1 - Awal Mimpi

3K 139 2
                                    

"Konyol sekali." Ujar seorang gadis cilik berambut panjang berwarna hitam-biru. Raut wajahnya yang muram dan kesal seolah mengatakan bahwa dia tidak suka dengan cerita yang baru saja didengarnya sendiri. Hal ini menarik perhatian seluruh anggota keluarganya.

"Apa yang konyol, Anna?" Tanya seorang wanita yang merupakan ibu gadis kecil itu heran. Tidak biasanya anak itu mengomentari cerita yang dibawakan oleh ibunya.

"Apakah sampai sekarang benar-benar belum ada seorangpun yang berniat mengadakan perdamaian kembali? Apakah mereka senang dengan keadaan sekarang?" Jawab gadis kecil itu kesal. Mata birunya berkaca-kaca, menatap tajam ke arah buku cerita itu.

"Begitulah, Anna... kenapa kau mengatakan bahwa cerita ini konyol? Bukankah gurumu menugaskanmu untuk membacakan kisah ini di depan kelas besok?" Ujar sang ibu. "Lagipula, inilah legenda turun-temurun setiap suku dan setiap penghuni planet ini."

"Ibumu benar, Nak." Kali ini sang ayah angkat bicara. "Suku Dionam adalah suku yang barbar, padahal di legenda itu jelas sekali tertulis bahwa mereka yang bersalah. Tapi mereka tidak tahu malu, dan tidak mau meminta maaf." Jelasnya panjang lebar.

Lucianna White - nama gadis cilik itu - akhirnya terdiam. Dan akhirnya meminta izin untuk pergi ke kamarnya. Sepanjang koridor, Lucianna terus-menerus mengomel dalam hatinya. "Percuma saja, tidak akan ada yang mau mendengar pendapat anak berusia 8 tahun sepertiku ini."  Batinnya.

Sesampainya Lucianna di kamarnya, dia menghempaskan bukunya ke atas meja belajarnya dan merebahkan dirinya ke tempat tidurnya. Tepat di samping tempat tidurnya yang luas, terdapat sebuah jendela yang besar. Dari jendela itu, tampak jelas pemandangan Kota Aphrone di malam hari. Dengan langit penuh bintang dan objek lainnya, cukup 2 kata yang diperlukan untuk mendeskripsikan keadaan saat itu, sangat indah.

Lucianna mendesah pelan. "Seandainya penghuni planetku seperti bintang- bintang itu... mereka memiliki ukuran dan intensitas cahaya yang berbeda-beda. Tapi mereka bisa bersinar bersama-sama dan membuat keindahan seperti ini di langit malam..." batin Lucianna, berfilosofi.

'Tok-tok-tok' terdengar suara ketukan pintu yang menyadarkan Lucianna dari lamunannya. Ketika pintu dibuka, tampaklah 2 sosok remaja laki-laki dan perempuan. Mereka adalah kakak kembar Lucianna, Leanra White dan Leonro White.

"Ah... Kak Lean, Kak Leon... ada apa?" Tanya Lucianna seadanya. Bisa dibilang kejadian tadi sudah mengikis mood-nya. "Kami mendengar perdebatan kecilmu dengan ayah dan ibu tadi. Kau mengalah lagi 'kan?" Tanya Leanra to the point.

Sebelum menjawab, Lucianna mempersilahkan kakak-kakaknya untuk duduk terlebih dahulu. Kemudian, Lucianna duduk di atas tempat tidurnya. "Yah, aku terpaksa mengalah, Kak. Kakak tahu aku tidak ingin mengadakan pertengkaran bukan?" Ujar Lucianna dengan nada pasrah. "Jangan konyol, kau mana kuat menahan gejolak pertanyaan itu? Coba ceritakan pada kami." Ujar Leonro sambil mengunyah biskuitnya. Lucianna menatap kedua kakaknya sejenak.

Leanra White, kakaknya yang tertua, berusia 13 tahun. Memiliki rambut yang halus dan panjang berwarna pirang-putih dan mata berwarna abu-abu gelap. Salah satu pemegang elemen angin. Leanra adalah penerus keluarga White, yang sering sekali diejek oleh kedua adiknya dengan julukan 'Gadis Robot' karena terlalu patuh pada peraturan. Padahal semua itu karena Leanra sejak kecil selalu dididik untuk menjadi penerus. Dan hal itu mengakibatkan Leanra harus mengorbankan masa kecilnya dengan didikan orang tuanya.

Leonro White, kakaknya yang kedua, berusia 13 tahun. Memiliki rambut berwarna hitam-kuning dan mata berwarna kuning tua. Salah satu pemegang elemen petir. Awalnya, Leonro adalah penerus keluarga White. Jikalau saja sikap dan karakternya mendukung. Leonro sama sekali tidak bersikap dewasa, melainkan sangat kekanak-kanakkan. Oleh sebab itulah, orang tua mereka memilih Leanra untuk menjadi penerus. Bisa dibilang, Lucianna mendapatkan sikap bandelnya dari semua ajaran Leonro.

"Aku..." Lucianna membuka suaranya. Terdapat sedikit keraguan dalam iris birunya. "Aku... ingin menjadi orang yang mewujudkan Perdamaian Zenara, Kak..." ujar Lucianna ragu. Leonro memberi respon baik untuk adik kesayangannya ini. Tapi tidak dengan Leanra.

"Lucy..." Leanra memanggil nama adiknya lembut. "Kau tidak ingat? Dulu..." Belum selesai Leanra mengucapkan kalimatnya, Lucianna sudah memotong. "Tidak! Aku yakin, itu bukan atas kehendak mereka sendiri! Aku sangat yakin!" Ujar Lucianna lantang, setengah berteriak. Kini Leanra bisa melihat mata sapphire adiknya berkilauan penuh semangat.

"Itu baru adikku." Ujar Leanra dengan senyum bangga, disambut oleh anggukan Leonro. "Tapi... aku rasa, aku tidak akan bisa mewujudkan itu." Ujar Lucianna dengan suara pelan. Leanra yang mulai merasa jengkel, akhirnya memutuskan untuk ikut bercerita.

"Lucy, Leon, apakah menurut kalian... aku pantas menjadi penerus?" Tanya Leanra. Sebelum sepatah kata terucap, pertanyaan Leanra sudah dijawab oleh tatapan heran dan gelak tawa dari kedua adiknya. "Kak Lean bicara apa 'sih? Bukankah jawabannya sudah sangat jelas? Tidak ada lagi penerus sehebat kakak." Lucianna menjawab tanpa menghentikan tawanya. "Lean, lihat deh... bahkan adikmu menertawakan pertanyaan anehmu itu." Ujar Leonro dengan nada mengejek.

Leanra tersenyum hambar mendengar perkataan kedua adiknya. Mata diamond  indahnya tampak berkaca-kaca. "Secara karakter, aku memang calon penerus yang baik. Tapi, ada kalanya dimana ayah mengeluhkan satu hal dariku." Ujar Leanra sedih. "Apa itu?" Tanya Lucianna heran, tidak percaya bahwa kakak tertuanya memiliki kekurangan.

"Kekuatanku..." ujar Leanra beberapa saat kemudian. "Bagaimana bisa seorang penerus, yang harusnya melindungi seluruh anggota keluarga, menjadi pengendali elemen yang paling lemah?" Ujar Leanra. Frustrasi, itu kata yang tepat untuk menebak suasana hatinya saat ini. Saat itu memang sedang marak pengurutan tingkat kekuatan tiap elemen, dan elemen angin berada di peringkat terakhir. Sejak saat itu, ayah mereka seringkali membicarakan soal kekuatan. Dan tentunya hal ini membuat Leanra merasa tertekan.

"Lean..." ujar Leonro menenangkan Leanra. "Aku minta maaf." Ujar Leonro dengan nada sedih. Mungkin Leonro merasa bahwa dialah yang telah melukai saudarinya. Kalau saja dia bisa lebih dewasa lagi, hal ini pasti tidak akan terjadi. "Aku akan membantumu menjadi penerus keluarga ini, Lean. Maafkan aku yang sudah melalaikan kewajibanku ini ya." Ujar Leonro tersenyum.

"Kak Lean bukan seseorang yang lemah hanya karena kekuatan! Kak Lean memiliki semangat yang jauh lebih kuat daripada elemen terkuat sekalipun!" Ujar Lucianna mantap. Disambut dengan seringaian di wajah cantik Leanra. "Kalau begitu, kenapa kau mau menyerah, Lucy? Kau sudah memegang elemen air, salah satu elemen yang terkuat! Dan karakter serta ilmu milikmu jauh lebih kuat dariku. Jadi apalagi yang kau takutkan?" Tanya Leanra.

"Kakak, sebenarnya... kakak mendukung perdamaian atau tidak?" Tanya Lucianna sedikit kesal. Membuat kedua kakaknya terkekeh sesaat. Sebelum akhirnya mereka menggeleng dengan sebuah senyuman. "Kami tidak menginginkan perdamaian sama sekali, karena bagi kami... kami sudah cukup bahagia dalam situasi seperti ini. Tapi, jika adik kami adalah seseorang yang sangat pro terhadap perdamaian, dan menginginkan Perdamaian Zenara secara serius... apa boleh buat." Ujar Leanra lembut, disambut dengan anggukan kepala Leonro.

"Kalau masalahmu ada di letak pengendalian sihir, kita bisa belajar bersama-sama setiap hari di halaman belakang. Bagaimana Lucy? Jangan menyerah untuk mewujudkan cita-citamu itu ya..." ujar Leonro dengan senyum lebarnya.

Lucianna menghambur ke pelukan kedua kakaknya. Mereka berdua adalah idola dan panutan Lucianna sejak kecil. Bahkan bisa dibilang bahwa Lucianna lebih menyayangi kedua kakaknya daripada kedua orang tuanya. Karena hanya kedua kakaknya yang benar-benar peduli terhadap Lucianna dibandingkan dengan kedua orang tuanya yang selalu sibuk.

"Aku sangat menyayangi kalian berdua..." ujar Lucianna dalam pelukan kedua kakaknya. Kehangatan ini, adalah hal yang paling Lucianna sukai, berhubung dia tidak pernah merasakan pelukan kedua orang tuanya. Diliriknya buku cerita tadi,

"Tunggulah, aku bersumpah akan mewujudkan Perdamaian Zenara!"  Batinnya dalam hati.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang