Susan menguap begitu lebar panggilan telfon dari Sheva membangunkannya.
Tok...Tok...Tok...
"Kakak makan dulu." Deva membuka pintu kamar anak gadisnya. "Sarapan dulu." Deva meletakan nampan berisi makanan itu di atas meja. Dengan punggung tangan menyentuh kening Susan.
"Masih panas, Pa?" Jeni masuk membawa obat yang sudah disiapkannya.
Deva mengangguk. "Masih agak hangat sih." Susan hanya memakan makanannya dengan santai.
"Apa Tipes kamu kambuh Kak? Nggak turun-turun panasnya." Deva menangkup pipi Susan.
"Enggak kayaknya, cuma demam biasa ini. Nanti juga sembuh." Susan kembali memakan makanannya. Susan memang mempunyai riwayat penyakit tipes, tapi itu sudah sangat lama. Sudah tidak pernah kambuh lagi, karena kata Dokter ia sudah benar-benar sembuh.
"Papa jadi nggak tenang kerja kalau Kakak begini." Susan memang paling dekat dengan Papanya. Kata orang seorang Ayah akan sangat dekat dengan anak perempuannya. Apalagi Susan adalah anak pertama.
"Papa kerja aja, jangan ditunda." Susan meneguk air minumnya. "Aku baik kok. Nanti juga sembuh." Susan tersenyum.
Deva menghela nafas, menatap anak gadisnya yang masih tampak pucat. Deva mengusap rambut Susan. "Papa berangkat kalau begitu." Deva memang sudah siap dengan seragam pilot miliknya, hanya belum memakai topi kebanggaannya saja.
Susan mengangguk, mengambil tangan Deva dan menciumnya. "Papa hati-hati." Deva tersenyum lalu mencium puncak kepala Susan.
"Kamu juga cepat sembuh." Sejujurnya Deva enggan pergi, baru beberapa hari pulang sudah harus pergi karena panggilan tugas.
Deva berdiri berjalan ke Jeni. Memeluk wanita itu erat. "Jaga diri dan anak-anak." Jeni mengangguk membalas pelukan Suaminya.
"Kamu juga. Matanya jangan terlalu sering lirik sana-sini."
"Ada kamu buat apa lirik ke tempat lain." Deva mencium dahi, pipi dan terakhir bibir Jeni. "Aku pamit. Kamu nggak usah antar sampai bandara sampai depan aja. Teman aku jemput." Jeni mengangguk.
"Kamu nggak mau pesan sesuatu? Papa kali ini ke jepang." Susan menggeleng.
"Papa pulang secepatnya aja." Susan memelas pelukan Deva. "Papa jangan lupa makan."
"Iya, sayang."
Suara klakson yang terdengar berasal dari depan rumah, membuat Deva segera menarik kopernya.
"Itu teman Papa datang. Papa berangkat." Setelah berpamitan pada Susan, Deva dan Jeni berjalan keluar. Jeni hanya mengantar Deva hingga depan pintu.
"Aku mungkin pulang sebulan lagi. Jaga diri baik-baik, sama anak-anak." Jeni mengangguk, setelah pelukan singkat Deva masuk ke dalam mobil.
Jeni melambaikan tangannya setelah mobil itu melaju. Deva juga sudah berpamitan pada Brian sebelum anak laki-laki itu berangkat sekolah.
Jeni menutup gerbang, lalu masuk ke dalam rumah. Rumah yang dulu di belinya dan Suaminya. Sudah 17 tahun, tidak terasa. Anak pertamanya sudah beranjak remaja sedangkan anak keduanya sudah Smp kelas 3 sebentar lagi akan Sma. Waktu memang berlalu dengan cepat, rasanya baru kemarin dirinya dan Suaminya menikah, lalu tinggal di rumah ini. Saat pertama Susan lahir, belajar merangkak, berbicara, bermain. Rasanya waktu memang berjalan begitu cepat. Tidak terasa.
"Mama mikir apaan sih?" Susan yang baru saja turun dari tangga menekan ke Mamanya yang sedang tersenyum.
"Enggak," Jeni memeluk Susan dari samping. "Mama keingat yang dulu-dulu."

KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Novela Juvenil"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...