demi menarik perhatian si kulkas ini.

"Gue nggak minta sama yang gituan. Cewek itu di kejar, bukan mengejar." Brian merubah posisinya menjadi memangku tangan di atas meja.

"Toleransi cewek lah, daripada capek nunggu lebih baik nyosor." Susan mengangkat bahu, jari-jarinya kembali bergerak dengan cekatan di atas keyboard laptop.

"Kalo ada cewek yang kayak gitu gue nggak bakal mau."

"Tapi kalo yang begitu bisa buat lo jatuh hati gimana? Dia nggak jaim buat tunjukan dia sayang lo. Menurut gue nih, cewek kayak gitu malah harus di pertahanan, susah di cari, satu banding seribu. Nggak bakal ketemu." Susan mengangkat sedikit kepalanya. "Terserah lo aja sih, kalo memang cocok gue iya aja. Asal jangan cabe, ingat itu."

Brian memutar bola matanya malas. "Gue nggak minat sana cabe, Kak."

Susan tertawa. "Jangan lah, cabe itu nggak cocok buat di pacari, cocoknya jadi sambel."

Brian dian saja, cowok itu lebih memilih membaca sebuah buku yang ia ambil asal dari rak buku.

***

Kerja kelompok membuat Susan harus pergi ke rumah Sheva sore ini. Setelah memakai Converse Susan mengambil kunci mobilnya.

"Ke Kak Sheva?" Brian yang baru akan berangkat ke sekolah dengan celana training pendek dan kaos olahraga. "Jangan pulang malam-malam." Brian yang hampir terlambat ke sekolah untuk latihan basket langsung naik ke atas motornya dan melajukan motor itu dengan kecepatan tinggi.

Susan geleng kepala sebelum masuk ke dalam mobilnya, dengan kecepatan sedang melajukan mobil melintasi ramainya kota di sore hari.

Semenjak orang tua Sheva menikah dan memutuskan untuk pindah, Susan belum sekalipun menginjakkan kaki di rumah baru Sheva yang katanya dua kali lebih besar dan mewah dari rumah Sheva sebelumya.

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang