17 - Sihir Bela Diri

1.1K 101 4
                                    

Tak lama kemudian, sesosok Satyr muncul di depan kelas. Tidak perlu dijelaskan lagi, Lucianna sudah tahu bahwa dia adalah Mr. Dat.

"Selamat pagi anak-anak. Mari kita mulai pelajarannya. Hari ini, kalian akan masuk ke 'praktik sihir bela diri' yang merangkap ilmu menyerang dan bertahan." Ujarnya tegas sambil tersenyum cerah.

Semuanya bereaksi. Ada yang mengeluh dan ada yang bersorak. Lucianna sendiri hanya memasang wajah datar karena masih bingung. Dia bahkan belum mempelajari satupun ilmu menyerang di akademi ini. Tapi dia pernah berlatih di rumah bersama kakak-kakaknya.

"Tenang, anak-anak. Kalian buatlah 1 kelompok atau sendiri juga tidak masalah. Terserah mau terdiri dari berapa orang, dan pengendali apa saja. Nilai ini akan saya ambil sebagai nilai tes kalian minggu ini." Ujar Mr. Dat lagi.

Lucianna mulai kebingungan. Dia tidak mau hanya sendirian dalam tes bela diri sihir ini. Tapi, dengan siapa dia harus berkelompok?

Lucianna melirik ke arah Rucarion. Pemuda itu sedang dikerumuni oleh banyak gadis di kelas mereka. Menawarkan diri mereka untuk bisa sekelompok dengan Rucarion. Tapi Rucarion tidak merespon sedikitpun.

Lucianna beranjak dari tempat duduknya, berniat menghampiri Irene dan Xavier. Mungkin mereka mau menerimanya sebagai anggota. Karena nilai yang diambil adalah nilai individu.

"Hei gadis gila!" Teriak sebuah suara. Tanpa menoleh, Lucianna sudah tahu itu suara pemuda di sampingnya, Rucarion Greene. Dengan malas dia memutar kepalanya menghadap pemuda itu.

"Apa?" Tanya Lucianna datar dengan tatapan merendahkan. Rucarion tersenyum sinis membalas tatapan itu. "Krax Dat." Ujarnya singkat, padat, membingungkan bagi para fangirls Rucarion. Tapi tidak bagi Lucianna.

"Bunuh Dat."

Itu arti perkataan Rucarion. Lucianna terkejut namun berusaha untuk tetap tenang. Tidak banyak orang yang mengetahui bahasa kuno di planet Zenara itu. Yah, bahasa Zena.

Rucarion beranjak dari tempat duduknya, mendekati Lucianna dengan tatapan sinis. Dan berbisik. "Aku punya rencana, bergabunglah denganku." Bisiknya. Pelan, namun terkesan mengintimidasi. Lucianna hanya mengangguk kecil karena malas membantahnya.

Tiba-tiba Xavier dan Irene menghampiri mereka berdua. "Kelihatannya kalian sudah membentuk kelompok. Keberatan jika kami bergabung?" Tanya Xavier dengan tatapan tajam ke arah Rucarion.

"Sangat." Ujar Rucarion dengan nada kesal. Xavier tampak semakin kesal dan akhirnya hendak memutuskan untuk pergi sambil menarik Irene pergi.

"Tunggu!" Teriak Lucianna sebelum dua orang itu menghilang dari hadapannya. "Aku tidak keberatan. Lagipula, aku akan sangat terbantu kalau ada elemen petir dan teman perempuan." Ujar Lucianna dengan senyum manis.

Xavier menatapnya lama, kemudian memberi senyum kemenangan sekaligus menyindir kepada Rucarion. Sementara Rucarion? Dia hanya bisa mengutuk gadis itu dalam hati. Bagaimana caranya kau membunuh seorang guru, jika ada 2 orang yang tidak tahu apa-apa?

"Kau tidak berubah ya, Rion..." ujar Irene dengan telepatinya. Hanya Rucarion yang bisa mendengarnya saat ini. Rucarion menatap gadis itu tajam, dan kemudian mendekatinya.

"Jangan macam-macam denganku, bisu!" Bisik Rucarion tajam kepada Irene. Sementara Irene hanya tersenyum pasrah. "Aku memang bisu, tapi hatiku tidak." Ujarnya tersenyum percaya diri. "Kau hanya membenci Mr. Dat. Orbica Hitam itu hanya mitos belaka."

"Cihh, apa yang kau tahu?" Ujar Rucarion mencibir. Kemudian segera pergi meninggalkan Irene.

"Maafkan aku, Rion. Aku hanya tidak mau kau melukainya. Tapi aku percaya padamu." Ujar Irene dengan telepatinya. Menatap punggung Rucarion yang menjauh.

"Pluk!" Sebuah tangan mendarat di puncak kepala Irene, dan membelainya lembut. Irene memutar kepalanya, dan melihat sosok Xavier berdiri di sampingnya. "Jangan kuatir, kita percaya padanya. Dia akan melakukan hal yang terbaik dan terbenar menurutnya." Ujar Xavier lembut.

Wajah Irene memerah seketika. Dia hanya mengangguk pelan mendengar ucapan pemuda itu. Setidaknya hal itu membuatnya tenang walau terasa sedikit canggung.

Lucianna yang sedari tadi berada di samping Rucarion tampak sedikit heran. Tapi dia tidak ingin ikut campur dalam masalah Rucarion. Bukan karena takut, tapi karena gengsinya yang terlalu tinggi.

"Apakah kalian sudah mendapatkan kelompok kalian? Kalau sudah, berangkat ke taman sekarang!" Perintah Mr. Dat tegas. Seluruh murid menyerbu pintu keluar, menuju taman.

Sesampainya di taman, mereka berkumpul berdasarkan kelompok mereka. Salah satunya adalah, kelompok Lucianna, Rucarion, Xavier, dan Irene.

"Nah, tes kalian kali ini adalah berburu monster. Bunuh mereka, dan ingatlah. Tiap monster memiliki tingkat kesulitan dan bobot nilai yang berbeda-beda. Berhati-hatilah jangan sampai terluka ya!" Ujar Mr. Dat sebelum akhirnya membuat sebuah lubang di tanah dan mengisinya dengan air.

"Aku akan memonitor kalian dari sini. Pergilah!" Ujar Mr. Dat. Seluruh murid sontak menyerbu masuk ke dalam hutan.

"Agtra magro!"
"Leit strax!"

Lucianna membuat genangan air besar berkekuatan gravitasi yang tinggi. Sehingga monster-monster itu tertahan di sana. Kemudian Xavier mengeluarkan elemen petirnya untuk menghabisi monster-monster itu.

"Feir laeb!"

Sementara Rucarion bisa melakukannya seorang diri. Begitu pula dengan Irene. Medan tempur yang berada di tengah hutan ini memudahkan dia sebagai Nature Bender. Dia tidak perlu mengeluarkan banyak mantra. Cukup mengendalikan tumbuh-tumbuhan di sekitarnya.

"Nilai kita sepertinya sudah cukup." Ujar Lucianna sambil membersihkan tongkat sihirnya. Begitu pula dengan Xavier.

Rucarion menatap Lucianna dengan tatapan merendahkan. "Kenapa kau hanya mengejar nilai? Kau tidak merasakan sensasi bertarungnya?" Tanya Rucarion sebal.

Lucianna mendengus kesal. Walau menurutnya perkataan pemuda itu ada benarnya juga. Tes kali ini adalah sihir bela diri. Sementara dia hanya terkesan seperti membantu Xavier. Dia tidak menggunakan elemennya dengan maksimal untuk menyerang.

"Baiklah, ayo kita masuk lebih dalam." Ujar Lucianna dengan tatapan percaya diri. Diikuti dengan anggukan dari anggota kelompoknya. Merekapun masuk ke dalam hutan.

"Omnius swad!"

Irene tersentak. Dia merasa seperti mendengar sesuatu. Kehilangan suaranya membuat dia menjadi sangat peka terhadap bunyi-bunyian. Dan dia yakin mendengar seseorang mengucapkan mantra. Tapi, mantra apa itu?

Irene menyiagakan tongkat sihirnya. Melirik ke arah kelompoknya. Tidak ada yang bereaksi ataupun mendengar suara misterius itu. Tapi tidak mungkin dia salah dengar. Ada sebuah suara yang mengucapkan mantra asing.

Siapa dia? Mantra apa itu? Dan apa tujuannya?

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang