54. Kesalahan Besar

8.2K 541 10
                                    

Susan duduk termenung di pinggir tempat tidurnya. Lama sudah tidak ia merecoki Verga lagi. Kejadian, malam itu membuat ia benar-benar menyerah. Verga menolaknya.

Menghela nafas pelan, Susan berjalan turun. Ia sedikit merasa lapar, dan berhubung sang Ayah yang baru saja kembali dari perjalanan udara yang memakan waktu lama kembali dengan membawa oleh-oleh kesukaan Susan, yaitu kacang berbagai macam jenis membuat Susan mempercepat langkahnya.

Membuka kulkas, Susan mengambil sebungkus kacang almond dan memasukan kacang-kacang itu ke sebuah wadah.

"Nih," Susan menoleh saat sebungkus cokelat berada di atas meja. "Mama bilang bagi, tapi lo satu aja yang lainnya buat gue." Brian mengambil segenggam kacang milik Susan.

Susan mendengus. "Tumben lo  bagi gue."

Brian mengangkat bahu. "Kasian lihat lo makan kacang doang, mirip gajah."

Susan mendelik, jika ia tidak sayang pada kacang kesukaannya ia pasti akan melempar kacang itu ke wajah sang adik.

Jika Susan menyukai kacang, maka cokelat adalah kesukaan Brian. Tetapi cowok itu jarang memakan cokelat, hanya saat sedang ingin Brian bisa memakan lebih dari tiga bungkus cokelat dalam satu atau dua jam.

Susan memotong cokelat yang di berikan Brian lalu memasukan ke dalam mangkuk berisi kacang miliknya, setelahnya memasukkan ke depan microwave.

Terdengar suara bel yang di tekan brutal, Brian menaikan sebelah alis dan bangkit dari tempat duduknya. Sedangkan Susan berjalan untuk membuka pintu.

Saat pintu terbuka, Susan tersentak saat sebuah pelukan hangat memeluk tubuhnya. Membuat ia menegang. Tapi, tak lama berselang pelukan itu di lepaskan secara paksa, Susan di tarik ke belakang sedangkan orang yang memeluknya hampir terjatuh.

"Ngapain lo ke sini?" Cetus Brian dengan mata menatap nyalang Verga yang terlihat kacau. Rambut yang semakin memanjang itu terlihat berantakan, ada kantung mata yang menghitam di bawah mata cowok itu. Jelasnya, cowok itu tidak baik-baik saja.

"Susan.. Maaf. Gue minta maaf." Verga berusaha meraih Susan, tetapi Brian menghalangi. Menahan cowok itu agar tidak mendekat pada Kakaknya. "Brian, please. Gue mohon, gue harus bicara sama Kakak lo. Gue mohon!"

Tetapi, Brian menggeleng tegas sedangkan Susan semakin bersembunyi di belakang Brian.

"Enggak. Lo udah Gue kasih kesempatan, dan lo sia-siakan. Nggak ada kesempatan ke tiga, harusnya lo bersyukur dulu gue kasih kesempatan." Brian menggeleng tegas, matanya masih tajam. "Lebih baik lo pergi, gue muak lihat muka lo!" Brian mendorong Verga keluar dari pintu rumahnya, lalu menutup pintu itu kuat setelah Verga berada di luar.

Verga mengepalkan kedua tangannya hingga buku-buku jarinya memutih, kepalanya tertunduk, dan ucapannya saat itu lagi-lagi teringkari ia kembali menangis. Verga menangis lagi, rasanya sesak, sakit, pedih, perih.

Verga teringat, dulu ia juga pernah menolak Susan, bahkan berulang kali membuat cewek itu menangis.

"Gue emang goblok."

***

Setelah kedatangan Verga sore tadi, Susan menjadi diam. Entah apa maksud Verga datang dan meminta maaf padanya.

Susan menenggelamkan kepalanya di bantal yang ia letakan di atas lututnya yang terlipat. Kepalanya sakit memikirkan semua itu, padahal sebentar lagi mereka akan menghadapi ujian, dan sekarang Susan sudah stres duluan, padahal ia tidak boleh sampai stres. Bisa-bisa pelajaran tidak ada yang masuk ke otaknya.

Drtt!

Ponselnya lagi-lagi bergetar untuk kesekian kali, bahkan layar ponselnya mati menyala setiap beberapa menit sekali. Ada pesan, ada pula panggilan telefon.

Tidak ada satupun yang Susan angkat ataupun balas, melihat saja tidak. Cewek itu melempar bantal ke atas ponselnya yang ia letakan di kasur.

Brian melarangnya mengangkat panggilan atau pun pesan Verga, lagipula Susan tidak berniat sama sekali untuk membalas atau pun mengangkat telefon Verga.

Susan sudah berjanji untuk tidak mendekat lagi ke cowok itu, hatinya sudah terlalu lelah. Dia capek.

Susan beranjak, dia memutuskan untuk belajar agar ia tidak lagi memikirkan cowok itu, ujian sudah di depan mata.

Tapi, Susan malah menemukan novelnya, membuat ia kembali teringat saat Verga membuang hasil kerja kerasnya ke dalam kolam dengan begitu mudah. Walau sudah berlalu lama, tetap saja rasanya sesak.

Air mata Susan menggenang, ia selalu optimis bisa membuat Verga tidak memikirkan Lona, tetapi salah besar Verga tidak bisa melupakan Lona.

Suara guntur membuat Susan menoleh ke arah jendela, hujan terlihat deras dengan beberapa gemuruh yang kembali bersuara seiring dengan derasnya air yang jatuh dari langit.

Susan menutup jendelanya dengan gorden, tetapi tangannya terhenti saat melihat Verga dan Brian yang tampak sedang berdebat di bawah hujan.

"Mereka ngapain? Nggak lihat hujan deras gini." Susan menutup gorden, dengan cepat berlari menuju lantai bawah.

"Brian!" Tampaknya suara hujan mengalahkan teriakan Susan dari pintu. Gadis itu berdecak, mengambil payung lalu berlari ke dua cowok itu.

"Oke, besok gue tunggu. Kalo lo nggak datang artinya lo menyerah, artinya jangan datang lagi." Brian tersenyum mengejek. "Siap-siap aja." Brian menarik kerah baju Verga.

"Brian." Susan menarik sang adik. "Verga, lebih baik lo pulang ini udah malam, hujan deras, lo udah jelas 12 sebentar lagi ujian. Jangan sakit."

Tapi Verga seakan tidak mendengar, cowok itu hanya tersenyum. Rasanya senang di perhatikan seperti itu.

"Nggak usah cengar-cengir, pulang sana!" Brian menunjuk gerbang rumah. "Cepat!"

Verga tersenyum, cowok itu berbalik, kakinya melangkah tetapi cowok itu membalikan badan, berlari menuju Susan yang masih diam di tempatnya. Verga, dengan gerakan kilat mencium pipi Susan membuat gadis itu kaget bukan main, hingga membuat payung yang di pegang gadis itu terjatuh.

Verga tersenyum, sebelum Brian bertindak dia cepat-cepat berlari menuju gerbang dan melajukan motornya.

Susan masih membeku, seluruh sendi dan syaraf tubuhnya terasa beku, bahkan air hujan tidak menyadarnkannya.

"Lo kenapa?" Susan masih diam, bahkan saat Brian mengambil payung dan memayungi keduanya. Brian tidak melihat adegan kilat itu, cowok itu keburu berbalik dan berjalan menuju rumah sampai tidak melihat adegan yang mampu membuat sang Kakak membeku. "Kak?"

"Hah?" Susan menoleh kaget. "Oh, enggak kok. Gue cuma... Dingin aja." Susan memaksa senyumnya.

Brian menyipitkan matanya, sedikit tidak percaya dengan ucapan sang Kakak. Tetapi dia mengangguk. "Mandi, nanti sakit."

Susan mengangguk, membiarkan Brian berjalan menuju kamar mandi. Menghela nafas, Susan mengusap dadanya yang masih bergemuruh, jantungnya berdetak tidak karuan.

Tangan basah itu dengan gemetar menyentuh pipinya, tempat bibir Verga sempat menempel. Kenapa Verga melakukan itu? Atau, itu hanya salah satu cara Verga agar bisa mempermainkan hati Susan?

Tangan itu turun dengan lemas, rasanya sakit menyadari fakta tersebut. Tidak mungkin dengan mudah hati Verga berubah. Tangan itu perlahan membuat gerakan mengusap, dengan kasar mengusap bekas bibir Verga.

Terus mengusap dengan air mata yang turun, bergabung dengan air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya.

. . .

Komen yang banyak..

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang