"Lucianna White, 16 tahun, seorang Water Bender."
"Putri bungsu walikota Aphrone, Reanault White dan Lunaria White."
"Dia sangat berbahaya. Walau dia belum menyadarinya."
"Harus kita apakan dia?"
"Tuan?"※※※
Lucianna terbangun dari tidurnya. Hari sudah pagi, Rose masih terlelap di tempat tidurnya. Tanpa pikir panjang, Lucianna segera membangunkan Rose, bergegas ke kamar mandi, dan bersiap-siap ke sekolah.
"Lucy... kau sedang apa?" Ujar Rose melihat Lucianna keluar dari kamar mandi. Matanya masih terpejam setengah. Tentu saja berat untuknya walau hanya sekedar bangun untuk bersekolah.
"Bersiap-siap ke sekolah." Ujar Lucianna singkat sambil menyisir rambut hitam-biru panjang miliknya.
Rose hanya menganggukkan kepalanya kemudian kembali meringkuk di tempat tidurnya. "Hati-hati. Hari ini lumayan dingin..." ujar Rose sambil menunjuk ke arah jendela. Cuacanya memang masih mendung semenjak kemarin malam.
Lucianna heran melihat tingkah Rose yang terbilang cukup aneh. Kenapa dia tidak bersiap-siap pergi ke sekolah?
"Aku tidak ada kelas pagi hari ini. Mr. Ray, wali kelasku, sedang ada urusan. Kita akan bertemu di kafetaria lagi nanti." Ujar Rose seolah membaca pikiran Lucianna.
Lucianna hanya bisa mengangguk sambil cekikikan. Kemudian bergegas mengambil tasnya dan berniat melangkah keluar kamar. Namun tiba-tiba Rose menghentikannya.
"Payungmu?" Tanya Rose keheranan melihat Lucianna tidak membawa payungnya. Lucianna hanya bisa tersenyum bangga sambil mengayunkan tongkat sihirnya. "Aku adalah seorang Water Bender. Tenang saja, Rose." Kemudian diapun segera berlalu.
Lucianna melihat buku agenda siswa miliknya. Untuk jam pertama adalah kelas praktek sihir. Dan guru yang mengajar adalah... Mr. Dat.
Lucianna kembali mengingat kejadian kemarin, dimana Rucarion mengutarakan ide gila miliknya untuk 'Membunuh' sisi gelap guru itu. Yang diduga merupakan Suku Orbica Hitam. Lucianna menghela napasnya berat.
Sesampainya di kelasnya, masih ada banyak waktu tersisa. Ini saat yang tepat bagi Lucianna untuk berbaur dengan kelasnya. Lucianna meletakkan tasnya di atas meja. Dan menghampiri beberapa anak perempuan yang sedang mengobrol.
"Hai, aku Lucianna!" Ujar Lucianna ceria. Walau dia membenci hal ini, dia harus berteman dengan seseorang dalam kelasnya. Setidaknya untuk bertahan hidup bila ada tugas kelompok.
"Oh, hai." Jawab seseorang dari mereka. Tatapannya tajam mengarah ke Lucianna. Mereka menatapnya dengan tatapan tidak suka. Lucianna menyadari hal ini. "Ada apa?" Tanya Lucianna.
"Dia ya? Gadis yang berani-beraninya sok jago mengguyur pangeran kita? Dan mengata-ngatainya?" Tanya salah seorang gadis itu dengan nada tajam dan menyindir. Beberapa detik kemudian mereka berbisik-bisik satu sama lain.
Walau tidak mengetahui apa yang mereka ributkan, Lucianna tahu mereka sedang membicarakan dirinya. Ingin sekali Lucianna mengguyur mereka juga. Tapi dia hanya bisa tersenyum kaku dan menyingkir dari sana.
"Ternyata benar, kesan pertama itu memegang segalanya." Batin Lucianna dalam hati. Kemudian berjalan ke arah tempat duduknya.
Dari tempat duduknya, dia melihat seorang gadis yang kelihatannya bernasib sama dengannya. Beda dengan gadis lain yang berkelompok dan meributkan hal lain, dia menyendiri sambil membaca buku.
Lucianna memutuskan untuk melihat gadis itu lebih dekat. Jadi dia beranjak dari tempat duduknya, dan berjalan ke tempat gadis itu berada.
Gadis itu berwajah cantik, dan memiliki rambut panjang berwarna pirang-hijau yang dikepang 2.
"Hei, kenapa menyendiri?" Ujar Lucianna ketika tiba di hadapan gadis itu. Gadis itu panik seketika dan berusaha menutupi wajahnya yang memerah dengan buku yang dipegangnya.
Lucianna terheran-heran dengan tingkah gadis di hadapannya ini. Tapi dia tidak melupakan misinya untuk mendapat teman. "Namaku Lucianna. Siapa namamu?" Ujarnya ramah dengan seulas senyum sambil mengulurkan tangannya.
Gadis itu mempererat pegangan pada buku di tangannya. Dan membalas pertanyaan Lucianna dengan tatapan takut. Wajahnya terlihat sangat memerah dan panik. Kemudian menundukkan kepalanya. Menyembunyikan manik emeraldnya dari tatapan Lucianna.
Lucianna terheran-heran melihatnya. Dan tiba-tiba saja, muncul seorang pemuda. Yang kelihatannya merupakan teman sebangku gadis itu. Dia memiliki mata berwarna kuning dan rambut berwarna coklat-kuning, dan tidak setinggi anak laki-laki seusianya. Pemuda itu bisa dibilang hanya 5-10 cm di atasnya.
"Ah, kau... anak baru... ada perlu apa disini? Dan apa yang kau lakukan padanya?" Ujarnya tajam. Namun menatap gadis itu dengan tatapan khawatir.
"Aku hanya ingin mengajaknya berteman. Tapi kelihatannya dia tidak mau. Baiklah, aku akan pergi." Ujar Lucianna tersenyum miris sambil beranjak dari tempat duduknya.
Tapi tiba-tiba kata-kata pemuda itu menahan gerakannya. "Dia bukannya tidak mau, tapi tidak bisa." Ujarnya tegas dengan tatapan sedih dan khawatir ke arah gadis itu. Lucianna mengerinyitkan dahinya.
"Mengapa tidak bisa?" Tanya Lucianna penasaran. Dia kembali duduk di kursi sebelah gadis itu. Gadis itu sudah mengangkat kepalanya menatap Lucianna dengan senyuman miris. Dan menganggukkan kepalanya ke arah pemuda di sampingnya.
"Dia... tidak bisa bicara." Ujar pemuda itu dengan suara lirih, mengandung kepedihan yang luar biasa.
"Dulu ada orang yang tidak sengaja melepaskan monster gila. Entah apa yang terjadi, pita suaranya terbakar oleh api monster itu. Dan hanya bisa disembuhkan jika kita mempelajari mantra khusus. Tapi... mantra itu hanya mitos belaka. Suaranya tidak akan bisa kembali." Ujar pemuda itu dengan nada bergetar.
Lucianna terpana mendengarnya. Lagi-lagi kurangnya mantra menjadi masalah Recht yang terbesar. Banyak hal yang bisa dilakukan dengan sihir mereka. Tapi tidak banyak mantra yang mereka ketahui untuk melakukannya.
"Aku tidak peduli dengan keadaanmu. Aku ingin berteman denganmu, dan ini kuucapkan tulus dari hatiku." Ujar Lucianna tersenyum pasti.
Gadis itu terkejut. Sekali-kali melirik pemuda di sampingnya yang menatapnya, menunggu jawaban darinya. Kemudian dia menatap Lucianna lama. Dan tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalanya ragu. Kemudian menundukkan kembali kepalanya.
"Dia mau menjadi temanmu." Ujar pemuda itu tersenyum kecil sambil menatap gadis itu. "Namanya Irene, Irene Evergreen. Nature Bender." Ujarnya lembut, sambil membantu Irene untuk mengulurkan tangannya yang bergetar karena takut dan malu. Yang langsung disambut oleh Lucianna.
"Dan karena kau adalah temannya sekarang, berarti kau temanku juga." Ujar pemuda itu tersenyum miring sambil mengulurkan tangannya. "Namaku Xavier Drakens. Lightning Bender. Senang bertemu denganmu." Ujarnya sambil tersenyum.
Lucianna tersenyum tulus ke arah mereka berdua. Irene dan Xavier, teman baru Lucianna. Mereka membuat Lucianna sadar bahwa tidak semua orang itu terlahir sempurna, atau akan selamanya sempurna. Selalu ada kekurangan pada mereka.

KAMU SEDANG MEMBACA
Magtera Roranta
FantasíaPlanet Zenara, dimana semua penghuninya yang berasal dari 4 suku yang berbeda. Hidup berdampingan dengan damai. Sampai suatu hari, perang terjadi. WARNING : CERITANYA SUPER-DUPER PANJANG Lucianna White, seorang gadis yang mencintai perdamaian semenj...