Hari pengambilan rapor telah di lewati, alias rapor sudah berada di tangan. Artinya Susan resmi libur.
Susan sedang mengemasi baju-bajunya saat pintu kamarnya terbuka.
"Kak," Susan menoleh. "Ikut gue yuk."
"Kemana? Emang lo udah selesai rapikan barang-barang lo?" Susan memasukan sepatu ke dalam koper miliknya sebelum menutup benda itu.
Brian menarik tangan Susan, membuat Sang Kakak menoleh. "Apa sih?"
"Ikut gue." Brian menarik tangan Kakaknya, turun ke lantai dasar. Mereka hanya berdua di rumah, Mamanya akan pulang malam nanti. Ini masih pukul tiga sore.
Brian membuka gerbang, lalu tampaklah apa yang ingin Brian tunjukan pada Susan.
"Hai," Bara melambaikan tangan, Febrian hanya menoleh dan Fajar tersenyum lebar.
"Kalian ngapain?" Susan menatap satu persatu mantan Kakak kelasnya. "Kalian saling kenal, atau gimana sih?" Susan menatap Brian lalu Bara.
Bara terkekeh pelan. "Sepupu gue teman Brian, dan gue nggak tau kalo dia adik lo."
Susan mengangguk mengerti. "Terus kalian ngapain di sini?"
Fajar maju, seakan mengatakan jika dia yang akan menjelaskan.
"Kita mau minta bantuan." Fajar melirik Bara yang mengangguk mantap. "Lo harus bantuin kita."
"Bantu apa?" Susan mengerutkan kening bingung. "Kalo gue bisa bakal gue bantu."
Fajar tersenyum. "Bisa nggak lo bilang teman lo supaya kita bertiga bisa ikut liburan? Bukan buat senang-senang, tapi buat memastikan sesuatu."
Susan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Gue nggak tau Sheva bakal bolehkan enggak."
"Ini satu-satunya cara buat bicara langsung ke Lona!" Bara angkat bicara agak tidak sabaran.
"Lona siapa? Kalian bikin gue bingung deh."
Febrian memegang bahu kedua temannya. Mengatakan jika dia yang akan menjelaskan.
"Lona itu nama sahabat Verga," Susan diam, ingin Febrian melanjutkan ucapannya. "Gue dan dua teman gue pernah lakukan kesalahan fatal. Yang buat gue dan teman-teman gue sampai sekarang merasa bersalah, dan itu juga kenapa Verga benci ke gue dan teman-teman gue, padahal dulu kita dekat." Febrian menghela nafas. Dia akan banyak bicara, tapi jika hanya itu caranya ia bertahan. "Gue, Bara dan Fajar mabuk begitu juga Verga dan Lona. Semua itu terjadi begitu aja."
"Apa yang terjadi begitu aja?"
"Itu malam kelam. Dan sampai hari ini gue masih nggak bisa maafkan diri gue sendiri karena malam itu."
"Ngomong yang jelas! Intinya apa? Jangan berbelit." Susan menatap jengah Febrian yang menghela nafas.
"Gue, Bara dan Fajar tidur dengan sahabat Verga, dan Lona hamil. Sayangnya nggak ada yang tau anak itu punya siapa sampai sekarang."
Susan shock, mulutnya agak terbuka, menelan ludah kasar Susan menatap ketiga orang itu.
"Lona selalu menghindar, nggak pernah mau ketemu kita. Padahal kalaupun itu memang anak salah satu dari gue dan teman-teman gue, pasti bakal tanggung jawab. Tapi Lona nggak pernah mau jujur, apalagi cewek itu sempat menghilang setahun lebih." Febrian menghela nafas pelan. "Lona ikut kalian liburan, cuma itu satu-satunya jalan."
Susan menunduk, ragu. Ia tidak tau harus bagaimana. Susan mengangkat kepala saat tangan Febrian menggenggam kedua tangannya.
"Please, ini satu-satunya cara. Gue nggak mau hidup dalam rasa bersalah." Baru kali ini Susan melihat ekspresi lain dari salah Febrian, wajah cowok itu sendu. "Bahkan permintaan maaf gue nggak pernah dia anggap."
Susan menghela nafas. "Tapi gue nggak janji."
Dan untuk pertamakali, Susan melihat Febrian tersenyum.
***
Susan memegang ponselnya yang tersambung dengan earphone, kakinya melangkah pelan. Ini sudah malam, lebih tepatnya pukul delapan malam.
Setelah menelfon Sheva hampir dua jam lamanya, dan menjelaskan semuanya. Susan tidak menyangka jika Sheva juga tau tentang masalah Verga. Ternyata sebelum pernikahan Ava dan Irfan berlangsung Verga jujur tentang semuanya, itulah alasan mengapa bisa sahabat Verga berada di acara pernikahan kedua orang tua mereka.
Langkah Susan terhenti, lagu yang otomatis berlanjut itu berhenti para sebuah lagu yang menusuk.
Tumpahkan rasa sakit itu dalam tangismu
Yang menusuk relung hati yang paling dalamKenapa rasa ini datang di saat semua sudah berubah? Kenapa Susan baru sadar jika Verga menyusup ke dalam hatinya secara perlahan dan memuncak di saat laki-laki itu memilih untuk saling melepaskan.
Air mata Susan mengalir, lagu bodoh, Verga bodoh, Susan bodoh. Dia memang bodoh, bagaimana bisa dengan mudahnya jatuh cinta pada si perusak hubungan itu. Seharusnya dari awal Susan tidak pernah percaya.
Susan mengusap air matanya yang tidak ingin berhenti, dia juga sesenggukan. Dadanya sesak. Tapi ia tidak ingin berhenti. Seperti memang ini lah yang ingin Susan lakukan, rasanya ini benar.
Susan menarik nafasnya, menghapus semua jejak air mata yang mengalir.
Tersenyum.
. . .

KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Novela Juvenil"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...