41 - Penemuan

789 78 3
                                    

"Terima kasih sudah menyelamatkan hidupku." Kalimat singkat itu terus berputar di kepala Lucianna. Karena setiap kali dipikirkan, gadis itu tidak sadar sama sekali mengenai tindakan heroiknya sebagai pahlawan hampir kesiangan.

※※※

Saat itu Xavier baru saja kembali dari luar kelasnya. Pemuda berpostur mungil itu kembali duduk di mejanya seperti tadi. Irene juga sudah tidak menghiraukan keributan di luar lagi, dan kembali pada aktivitas salin-menyalin miliknya. Tapi tidak dengan Lucianna.

Di kepala gadis biru itu seolah-olah terjadi adu pendapat antara dia dan dirinya sendiri. Gadis itu merasa bahwa masalahnya tidak akan selesai sampai di sini. Dia tahu sedikit hal mengenai Rucarion sang pembuat onar. Tidak mungkin masalahnya akan selesai begitu saja.

Dengan cepat Lucianna mencoba melihat sedikit saja mengenai apa yang sedang terjadi di luar kelas mereka, dan benar saja. Gadis itu melihat detik-detik Scarlet membisikkan sebuah mantra dengan tongkat sihir mengarah pada Rucarion.

Yang ada di kepalanya saat itu hanyalah teriakan dalam dirinya kepada dirinya sendiri. "Rucarion selama ini tidak meninggalkanmu sendirian, apakah ini caramu membalasnya?!"

Juga ucapan kedua kakaknya, yang selalu mendorong Lucianna untuk mengikuti apa kata hatinya.

Tanpa menunggu lebih lama lagi, gadis biru itu melompat ke area itu dan mengucapkan mantra pelindung miliknya. Gadis itu tahu, mantra yang dia gunakan itu lemah, sehingga tidak memakan banyak channa. Tapi untuk menahan serangan bola api, pelindung itu sudah lebih dari cukup.

※※※

Pelajaran berikutnya adalah pelajaran sejarah. Lucianna tahu bahwa pelajaran sejarah untuk kaum Recht sebagian besar hanya menceritakan tentang kebengisan Dionam di zaman peperangan dulu.

Yang mengajar adalah seorang Recht bernama Veeze yang merupakan water bender seperti Lucianna.

"Ketahuilah kalian bahwa Raja Darth adalah raja yang otoriter dan semena-mena. Sehingga akibat keegoisan miliknya, kita semua, kaum Recht harus terlibat dalam akibat perbuatannya. Entah berapa banyak Recht yang dihabisi oleh Dionam dengan bengis dan kejam dulu." Ujar Miss Veeze di depan kelas.

Lucianna menatap nanar buku catatan miliknya. Jujur saja, gadis itu tidak sudi menuliskan hal yang dia sendiri tidak tahu pasti. Dalam hati kecilnya, dia yakin bahwa sebenarnya Dionam tidak seperti itu.

"Daripada pelajaran sejarah, ini lebih mirip ajang menyulut kebencian kita kepada Dionam..." batinnya diam-diam.

"Legenda sendiri sudah menuliskan bahwa sampai ada 2 orang bodoh dari tiap suku yang menginginkan perdamaian dan mengucapkan mantra terlarang, perdamaian tidak akan pernah terjadi. Tapi siapa dua Recht yang sebodoh itu mau memaafkan hal-hal yang sudah dilakukan Dionam terhadap kaum kita dulu?" Sambung miss Veeze lagi.

"Aku..." ujar Lucianna dalam hati. Tapi dia terlalu takut untuk menyuarakan pikirannya.

'Ctak!'

Bunyi bolpoin yang diletakkan dengan kasar memecah keheningan di kelas itu. Lucianna memandang sekelilingnya dengan gugup. Karena semua mata memandang ke arahnya. Sementara... bukan dia yang menciptakan suara itu.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang