55 - Lelah

596 70 10
                                    

Rucarion menatap heran ke arah gadis biru di sebelahnya yang sedari tadi merebahkan kepalanya di atas meja. Pemuda itupun akhirnya memutuskan untuk membiarkannya saja. Toh, dia tidak mau terlalu ikut campur dalam permasalahan partner barunya itu.

Beberapa puluh menit kemudian, seorang Recht masuk diikuti dengan suara kepakan sayap lembut dari seekor burung hantu yang setia mengikutinya. Lucianna yang menyadari hal itu, segera mengangkat kepalanya dan bersikap siap mengikuti pelajaran.

Pelajaran ramuan bagi suku Recht sebagian besar berisi cara-cara meracik ramuan obat yang bisa dipakai pada keadaan mendadak, atau meracik ramuan untuk meningkatkan kekuatan mereka dan sebagainya. Singkat kata, pelajaran ini merupakan pelajaran yang penting setelah pelajaran mantra.

Tapi tentu saja, di Gynx Academy yang merupakan akademi khusus, ada sesuatu yang berbeda.

"Dioflame," ujar sang guru sambil memegang sebuah botol berisi cairan berwarna perak. "Cairan ini berhasil kubuat setelah melakukan riset bertahun-tahun."

Guru itu merupakan Recht yang sudah sepuh dengan janggut putih tebal dan postur tubuh yang renta. Mungkin dia tidak dapat berdiri atau berjalan tanpa berpegangan pada tongkat sihirnya yang tingginya melebihi tubuhnya.

"Ramuan ini..." lanjut guru tersebut dengan lembut. "Kubuat atas perintah raja kita yang sebelumnya, raja Rexhal III, untuk menciptakan senjata jikalau Dionam menyerang kita."

Lucianna terkejut mendengar ucapan guru tersebut. Sedikit menjelaskan kenapa ramuan tersebut dinamai 'Dioflame.'

"Tubuh Dionam yang lemah terhadap sihir merupakan keuntungan bagi kita untuk mengalahkan mereka. Ramuan ini kucampurkan dengan berbagai jenis mantra yang sekiranya dapat melemahkan Dionam."

Lucianna menunduk, kehilangan semangatnya untuk belajar. Gadis itu harusnya tahu, akademi yang dimasukinya adalah akademi yang selalu melahirkan Recht-Recht kualitas terbaik dan berbakat di bidang yang mereka tekuni, kecuali Dichornia, dan sudah barang tentu nyaris tidak ada orang yang memihak Dionam.

Lucianna melirik ke samping tempat duduknya. Rucarion tampak sedang menyimak dengan sangat serius. Lebih tepatnya, pemuda itu menatap lekat dan tajam ke arah botol yang sedari tadi dipegang oleh gurunya. Tanpa disadari gadis itu, Rucarion menggertakkan giginya.

Kelas itu kemudian diajarkan cara untuk meramu Dioflame. Dengan sangat terpaksa, Lucianna mempelajari bahan-bahannya, mencampurkannya, dan memasukkannya ke dalam botol. Gadis itu berharap tidak akan ada Dionam yang terluka karena cairan yang dibuat olehnya. Gadis itu melihat Rucarion melakukan hal yang sama dengan terpaksa dan ekstra hati-hati.

Lucianna kehilangan semangatnya karena memikirkan lagi impiannya untuk mewujudkan perdamaian ternyata masih sangat jauh. Dia tidak pernah menyangka bangsanya akan membenci Dionam sampai seperti ini. Bahkan raja terdahulu pernah meminta gurunya, alumni Gynx Academy untuk menciptakan senjata berbahaya seperti itu. Gadis itu mengikuti sisa pelajaran hari itu dengan tidak bersemangat.

Setelah beberapa jam yang diisi dengan pelajaran membosankan seperti matematika, sains, teknologi, dan pelajaran budaya, akhirnya para murid diizinkan untuk pulang. Lucianna yang sudah kehabisan energinya berniat untuk kembali ke asramanya dan mengistirahatkan dirinya. Mungkin saja dia bisa mengulang mimpinya pagi tadi.

Lucianna menatap ke meja sebelahnya, tempat duduk seorang fire bender yang dikenalnya, Rucarion Greene. Pemuda itu juga terlihat lebih diam, tapi Lucianna merasa ada hal yang berbeda dari sikap diam pemuda itu.

Seperti seseorang yang banyak pikiran...

Tergerak akan belas kasihan, Lucianna berinisiatif untuk menepuk pundak lebar Rucarion untuk memberikan semangat. Pemuda itu tersentak atas perilaku gadis itu, tapi membiarkan Lucianna melakukan apa yang diinginkan olehnya.

"Tidak apa-apa," ujar gadis itu lembut dengan tatapan datar tanpa ekspresi. Rucarion tidak membalas perkataan gadis itu, pikirannya menerawang entah ke mana. Lucianna menghela napas berat dan memutuskan untuk kembali ke asramanya dan menyiram kepalanya dengan air dingin. Maka, gadis itu melangkah ke luar kelas meninggalkan pemilik surai belang itu.

Sesampainya Lucianna di depan pintu akademi, seorang gadis bersurai pirang-hijau mendekati Lucianna dan mencegatnya keluar.

"Irene, ada apa?" tanya Lucianna datar. Jujur saja, gadis itu sedang tidak dalam suasana hati yang baik.

Gadis manis nature bender yang lebih tinggi darinya itu mendadak mencengkram pergelangan tangan Lucianna dan menyeretnya. Lucianna yang terkejut tertatih-tatih menyeimbangkan langkahnya sambil sekali-kali mengomel terhadap tingkah Irene. Entah apa yang merasuki gadis kalem itu hingga dia jadi seperti ini.

Kedua gadis itu tiba di sebuah koridor sepi di mana Irene melepaskan cengkraman tangannya. Lucianna yang tidak mengerti, spontan marah pada teman barunya itu.

"Apa maksudmu membawaku ke sini?!" tukas Lucianna marah. Irene menatapnya dengan tatapan tajam, tapi juga penuh harap. Lucianna tidak mengerti arti dari tatapan gadis itu padanya.

"Irene! Aku akan marah kalau kau tidak mengatakan sesuatu!" ujar Lucianna mulai meninggikan suaranya.

"Sesuatu,"

Lucianna terbelalak,

Irene membisu,

Angin berhembus,

Lucianna hendak mengatakan sesuatu, menanyakan sesuatu, tapi suaranya tidak keluar. Tidak bisa keluar. Apa yang baru saja terjadi sangat mengejutkan dirinya. Irene Evergreen yang bisu karena adanya cacat pada pita suaranya, bisa berbicara kembali.

"Bagaimana..." sepatah kata terucap oleh Lucianna. Dibalas oleh tatapan sendu oleh Irene yang berdiri di hadapannya saat ini.

"Aku harus bagaimana?" tanya Irene tanpa telepatinya. "Sudah jelas ini karena mantra penyembuhmu. Selain memulihkan Xavier, kau juga menyembuhkan aku."

Irene terisak, air matanya berjatuhan membasahi pipinya. "Aku harus bagaimana?!" bentaknya kepada Lucianna. "Apa yang harus kukatakan pada semua orang soal ini?"

Lucianna menatap tajam ke arah Irene, menodongkan tongkat sihirnya ke arah gadis manis itu. "Aku sedang dalam suasana hati yang sangat kacau. Saat ini aku sangat kebingungan. Kalau kau tidak senang suaramu kembali, aku bisa mengambilnya lagi darimu," ancam gadis itu.

Sepintas, Irene melihat perubahan warna pada iris mata gadis biru itu.

"Aku tidak suka dengan sifatmu. Dari cerita Xavier, dan bagaimana kau mengontrol emosimu. Kau tahu Irene? Kau tidak perlu bersikap lemah hanya karena kau mau dimanja. Aku tahu kau kuat. Jadi, putuskan apa keinginanmu dengan jelas, tentukan pilihanmu dengan pasti," ujar Lucianna sambil beranjak dari tempatnya.

"Bertingkah pengecut sepertimu itu bukan gayaku," lanjut Lucianna sambil melemparkan tatapan dingin ke arah Irene.

Langkah Lucianna terhenti sejenak. Dia menatap mata emerald gadis nature bender itu dalam-dalam.

"Satu lagi, kau yang harus memilih. Greene, atau Drakens yang selalu ada di sampingmu dan rela melakukan segala sesuatu untukmu," ujar Lucianna dengan tajam. Gadis itupun segera berlalu, meninggalkan Irene yang terdiam ketakutan dan kebingungan.

Author's note :

Mengenai next season Magtera Roranta, berikan aku waktu untuk merenungkan lagi. Apakah nanti akan kubuat di book baru, ataukah kulanjutkan di sini, semoga kalian suka dengan keputusanku nanti. Maaf sudah merepotkan kalian dan tidak konsisten T~T

See you in next chap! ^^

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang