28. Ganjil

7.6K 542 4
                                    

Hari minggu ini Susan memutuskan untuk menginap di rumah Sheva, tentunya dengan paksaan dari Sheva.

"Gue antar di sini aja, gue mau ikut Rizky main Futsal." Verga menerima helm yang di berikan Susan. "Jangan macam-macam." Verga mendelik ke Susan yang memutar mata jengah.

"Gue di rumah Sheva, bukan di club." Susan mendengus dengan kesal.

"Barangkali, siapa tau?" Verga mengendikan bahunya. "Daah, sayang." Verga mengacak rambut Susan gemas sebelum melajukan motornya, meninggalkan Susan yang membeku.

"Pergi juga." Sheva membuka pintu dengan tangan bersedekap. "Pangeran kodok." Cibirnya.

"Dari kapan lo di situ?" Susan menyelipkan rambutnya di belakang telinganya dengan agak gugup.

Sheva tersenyum kecil. "Ayo masuk."

Sheva membuka lebar pintu agar Susan dapat masuk, di ruang tamu terdapat Mama Sheva yang menggunakan sebuah long dress berwarna hitam tanpa lengan. Wanita yang menjadi Mama seorang Sheva itu terlihat cantik, walau umurnya tidak lagi muda.

"Sore, Tante." Susan mencium punggung tangan Ava.

"Sore juga, Susan." Ava tersenyum ramah. "Tante tau kamu mau nginap, jadi Tante beli kacang yang banyak. Ada kue juga."

Susan menyengir. "Tante tau aja apa yang saya suka."

Ava tertawa pelan. "Kayak baru kenal aja, kamu itu dengan Sheva sama bagi Tante, jadi tau lah."

Susan tersenyum, keluarga Sheva memang hangat. Walau tanpa kehadiran seorang Ayah. Semua peran itu diambil oleh Mama Sheva dengan sangat baik.

"Tante cantik-cantik gini mau kemana? Nggak mungkin karena saya sayang Tante jadi dandan, kan?"

Ava mengacak pelan rambut Susan karena gemas. "Iya, Tante mau jalan."

Susan mengerutkan kening. "Makan malam?"

Ava mengangguk, bertepatan dengan suara pintu yang di ketuk. Ava berjalan menuju pintu dan membukanya.

Ava di rangkul oleh seorang pria berbadan tegap ke dengan Susan.

Susan menggigit bibir bawahnya, matanya menelisik wajah pria yang memeluk Mama Sheva. Berharap apa yang dia lihat hanya sekedar ilusi, tapi ternyata nyata.

"Ini Pacar, Tante, San. Kenalin." Ava tersenyum ke arah Susan yang berusaha tersenyum.

"Susan, Om." Susan tersenyum, tangannya di sambut oleh pria yang ada di samping Mama Sheva dengan senyuman kecil.

"Panggil Irfan saja." Pria itu tersenyum ramah. "Temannya Sheva, ya?"

Susan mengangguk kaku. "Iya, Om."

"Ini loh yang aku cerita, teman Sheva dari kecil." Ava mengatakan itu sambil memeluk tangan Irfan.

Sheva berdeham. "Berasa transparan."

Semua orang menoleh pada Sheva, sempat melupakan kehadiran gadis itu.

"Jangan marah, lah. Gitu aja marah." Susan menyenggol bahu Sheva dengan sengaja.

Sheva memutar bola matanya. "Untung sabar."

Irfan menyodorkan sebuah paper bag. "Om tidak tau kamu akan suka atau tidak, Om cuma merasa baju itu akan cocok kalau kamu pakai."

Sheva menerima benda pemberitaan Irfan dengan riang, membuka isinya. Sebuah gaun gradasi warna yang sangat indah. Sheva mensejajarkan gaun itu di depan tubuhnya, lalu tersenyum saat merasa gaun itu memang sangat pas di tubuhnya.

Sheva tersenyum lebar. "Makasih, Om. Ini cantik."

Irfan tersenyum, merasa senang karena pilihannya tidak salah. "Iya, sama-sama," kata Irfan.

Susan mengalihkan pandangannya, bukan dia iri. Hanya saja mata Irfan benar-benar terlihat mirip dengan seseorang tapi ia belum yakin. Takut spekulasinya salah. Bisa saja cuma mirip.

"Maaf, Saya tidak tau kalau temannya Sheva mau datang. Jadi saya hanya membawa satu." Susan yang merasa dirinya yang di bicarakan menoleh pada Irfan dengan kaget. "Mama Sheva pesan ke sana untuk beli gaun yang sama dua, katanya kalian suka pakai baju yang sama."

Susan menggaruk tengkuknya, antara merasa terlalu berlebihan atau merasa tidak bisa lama-lama menatap mata Irfan.

"Om, nggak usah repot-repot." Susan menggerakan tangannya karena enggan. "Saya jadi tidak enak."

Irfan tersenyum. "Nggak pa-pa kok, saya dari dulu mau punya anak perempuan tapi ya begitulah."

Begitulah?!

Entah kenapa Susan merasa agak kesal, tapi ia tidak tau kenapa rasanya ada yang tidak beres. Tapi Susan tidak tau apa itu.

Karena tidak tau menjawab apa, Susan hanya tersenyum.

Ava tersenyum. "Kami berangkat dulu. Kalian di rumah baik-baik, kalau lapar ada makanan aja."

Susan dan Sheva mengangguk, keduanya mengantar Ava dan Irfan hingga ke depan pintu.

Susan menutup pintu, sedangkan Sheva panjang berlari menuju kamar, katanya ingin mencoba gaun yang di berikan Irfan.

"Sejak kapan Mama lo punya pacar? Setahu gue Mama lo paling anti sama gituan, apalagi lo pernah bilang kalo Mama lo nggak niat nikah lagi." Susan menatap Sheva yang memutar-mutar tubuhnya di depan cermin besar yang ada di kamar Sheva yang luas.

Sheva mengangkat bahu, merapikan sedikit poninya. "Nggak tau, kata Mama gue kali ini gue bakal di kasih Papa baru. Gue setuju aja sih, Om Irfan baik kok."

"Lo nggak curiga kalo Om Irfan cuma pencitraan?"

Sheva menoleh ke arah Susan yang duduk di pinggir tempat tidur.

"Kata Mama gue Om Irfan mantan pacarnya waktu kuliah, tapi putus karena Mama di jodohkan. Kok lo seakan nggak suka dengan Om Irfan sih?"

Susan menjatuhkan badannya di atas kasur, pandangannya menatap langit-langit kamar Sheva. "Nggak tau, gue merasa ada yang.... Ganjil. Ada yang aneh ada yang gimana gitu, susah buat di jelaskan. Gue juga bingung."

Sheva tertawa pelan. "Mungkin karena lo rindu sama Verga kali, makanya lo jadi linglung gitu."

Susan berdecak. "Kenapa malah jadi Verga, sih? Apa coba hubungannya?" Susan berusaha untuk tidak memutar bola matanya, tapi bola matanya tetap berputar dengan kesal.

Sheva mengangkat bahu. "Barangkali karena lo kangen sama Verga otak lo jadi agak terganggu, nggak ada yang tau."

Susan berdecak. "Diam deh. Verga bukan siapa-siapa gue, ingat?"

"Tapi dia udah mengklaim lo jadi milik dia, makanya nggak ada lagi cowok yang dekat-dekat lo."

Susan merubah posisinya menjadi duduk. "Emang nggak ada cowok yang dekat-dekat gue, bukan karena Verga."

Sheva tertawa. "Iya, sih. Harusnya lo bersyukur deh, ada yang mau sama lo. Apalagi Verga itu most wanted di sekolah, hebat loh dia bisa gitu sama lo."

Susan memutar bola matanya. "Buat apa dia manis sama gue kalo toh juga pacarnya ada, sama aja dia ajak gue jadi perusak hubungan dia."

"Cocok dong kalo gitu, sesama perusak hubungan orang pacaran."

"Anjay, omongan lo nista banget!" Susan mendengus, membuat Sheva tertawa.

. . .

Masih ada yang baca cerita ini????

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang