Sinar matahari sudah terang, dan Susan baru saja memakan nasi goreng buatan Mamanya.
"Kakak di jemput ya sama pacar Kakak?" Jeni yang baru saja dari depan bertanya. "Verga pacar kamu ya?"
Seketika Susan tersedak hingga terbatuk-batuk. Di pukul-pukulnya dadanya yang terasa sesak karena tersedak.
"Mana ada, Ma!" Sergah Susan. "Mama ngaco aja."
"Pagi, Tante." Verga dengan cengiran yang begitu lebar masuk ke ruang makan. "Maaf, ganggu pagi-pagi."
"Eh, nggak pa-pa kok. Ayo sini makan sama-sama." Jeni meletakan piring di atas meja, mengisinya dengan beberapa sendok nasi goreng. "Dek, makan." Jeni juga memberikan piring ke Brian.
Verga duduk tepat di samping Susan. "Pagi, Susan." Sapa Verga dengan cengiran yang tak kunjung hilang dari wajahnya.
"Ngapain lo ke sini?" Ketus Susan dengan lirikan sinis ke Verga.
"Jemput elo, kemarin udah gue bilang, kan?"
"Emang gue bilang iya? Kagak." Tukas Susan tidak suka.
"Pacarnya kok di gituin sih, Kak?" Jeni tersenyum kecil. "Verga, ayo di makan."
Susan mendengus pelan. Pacar dari mana coba? Memang pernah Verga menembaknya? Eh, kok lama-lama ngaco sih. Susan geleng kepala, menghilangkan pikirannya yang mulai melantur.
"Kenapa geleng kepala gitu?" Verga melirik Susan yang sempat menggelengkan kepalanya. "Sakit?"
"Kak Verga romantis banget." Brian tertawa, terkesan mengejek.
"Diam lo." Sinis Susan. Ia cepat-cepat menyelesaikan sarapannya, makin panas telinganya kalau dekat-dekat Verga.
"Susan tunggu." Verga menahan tangan Susan yang hendak keluar dari gerbang. "Kita bareng."
"Malas. Gue lagi nggak mau di gosipin sama PHO kayak lo!" Susan menyentakan tangan Verga kasar. "Nggak usah dekat-dekat sama gue." Susan menunjuk wajah Verga dengan wajah memerah karena emosi. Bagi Verga mungkin yang Susan alami adalah hal sepele, tapi tidak dengan Susan.
Susan berbalik meninggalkan Verga yang menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. Manusia dan gengsinya. Verga ingin meminta maaf, tapi ia terlalu gengsi.
***
Susan sampai di kelasnya tepat saat lonceng berbunyi, semua salah Verga. Jika saja Verga tidak datang ke rumahnya pagi-pagi pasti ia akan ikut Mamanya dan tidak terlambat.
"Habis lari maraton?" Tanya Sheva geli. "Eh, punya gue!"
Susan tidak memperdulikan protes Sheva, ia haus. Salah Sheva menunjukan minuman dingin yang terlihat begitu segar pada Susan.
"Gue capek." Susan mengehela nafas keras. "Lelah."
"Nyanyi lagunya Bastian sono. Judulnya sama kayak yang lo bilang." Celetuk Sheva.
"Gue lagi malas debat." Susan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Memejamkan matanya.
"San," Sheva menggoyangkan tangan Susan. "Susan!"
"Paan sih?!" Susan menoleh dengan wajah jengkel ke Sheva. Sheva memberikan isyarat dengan lirikan mata. Tapi, Susan tidak mengerti apa arti lirikan mata Sheva.
Perlahan ia menoleh ke samping, ke arah lirikan mata Sheva. Ia tersentak saat Bara ada di depannya. Buat apa Ketos ada di kelasnya?
"Kenapa ya, Kak?" Susan mencoba tidak kikuk.
"Lo Susan, kan? Yang waktu itu wawancarai gue, kan?" Susan mengangguk kaku. "Istirahat ke ruang Osis, gue mau ngomong." Bara tersenyum sangat manis.
"Mau ngapain, ya Kak?"
"Ada, nanti juga lo tau. Gue balik ke kelas gue dulu," Bara menyempatkan diri melambaikan tangannya ke Susan sebelum keluar dari kelas.
"Anjir! Lo ada masalah apa sama anak Osis!" Sheva memekik keras.
Verga yang baru saja masuk dan sama sekali tidak tau apa-apa menyirngit, anak Osis?
"Mana gue tau." Balas Susan tidak mengerti. Dia rasa tidak pernah menggangu atau membuat masalah anak Osis. Apa karena waktu itu dia mewawancarai Bara? Tapi, kenapa Bara malah tersenyum padanya?
Susan menghembuskan nafas pelan. Tak sengaja matanya bertemu dengan Verga, namun ia cepat-cepat mengalihkannya.
***
Setelah bel istirahat berbunyi Susan tidak keluar dari kelasnya, alasan pertama ia sedang mencatat pelajarannya yang sempat tertinggal waktu ia sakit. Susan lupa meminjam buku catatan Sheva waktu itu, dan berakibat waktu pelajaran ia sama sekali tidak mengerti.
"Tadi Bara bilang apaan sih ke elo?" Verga bersedekap. "Lo ada hubungan apa sama dia?"
Susan mendongak. "Gue nggak ada apa-apa sama Kak Bara. Gue aja nggak tau kenapa dia tiba-tiba datang ke kelas." Jawab Susan jujur. Ia memang tidak tau kenapa Bara tiba-tiba datang ke kelas.
"Dia bilang apa aja?"
"Kenapa lo pengen tau banget sih?" Balas Susan tidak suka. Rasanya Verga seakan mengekangnya.
"Tinggal bilang aja susah banget sih?" Verga berdecak.
"Lo juga, tinggal anggap yang tadi nggak penting aja susah, sok peduli."
"Gue nggak bisa gitu aja nggak peduli." Verga menggertakan giginya.
"Kenapa? Lo ada masalah kalo misal gue dekat sama Kak Bara?" Kata Susan. "Bukan urusan lo juga."
"Urusan gue!" Mata tajam Verga seakan menusuknya, mata itu benar-benar tajam. Ada raut ketegasan dan disaat bersamaan permohonan.
"Diri gue kok lo yang urus sih?" Sinis Susan tidak suka.
"Karena lo punya gue, lo milik gue. Nggak ada yang boleh ganggu apa yang jadi milik gue. Ini peringatan pertama, yang kedua gue nggak bakalan baik hati lagi sama elo." Susan menelan ludahnya dengan susah payah. Kata-kata Verga benar-benar tajam menusuk, Susan sampai tidak bisa berkutik.
"Ngerti?" Bagai ucapan Verga adalah hal yang tidak bisa di tolak, Susan mengangguk. Verga tersenyum menang. "Pulang bareng gue." Susan menggeleng.
"Nggak mau."
Verga menaikan satu alisnya. "Lo nolak?" Susan baru pertama kali melihat sisi Verga yang satu ini. Sisi yang tidak ingin di bantah, dan dingin. "Bener?"
"Ver, lo nyeremin tau nggak," Susan bahkan takut menatap mata Verga, ia hanya menunduk.
Verga tersenyum miring. "Kalo lo nggak mau lihat gue yang kayak gini, turutin yang gue bilang. Ngerti?" Nada suara Verga memang terdengar lembut, tapi ada kesan tidak ingin di bantah.
Dengan takut-takut Susan mengangguk. "Iya,"
Verga mengusap rambut Susan. "Bagus." Verga memegang dagu Susan, membuat cewek itu mendongak melihatnya. Mata Verga terlihat begitu teduh, lembut. Susan bahkan bagai terserap ke dalamnya, tidak bisa mengalihkan pandangannya ke tempat lain.
"Susan, dengar. Gue bukan nggak mau punya hubungan dengan elo. Tapi kalau lo punya hubungan sama gue, mereka pasti bakalan celakain elo. Dan gue nggak mau itu sampai terjadi." Verga mengacak rambut Susan gemas. "Sabar oke. Gue nggak bakalan biarin siapapun sakitin elo. Lo tau kenapa?"
Susan menggeleng, ia benar-benar tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Verga.
"Lo itu penting. Salah satu hal yang paling penting, dan gue bakalan jaga hal yang gue anggap penting. Walau nyawa gue taruhannya. Apapun gue lakukan. Mungkin lo kira ini cuma gombal atau sejenisnya, tapi nggak ini jujur dari hati gue. Lo mungkin berfikir kalo ini terlalu cepat, tapi bagi gue nggak. Lo tau, gue nggak pernah rasain hal seperti ini selain sama elo. Cuma elo yang bisa, cuma Susan yang bisa memporak porandakan hati Verga."
. . .Februari :)

KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Teen Fiction"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...