Bel sekolah telah berbunyi saat Susan berlari menuju kelasnya. Susan menghela nafas melihat meja guru yang masih kosong, dan beberapa teman kelasnya yang menatapnya karena berlari dengan kecepatan super dan membuka pintu kelas dengan kesetanan.
Semua karena salah film yang ia tonton semalam, kenapa sih film bagus selalu saja tayang malam-malam sekali.
Susan duduk di kursinya, tentunya ia hanya sendiri. Karena Verga yang pindah tempat ke paling belakang, duduk bersama para deretan anak nakal.
Susan menghela nafas. Mengatur nafasnya yang memburu karena berlari. Susan membuka botol minumnya dan meneguk isi botol itu hingga setengah.
Susan mengusap sudut bibirnya yang basah karena air sebelum beranjak, ponselnya bergetar, dan itu adalah panggilan dari Om Irfan.
Susan masuk ke dalam salah satu bilik toilet, setelah memastikan tidak ada orang di sana.
"Oke, Om." Susan memutuskan panggilan telefon itu dan keluar. Tersentak karena ada Verga yang berdiri di depan bilik yang ia masuki. Bagaimana cowok itu bisa masuk ke dalam rumah perempuan?! "Ngapain lo di sini? Ini toilet cewek!"
Verga menatap datar Susan, perlahan memajukan tubuhnya tapi Susan dengan sigap berlari, tapi kalah cepat karena Verga sudah terlebih dahulu menarik tangan Susan hingga membentur tembok. Verga meletakan kedua tangannya di samping kepala Susan, menatap cewek itu dengan tajam.
"Aduh!" Susan meringis pelan, menatap tajam Verga tapi segera membuang pandangan saat sadar jarak yang terjadi diantara keduanya terlalu dekat.
"Gue marah sama lo."
Susan perlahan menatap Verga yang menunduk. "Gue tau."
"Gue marah sama lo."
Susan menatap Verga tidak mengerti. "Ya udah, salah siapa nggak mau dengar penjelasan gue."
"Gue marah sama lo," Verga cepat menambahkan sebelum Susan berbicara. "Tapi gue rindu."
Susan terdiam, membuang wajahnya ke arah lain. Ke arah lain selain mata Verga yang sendu, mata yang semakin meyakinkan apa yang cowok itu ucapkan.
"Semua gara-gara lo, kenapa sih lo ada di kepala gue terus? Padahal gue marah sama lo." Verga semakin mendekatkan wajahnya ke Susan. Tapi cewek itu memundurkan kepalanya, walau tau itu sama sekali tidak ada gunanya. "Tapi lo bikin gue kangen terus."
Susan menahan dada Verga saat cowok itu semakin dekat. "I-ini toilet."
Verga menarik dirinya, membuat jarak diantara dirinya dan Susan. Tentu hal itu membuat Susan lega, karena sejak tadi jantungnya berdetak seperti sedang berlari. Susan memegang dadanya yang bergemuruh.
Verga mengangkat dagu Susan dengan jarinya. Ia pandangi wajah yang beberapa lama ini tidak ia lihat secara dekat.
Susan mengerjab bingung, tapi saat Verga mendekat cewek itu langsung bergerak mundur. Bahkan hendak berlari keluar dari toilet, sayangnya pintu itu terkunci.
Susan menggedor pintu, tapi belum sempat ia melakukan itu dengan tangan menarik tangannya yang hendak memukul pintu.
Verga menahan kedua tangan Susan di samping kepala cewek itu. "Gue lagi marah loh," Verga menatap Susan yang tampak menelan ludah. "Lo nggak berniat minta maaf atau kasih penjelasan?"
Susan terdiam, dia menatap Verga dengan pandangan tidak terbaca. "Penjelasan? Apa itu perlu, heh?" Sinis Susan, berusaha melepaskan tangannya tapi tidak Verga izinkan. "Lo aja selalu menghindar kalo gue mau bicara, lo nggak pernah ada di rumah. Lo nggak pernah angkat telfon atau balas pesan gue. Gue berulang kali kasih lo penjelasan tapi lo tuli, nggak mau dengar!" Nafas Susan memburu, tanpa sadar air mata cewek itu mengalir. Susan menunduk, menyembunyikan air matanya.
Sudah berulang kali Susan meminta maaf, berulang kali Susan menjelaskan. Entah melalui pesan suara, sms atau apapun. Bahkan surat tapi tidak satupun yang di respon, malah sikap Verga semakin dingin.
"G-gue udah jelaskan berulang kali. Tapi lo selalu aja nggak mau dengar." Susan sesenggukan. "Kasian Rizky, dia nggak salah apa-apa, gue yang ajak dia ke taman waktu itu. Gue mau tanya sesuatu, karena gue yakin dia tau. Kalo tanya lo pasti lo nggak bakal jawab. Tapi malah ada berita kalo gue nikung Sheva, padahal enggan. Gue cuma mau tanya aja, tapi nggak enak kalo ngomong di telfon."
"Lo mau tanya apa?"
Susan mengangkat kepala. "Bisa ikut gue nanti sore? Gue bakal kasih tau semuanya."
***
Seperti yang sudah di setujui. Susan dan Verga berangkat bersama menuju restaurant yang telah di kirim alamatnya oleh Om Irfan. Sedangkan Rizky yang berhasil mengajak Sheva untuk ikut sudah berada di tempat tujuan.
Susan turun dari mobil Verga saat mobil Verga telah terparkir di depan sebuah restaurant.
Verga diam, hanya mengikuti kemana Susan berjalan. Verga menemukan orang-orang yang tampak tidak asing duduk bersama di salah satu meja.
Susan menarik tangan Verga, seakan tau jika cowok itu ingin menghindar.
Susan mendorong Verga duduk di sampingnya. "Malam, Om, Tante." Susan tersenyum ke arah Irfan, Ava dan Lina yang ada di sana.
"Malam." Irfan tersenyum. "Makasih kalian berdua mau bantu, Om."
Susan dan Rizky tersenyum.
"Nggak masalah kok, Om." Susan menjawab. "Oke, karena Verga dan Sheva sudah di sini saya permisi. Ada janji dengan teman saya."
"Loh, di sini aja, Susan." Lina menahan tangan Susan yang hendak berdiri.
Susan tersenyum, melepaskan tangan Lina perlahan dari tangannya.
"Ini masalah keluarga, Tante. Saya yang cuma orang luar nggak mau ikut campur." Susan tersenyum.
Rizky ikut berdiri, perkataan Susan seakan menjelaskan jika Rizky juga tidak bisa berada di sana.
Setelah Susan dan Rizky keluar dari restaurant, meja itu mendadak hening.
"Sebenarnya ada apa?" Sheva akhirnya membuka suara.
Ketiga orang tua itu terdiam. Irfan tersenyum. "Ini akan jadi cerita yang panjang."
***
Rizky sempat ingin mengantar Susan pulang, tapi karena Susan beralasan ingin membeli beberapa makanan. Terutama kadang. Rizky mengiyakan dan pulang lebih dahulu.
Sedangkan Susan yang telah selesai membeli kue dan sekilo kacang almond segera bergegas pulang.
Susan berjalan dengan langkah perlahan, matanya menatap trotoar yang lumayan ramai.
"Susan!" Susan menoleh, kemudian tersenyum. "Habis darimana?" Bara tersenyum, sudah lama Susan tidak melihat Kakak kelasnya ini. Termasuk faktor karena kelas 12 telah selesai ujian, dan tentunya mereka di minta untuk tinggal di rumah. Tidak perlu datang ke sekolah lagi.
Susan mengangkat belanjaan di tangannya. "Biasa, beli stok makanan buat di rumah."
Bara mengangguk. "Masih dekat dengan Verga?"
Susan melirik Bara yang berjalan di sampingnya, memangnya kenapa jika Susan dan Verga dekat? Dan jika tidak juga kenapa?
"Biasa aja." Susan mengalihkan pandangannya.
Bara mengangguk beberapa kali. "Gue cuma sarankan, Verga itu nggak seperti yang lo lihat. Dia punya sesuatu yang nggak bakal dia bagikan ke orang lain. Mungkin sekarang dia manis, atau baik ke elo. Tapi, itu cuma sebentar."
Susan menghentikan langkahnya, menoleh pada Bara dengan pandangan tidak suka. "Kenapa lo harus peduli, kalaupun Verga cuma mainin gue?"
Bara terdiam. "Gue cuma mau memperbaiki apa yang gue rusak."
"Apa itu ada hubungannya dengan gue? Enggak, kan?" Susan mendengus. "Bukan urusan lo juga." Susan berbalik, dengan langkah cepat menjauh dari Bara.
"Verga itu friendzone!"
. . .

KAMU SEDANG MEMBACA
Versus
Genç Kurgu"Vergara Saketa Rigelo, anak paling nakal, tukang bolos, player, dan yang terpenting Raja PHO!" "Wow," Verga berdecak kagum. "Lo hapal semua kelakuan gue, ternyata diam-diam elo stalker semua yang gue lakuin." Versus ©2017 ...