Hari pertama sekolah.
Hari pertama Susan menjadi Kakak kelas paling berkuasa, itu kata Sheva. Cewek itu benar-benar antusias. Sedangkan Brian yang diterima di sekolah Susan sangat senang saat bisa masuk di ekskul basket.
Sedangkan Susan sekarang di perbolehkan membawa mobil, kemampuan Susan mengendarai mobil bisa di katakan membaik. Jadi sebagai hadiah karena mendapat rangking pertama di kelasnya ia di belikan sebuah mobil oleh Ayahnya.
Susan menyapukan lip gloss tipis ke bibirnya, setelah memastikan penampilannya sempurna gadis itu berjalan keluar dari kamarnya dengan tas di punggungnya.
"Perasaan aja atau kamu mulai memperhatikan penampilan kamu?" Jeni menatap anak perempuannya yang tampak lebih segar dengan bedak tipis dan lip gloss yang memberikan kesan fresh.
Susan duduk di samping Brian. Cowok itu terlihat rapi dengan seragam Sma.
"Cie, yang udah jadi anak Sma." Susan menggoda adiknya yang tampak terlihat sangat berbeda dengan seragam Sma. "Udah bisa cinta-cintaan."
Brian mendelik. "Apaan sih, Kak?" Brian memakan roti miliknya secepat mungkin. "Ayo, nanti gue telat."
Susan yang baru memakan sepotong roti mendelik. "Kayak peraturan sekolah lo dan gue beda aja. Gue tau jam masuk sekolah, Brian. Kita nggak mungkin telat." Susan meneguk susu cokelat miliknya sebelum pamit pada sang Mama.
Susan menyalakan mobilnya, untuk beberapa lama ke depan Brian belum di ijinkan membawa kendaraan sendiri oleh sang Ayah. Jadi Adiknya itu harus bersama dengannya berangkat ke sekolah.
"Kak, lo kelas Bahasa, kan?" Brian yang duduk di samping Susan memperbaiki sedikit dasinya yang miring.
Susan mengangguk. "Gue nggak pintar-pintar amat. Walau gue maunya masuk IPA, gue pengen jadi dosen. Gue suka matematika, tapi kayaknya bisa juga gue ambil sastra inggris." Susan mengangkat bahu. "Jadi, lo bakal seperti apa di sekolah? Cool? Nakal? Atau kalem?"
Brian menggeleng tidak tau. "Jalani aja."
Susan mengangguk beberapa kali. "Gue saranin lo nggak jadi playboy aja."
Brian menatap Kakaknya dari samping, Brian tau itu bukan sekedar ucapan. Tapi sebuah petuah, amanat. Karena Brian tau Kakaknya pernah terluka oleh salah satu playboy yang-namanya-tidak-boleh-disebutkan.
"Gue nggak bakal jadi playboy, Kak. Lo kira gue cowok apaan, mainin perasaan cewek." Brian mendengus.
Susan tertawa. "Siapa tau?"
Mobil Susan terparkir di parkiran, setelah melepaskan sabuk pengaman Susan keluar dari mobil. Dengan Brian yang tampak gugup di hari pertamanya.
"Cari teman yang baik." Susan menepuk bahu Adiknya yang lebih tinggi darinya. "Gue mau cek kelas gue, lo mau ikut atau udah tau kelas lo?"
"Gue udah tau. Tapi gue ikut lo, gue udah punya teman duduk. Dia bakal cari tempat buat gue." Brian mengikuti langkah Susan menuju mading sekolah.
"Cieeee, yang udah jadi anak SMA!" Sheva yang juga berada di mading menggoda Brian yang memakai seragam lengkap. "Paling awalnya doang lo rajin, setelahnya lo bakal nakal." Sheva tersenyum ke arah Brian yang mendengus.
"Lo sama aja." Brian membuang muka ke arah lain. Beberapa orang melihat ke arah Brian, dengan penasaran. "Mereka kenapa sih?" Tanyanya agak risih.
"Biasa," Susan menjawab sembari mencari namanya diantara ribuan nama yang ada. "Kalo lihat bening gitu."
Brian menatap aneh. "Maksudnya?"
"Pesona lo bakal keluar saat lo SMA, dan lo bakal tau seberapa populer lo setelah punya ciri khas masing-masing." Sheva menjelaskan, bagai seorang guru. "Pacar gue itu di kenal karena tinggi dan selalu ramah, punya banyak fans. Tapi dia pilih gue." Sheva tersenyum puas, seakan membanggakan dirinya.
Brian memutar bola mata. "Udah dapat belum sih, Kak?" Brian menoleh pada Kakaknya yang sibuk mencari.
"Ada! Lah? Gue masuk kelas IPA? Kok bisa?" Susan menatap bingung namanya yang tertera di kelas 12 IPA 3. "Emang bisa ya jurusan berubah walau kelas 12?"
"Katanya bisa." Suara Rizky membuat Susan menoleh. "Sekarang kelas di pengaruhi oleh pelajaran yang menonjol." Rizky dengan gemas mengacak rambut Sheva. "Masuk kelas berapa kamu?"
"Sama kayak Susan." Sheva tersenyum lebar.
Susan mendelik. "Lo udah tau kita sekelas dan lo nggak bilang ke gue malah sibuk cerita?"
Sheva menyengir. "Gue cuma mau lihat lo berusaha aja."
Susan mendengus kesal. "Udah lah," cewek itu mengibaskan tangannya. "Lo kelas berapa?" Tanyanya ke Rizky.
"IPA 1. Sekelas dengan Verga." Rizky mengangkat bahu. "Kita beda kelas, kamu jangan nakal. Rajin belajar."
Sheva mengangguk. "Iya!"
Susan menghela nafas pelan. Entah kenapa setiap mendengar nama Verga rasanya sesak. Seberapa pun Susan mencoba melupakan cowok itu, tetap saja. Sulit sekali.
"Kelas lo di mana?" Susan beralih ke Brian yang tampak risih di dekati oleh beberapa perempuan. "Jangan ganggu adik gue, oke?" Susan menatap tajam beberapa murid perempuan yang dengan terang-terangan menempel bahkan meminta nomor Brian. Hebat sekali pesona adiknya itu. Susan akui adiknya itu memang ganteng, tapi nggak gitu juga.
"Gue IPA 1." Brian menjawab. "Tapi gue nggak tau itu dimana."
Susan menarik tangan Brian, sekalian untuk membuat kerumunan murid perempuan yang penasaran minggir. "Gue antar."
Rizky dan Sheva tertawa, ternyata Brian memang akan menjadi idola. Bahkan Rizky yang ikut menjadi panitia saat MOS agak kaget karena Brian langsung menjadi pusat perhatian. Nggak Kakaknya nggak Adik sama saja. Punya pesona masing-masing.
"Ini 'kan kelasnya, Ky?" Susan berhenti di depan pintu kelas. Rizky mengangguk. "Sana masuk, belajar yang benar. Jangan pacaran." Brian mendelik, tapi tetap mengikuti apa kata Sang Kakak.
Rizky terkekeh pelan. "Lo tau? Brian dari MOS udah jadi idola, apalagi waktu di hukum karena datang telat. Langsung jadi trending topic, anak Osis banyak yang naksir sama adik lo itu."
Susan geleng kepala. "Apa yang mereka lihat dari Brian coba?"
"Lo bisa bilang begitu karena lo Kakaknya, lo tau jelek buruknya dia. Tapi orang yang belum kenal betul mana tau." Sheva mengangkat bahu. "Brian juga datar terus kalo selain sama kita."
Susan mengangguk pelan. "Iya sih-aduh!" Susan tidak sengaja bertabrakan dengan salah satu murid yang berjalan. "Jalan pelan... Pelan.." kalimat Susan menghilang setelah tau siapa yang tidak sengaja ia tabtak. "Maaf," Susan tersenyum kaku dan langsung berjalan.
Sedangkan Verga hanya diam di tempatnya. Menatap pungung Susan yang perlahan menjauh, Sheva yang melihat itu memukul bahu Verga sebelum mengejar Susan.
Rizky menghela nafas, menepuk bahu temannya. "Lo harus perbaiki hubungan lo dengan Susan."
Verga menatap Rizky yang terlihat serius. "Dia benci gue."
"How you know if you don't trying?"
"Gue benci saat lo ngomong gitu." Verga tersenyum.
. . .
Kalo ada typo tolong di kasih tau, malas edit soalnya.
Jangan lupa komen. Ini cerita sebentar lagi udah mau tamat.
![](https://img.wattpad.com/cover/117846069-288-k393688.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Roman pour Adolescents"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...