23. Ganjen?

8.8K 604 10
                                    

Verga menarik tangan Susan yang membuat langkah Susan berhenti. Begitu juga tiga orang yang bersamanya tadi.

"Lepas." Tukas Verga tidak suka. Dia melirik dengan tajam ke Fajar. Tapi cowok itu bukan melepaskan malah menarik Susan hingga Verga tidak lagi memegang tangan Susan.

"Dia punya urusan sama kita. Dan elo nggak ada hubungannya sama sekali. Jadi pergi." Febrian menatap begitu datar ke Verga, tapi bukan Verga namanya jika tidak melawan. Verga malah menarik kerah baju Febrian, hingga cowok itu menatapnya.

"Lo berurusan dengan dia." Verga menunjuk Susan. "Sama aja berurusan dengan gue." Tunjuknya pada dirinya.

"Lo jadikan dia pelampiasan?" Tanya Bara sarkas.

"Lo nggak tau apa-apa!" Verga menarik Susan hinggga Cewek itu terbentur di dadanya. "Ini peringatan pertama!"

Tanpa memberikan jarak Verga menarik Susan pergi.

"Kayaknya beneran cewek itu." Febrian memperbaiki kerah baju serta dasinya yang berantakan karena Verga.

"Hm. Memang dia." Balas Bara. "Gue bakalan buat dia jatuh. Lagi,"

***

"Verga lepas!" Susan sudah berulang kali menarik tangannya agar terlepas dari cengkeraman Verga. Tapi tangan cowok itu bagai batu yang begitu keras hingga Susan tidak bisa melepaskan tangannya.

Verga diam dengan rahang yang masih mengetat. Sampai di ujung koridor, dimana biasanya jarang orang lewat karena begitu dekat dengan gudang Verga baru melepaskan tangan Susan. Itu pun dengan kasar.

"Lo apa-apaan sih? Gue salah apa coba." Gerutu Susan, pergelangan tangannya memerah dan terasa sakit.

Bukannya merasa bersalah Verga malah menatap Susan tajam.

"Lo lupa sama apa yang gue bilang?" Verga mendengus.

"Bilang apa?" Susan meringis. "Kapan coba lo bilang."

Verga tersenyum sinis. "Lo mau banget ya di dekati banyak cowok, nggak cukup satu? Ganjen tau nggak."

Susan menatap Verga tidak percaya. "Oh, gitu terus kenapa lo mau dekat-dekat sama cewek ganjen ini?" Sarkasme begitu kental dalam kalimat Susan. "Hm?"

Sepertinya Verga baru saja melempar boomerang yang berimbas balik pada dirinya sendiri. Salah bicara, ah mulutnya memang tidak bisa di kontrol jika sudah emosi.

"San," Verga berniat memegang tangan Susan tapi cewek itu menepisnya dengan kasar.

"Nggak usah pegang-pegang." Susan menatap Verga marah. "Mulai sekarang jangan pernah dekat sama gue lagi. Jangan pernah dekat sama cewek ganjen ini. Satu lagi, gue bakalan bilang ke Bu Eka kalo gue nggak mau jadi tutor lo lagi." Susan berbalik dengan tangan mengepal.

Verga ingin mengejar tapi kakinya tiba-tiba terasa membatu hingga tidak bisa di gerakan. Ia hanya melihat pungung gadis itu yang semakin lama makin menghilang.

***

Sejak masuk dalam kelas wajah Susan terus saja tertekuk, saat Sheva bertanya Susan hanya menggeleng.

Verga yang baru saja masuk menatap Susan sebentar tapi cewek itu sama sekali tidak berniat melihat ke arahnya. Melirik saja tidak mau.

"Lo kenapa sama Susan?" Rizky sepertinya merasakan ada aura berbeda anatara Verga dan Susan. "Berantem kenapa?"

"Salah mulut gue nih." Verga frustasi, berulang kali dia mengacak rambutnya atau menghela nafas kasar.

Rizky malah tertawa. "Bukan salah mulut lo doang. Tapi otak lo juga." Rizky mengetuk dahi Verga mengunakan pensil. "Lo bilang apa ke dia?"

"Gue bilang dia ganjen karena dekat-dekat sama trio setan itu." Gumam Verga.

"Ganjen? Really?" Rizky terbahak. "Cewek mana coba yang nggak sakit hati di bilang ganjen? Tante girang juga sebenarnya sakit hati tapi dia mau gimana lagi, itu pekerjaannya."

"Gue mau minta maaf, tapi..."

"Gengsi?" Rizky geleng kepala. "Dengar, sekali lo bisa kalahkan gengsi lo. Selamanya lo bakalan menang lawan dia, karena gengsi selalu di kalahkan oleh rasa menyesal. Minta maaf deh lo cepat, sebelum Bara bertindak. Bisa ancur ntar."

"Tapi gue takut dia nggak maafkan gue." Verga tetap menatap ke arah yang sejak tadi dia pandangi. "Serba salah tau nggak?"

"How you know if you don't trying?" Rizky memasang wajah serius. "Lo mau kejadian itu keulang, lagi?"

Verga menggeleng. "Tapi.."

"Tapi, tapinya nanti aja. Keburu diambil orang. Susan itu cantik loh, cuma dia kurang percaya diri. Kalo gue belum segel temannya gue juga mau kok sama dia."

Sontak Verga melotot, dia memukul kepala Rizky. "Enak aja lo ngambil punya orang!"

Rizky malah tertawa. Bagai pukulan Verga tidak berdampak padanya, padahal Verga memukulnya lumayan keras. "Gue bilang 'kan kalo gue belum segel temannya' sekarang gue udah segel jadi gue nggak bakalan dekati Susan. Tenang aja. Dia tetap punya lo."

"Lo pacaran gitu sama Sheva?" Verga sama sekali tidak kaget, karena Rizky sudah mengatakan jika dia memang mulai tertarik pada Sheva. Verga setuju-setuju saja.

"Bisa di bilang gitu." Rizky sedikit terkekeh saat melihat Sheva yang sepertinya mengantuk, cewek itu menguap lumayan lebar. "Lo kapan? Nanti udah diambil nangis lagi."

"Mana pernah gue nangis." Verga memutar bola matanya.

"Barang kali, siapa tau?" Rizky mengendikan bahu. "Bisa aja Susan jadi cewek pertama yang buat lo nangis. Bahkan lebih menyakitkan dari dia."

***

Susan mengirim pesan ke Mamanya untuk meminta izin menginap di rumah Sheva. Mamanya setuju saja, asal jaga diri baik-baik.

Seperti beberapa hari belakangan, Sheva kembali membawa mobilnya. Dan untuk hari ini cewek itu memakai mobil fortuner hitam yang masih mengkilap.

"Yang udah bisa gonta-ganti mobil."

Sheva tertawa. "Sekali-sekali nggak masalah lah, nggak ada yang marah juga. Semua ini 'kan punya gue." Susan berlagak ingin muntah mendengar perkataan Sheva. "Kita singgah, oke?"

"Kemana?"

"Mall!"

Susan tidak suka pergi ke Mall, tau kenapa? Karena dia tidak suka kepadatan di tambah lagi dia tidak suka memilih sesuatu. Karena itu dalam milih-memilih dia pasti akan meminta bantuan Mamanya atau Sheva. Dia memang cewek, tapi entah kenapa dia belum bisa berteman dengan dunia cewek.

Sampailah mereka di salah satu pusat Mall terbesar dikota. Sheva dengan semangat menarik tangan Susan masuk. Seakan sudah begitu hafal dengan seluk-beluk Mall besar ini, Sheva masih menarik Susan menuju lantai dua. Toko baju dan perlengkapan menjadi awal penderitaan Susan.
Sheva meletakan telunjuk di dagu. Kakinya mengelilingi deretan baju dan dress yang tertata rapi. Tangannya beberapa kali mengambil dan meletakan kembali baju yang ia anggap tidak cocok. Jika cocok ia akan memberikannya ke Susan, untung saja reflek cewek itu baik jika tidak pakaian berharga selangit itu pasti akan menyentuh lantai.

Entah sudah berapa baju, yang pasti semua baju pilihan Sheva hampir menutupi pandang Susan saking banyak kamu yang temannya itu pilih.

"Lo coba yang ini, gue coba yang ini." Susan menerima dress hitam yang berpotongan di atas lutut, dan tanpa lengan. Susan menggeleng.

"Terlalu terbuka."

Sheva berdecak. "Cepatan!" Desak Sheva.

"Malas. Gue nggak mau." Susan menggeleng. "Gue pilih sendiri."

Sheva mencibir. Tapi dia mengangguk, setelahnya segera masuk ke salah satu bilik untuk berganti baju.

Ini adalah bagian yang tidak Susan suka. Mencoba baju. Dan pasti tidak hanya sekali. Apalagi jika bersama Sheva.
. . .

Masih ada yang baca cerita ini? Jangan silent dong, komen sekali-sekali nggak bakal buat kouta habis kok.

VersusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang