34. Mari Saling Melupakan

7.4K 576 15
                                    

Ulangan hari pertama di lewati Susan dengan berat hati, beberapa soal tidak ia kerjakan. Padahal ia tau cara mengerjakannya.

Semua karena Verga, terutama cowok itu yang sekelas dengannya, dan Susan selalu merasa di perhatikan oleh cowok itu. Bukan besar kepala, atau kegeeran, tapi setiap Susan menoleh ke belakang Verga memang menatapnya. Tapi Susan segera kembali menghadap ke depan.

"Liburan kemana nih?" Sheva yang sekelas dengan Susan, tentunya. Bertanya.

Susan mengangkat bahu. "Ini masih hari pertama dan lo udah pikir liburan, kalo nilai lo remidi gimana?"

Sheva mengangkat bahu. "Nggak masalah sih sama gue, remidi itu sudah menjadi makanan sehari-hari gue setelah ulangan."

Susan geleng kepala. "Perasaan Rizky ngajarin lo deh, kasian nggak ada gunanya."

Sheva mendelik. "Enak aja, gue kerjain ya. Dan gue pastikan kali ini nggak ada nilai gue yang remidi, satu pun!"

"Kalo ada?"

"Gue bakal traktir liburan ke resort Papa gue."

Susan berdecak. "Itu namanya bukan traktir, lo nggak keluar uang itu namanya."

Sheva menyengir. "Gue bayar oleh-oleh aja."

"Itu juga gue bisa." Susan memutar bola mata.

"Apa aja deh, intinya gue bakal traktir lo liburan."

"Eh, itu beneran?" Tanya Susan agak kaget. "Gue kira lo cuma omong kosong doang."

Sheva tersenyum kecut. "Emang muka gue kelihatan boong?"

Susan mengangguk. "Iya." Sheva berdecak. "Dalam rangka apaan nih?"

Sheva mengangkat bahu. "Mama sama Papa gue mau ajak aja, sekalian liburan. Daripada di rumah doang."

Susan tampak berfikir. "Kalo gue ajak Brian boleh nggak?"

Sheva meminum es teh manisnya sebelum mengangguk. "Lo ajak Mama lo juga boleh."

"Mama gue kerja." Susan meraih keripik milik Sheva, tapi sebuah tangan menarik bungkus keripik itu. Susan menarik tangan, memilih meminum es teh manisnya dan menggeser tubuh saat orang itu duduk.

"Gimana, bisa kerjain?" Rizky mengacak pelan rambut Sheva, membuat bibir cewek itu sedikit maju karena rambutnya berantakan.

"Kamu ih! Rambut aku berantakan!" Sheva memperbaiki kembali rambutnya yang berantakan. Rizky tertawa, kemudian membantu Sheva memperbaiki kembali rambut gadis itu.

Susan membuang muka ke arah lain. Verga melihat itu, tatapan Susan yang tampak geli tapi juga sedih.

Susan tau ia di perhatikan, tapi tidak berani menoleh. Cewek itu menyelipkan rambut ke belakang telinga sebelum beranjak.

"Mau kemana?" Sheva bertanya.

"Toilet." Susan bergegas, tidak ingin rasanya lama-lama di dekat Verga. Dia terlanjur benci. Sangat-sangat benci.

Bagaimana bisa cowok itu menghilang seminggu dan kembali dengan fakta mengejutkan, lebih parah lagi menuduh Susan.

Susan menggeleng pelan, segera mencuci tangannya, Susan menatap wajahnya di kaca. Jika di gambarkan, wajah Susan tidak cantik-cantik amat. Bahkan sahabat Verga waktu itu lebih cantik.

Susan menghela nafas, mengelap tangannya dengan tisu sebelum keluar dari toilet.

"Ikut gue!" Tangan Susan di tarik masuk ke dalam toilet laki-laki oleh si PHO Vergara.

Susan menghempaskan tangan Verga yang menarik tangannya, menatap pergelangan tangannya yang agak memerah. Tersentak, saat mendengar suara pintu terkunci.

"Dengerin gue baik-baik." Verga menatap Susan serius. "Gue pengen lo lupa semua, lupain kalau kita pernah dekat. Lupain kalau gue pernah minta hal konyol itu ke elo. Lupain kita pernah saling menjaga hati. Lupain kalau kita pernah kenal. Ada hati yang perlu gue jaga."
Susan diam, menatap mata Verga yang terlihat serius. "Gue nggak mau pacar gue salah paham."

Mungkin karena terlalu sakit hati, Susan tertawa. Bahkan terbahak keras, sampai air matanya keluar.

Susan mengusap air matanya dengan sisa-sisa tawa. "Udah itu aja?" Verga tampak ragu, namun perlahan mengangguk. "Untuk apa lo ngomong itu ke gue? Emang gue siapa lo?"

Wajah Verga mendadak pucat.

"Kita nggak punya hubungan apa-apa loh, kecuali permintaan wali kelas kita yang membuat gue terjebak sama lo. Dan sampai sekarang gue masih bingung kenapa gue mau terima buat ajari lo, padahal lo cuma ajari gue main basket. Cuma itu doang. Agak nggak penting sih. Kalau jujur."

"Gue belum selesai," ucap Susan saat Verga ingin berbicara. "Mau lo punya pacar, istri kek apa urusannya ke gue? Kita nggak ada hubungan apa-apa. Kita bebas, nggak ada hubungan yang mengikat kita. Oh, bukan kita. Tapi lo dan gue."

Susan terdiam sebentar.  "Selamat. Semoga lo langgeng dengan sahabat lo. Dan semoga dia nggak menjadi Susan lainnya yang bego mau percaya dengan mulut manis lo," Susan tersenyum sinis. "Enak ya jadi cowok, kalau suka deketin. Tapi begitu dapat yang baru, langsung di buang." Susan menggelengkan kepalanya.

Susan berjalan melewati Verga, membuka kunci pintu toilet dan segera keluar.

Jangan menangis Susan, tidak ada gunanya. Sama sekali tidak ada gunanya, hanya menghabiskan tenaga untuk hal yang tidak penting.

Tapi air mata itu tetap mengalir. Susan menghapus air mata itu dengan cepat.

Bebas.

Susan bebas.

Tapi hatinya masih terasa terjerat.

Karena Susan terlanjur jatuh cinta pada cowok brengsek itu.

. . .

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang