47 - Wellifer

775 76 3
                                    

"Iya, Madame... aku ingat anda mengantarkan aku ke depan pintu kamar," ujar Lucianna tersenyum kecil. Madame Wellifer mengangguk lembut, kemudian berpaling ke arah Rose.

"Niss Parkson, maksudku, Rose..." Madame Wellifer meralat perkataannya sambil tersenyum. "Aku mendengar suara Mr. Ray sedang mengabsen. Sebaiknya kau cepat pergi."

Rose terbelalak dan segera berpamitan dengan Lucianna dan Madame Wellifer. Kemudian secepat angin, gadis itu menghilang bagai ditelan malam. Lucianna ternganga melihat tingkah teman sekamarnya.

"Kau, apa yang ingin kau lakukan?" tanya Madame Wellifer kepada Lucianna. Suara lembutnya memecah keheningan.

Lucianna merasa dipergoki sedsng melamun. "Ah, Rose bilang di sekitar sini indah ketika Areos sudah terbenam. Aku belum sempat melihat-lihat. Maaf mengganggu anda, Madame," ujar Lucianna sambil membungkuk.

'Swoosh!'

Pusaran angin kecil mendadak muncul, meniup, dan memilah daun-daun kering berdasarkan warna secara otomatis. Lucianna terbelalak menyaksikan hal itu secara langsung.

"Kalau kau berkenan..." ujar Madame Wellifer kepada Lucianna. "Mau mampir ke tempatku?"

Lucianna yang masih termangu, tanpa sadar menganggukkan kepalanya. Dalam benaknya sedang berpikir mengenai wanita di hadapannya.

※※※

Sementara itu di asrama putra...

"Greene! Aku sudah selesai, apa kau masih di luar?" ujar Mark dengan suara cukup keras. Rambutnya yang basah dan bulir-bulir air yang masih menempel di lehernya menunjukkan bahwa dia baru saja selesai mandi.

Tapi Recht yang dipanggilnya tidak ada di manapun.

"Ke mana dia?"

※※※

Lucianna saat ini sudah berada di ruangan Madame Wellifer yang penuh dengan bunga. Di setiap pot ada 3 hingga 4 tangkai bunga yang berukuran besar. Bunga mawar yang berukuran satu telapak tangan orang dewasa, dan banyak lagi bunga lainnya. Hingga ruangan itu beraroma seperti bunga.

"Ada apa, Madame? Kenapa mengajakku ke sini?" tanya Lucianna mencoba untuk tidak terlihat gugup.

"Aku ingin menceritakan sebuah kisah," ujar Madame Wellifer sambil menuangkan teh dari rebusan bunga rosela di ruangannya. Teh yang berwarna ungu mendekati magenta, diseduh dalam pot kaca yang transparan bermotif bunga lili, dan dituang ke cangkir teh kaca yang transparan pula. Sangat terkesan elegan, Lucianna menyukainya.

Setelah selesai menuangkan teh, Madame Wellifer mulai bercerita.

"Dulu, ada seorang gadis Recht muda seusiamu, atau mungkin seusia Rose. Gadis itu sangat ingin menjadi seorang penyihir hebat. Karena itulah, gadis itu mengambil program Dichornia."

"Gadis itu merupakan salah satu Recht yang sangat beruntung karena bisa mendapatkan berkat Zenara berupa bakat khusus. Bakatnya ialah 'Senser.' Hal itu membuatnya mampu merasakan keadaan lingkungan di sekelilingnya. Dengan kata lain, seluruh indranya bekerja dengan sempurna dan sangat kuat."

"Bakatnya membuatnya besar kepala. Gadis itu menjadi angkuh dan merendahkan semua saingannya saat ujian tahap akhir Dichornia yang dianggap mustahil diselesaikan, bahkan mengancam nyawa."

"Karena terlalu meremehkan, gadis itu gagal dalam tes. Untungnya, gadis itu belum kehilangan nyawanya. Tapi dia kehilangan salah satu hal krusial dalam hidupnya."

Lucianna meneguk tehnya dengan perasaan was-was. "Apa... miliknya yang menjadi korban?"

Madame Wellifer tersenyum kecut, "Matanya, penglihatan gadis itu lenyap selamanya," ujarnya lembut.

"Sebagai seorang Senser  yang membutuhkan kelima indranya, kehilangan penglihatannya membuat kekuatannya berkurang drastis, dan tidak bisa lagi melanjutkan ujian. Hampir seluruh saingannya tewas di tempat. Beberapa yang masih bertahan hidup, harus hidup dalam keterbatasan. Gadis itu beruntung karena dia hanya buta, bukan mengalami kaki dan tangan yang hancur atau sejenisnya."

Lucianna meletakkan cangkir tehnya. "Lalu... apa yang terjadi padanya?" tanya gadis itu hati-hati.

"Gadis itu adalah seorang air bender. Pengendali elemen yang dikabarkan sebagai elemen paling lemah karena tidak bisa apa-apa. Tapi merupakan salah satu elemen yang berhasil lolos dari maut ujian Dichornia. Walaupun itu air bender pertama dan terakhir yang berhasil."

Lucianna terbelalak mendengarnya. Seolah mengerti, Madame Wellifer melanjutkan ceritanya.

"Yang membuat gadis ini spesial adalah bakatnya yang merupakan Senser. Bisa dibilang bakat ini bahkan tidak bisa dilacak keberadaannya karena persentase Recht yang memiliki bakat ini sangat sedikit. Dengan bakat ini, jika dia melatihnya dengan baik, dia akan bisa berkomunikasi dengan roh elemen yang memilihnya. Roh dari kekuatannya."

Lucianna berpikir sejenak, "Jadi maksud anda, gadis itu bisa berbicara dengan Air spirit? Kukira itu hanya legenda!" ujar gadis biru itu sangat terkejut. Madame Wellifer tersenyum lembut mendengarnya.

"Legenda merupakan secercah kenyataan di balik tulisan dan cerita."

"Roh alam itu nyata, dan ceritaku ini benar-benar terjadi. Aku yakin kau pernah melihatnya di siaran langsung ujian akhir Dichornia, yang sampai sekarang belum ada seorangpun yang berhasil."

"Aku tahu... tapi siaran itu tidak pernah membuka identitas Recht yang ikut. Lalu dari mana anda tahu bahwa roh alam itu nyata? Dari mana anda tahu bahwa ada cerita seperti itu?"

Madame Wellifer meneguk tehnya, kemudian tersenyum tipis dengan tatapan sayu. Dalam keheningan yang lama, iris putih keabu-abuan wanita itu seakan berbicara kepada Lucianna. Gadis muda itu terbelalak dengan rasa takut.

"Ja-jangan bilang... anda..." ujar Lucianna terbata-bata. Madame Wellifer lagi-lagi tersenyum lembut. Senyuman yang seolah menjawab semua pertanyaan yang baru saja ditanyakan oleh Lucianna.

Lucianna kehabisan kata-kata. Gadis itu terduduk di tempatnya masih dengan tatapan tidak percaya.

"Anda... maafkan kelancanganku, tapi anda sama sekali tidak terlihat... buta," ujar Lucianna hati-hati. Madame Wellifer lagi-lagi tersenyum, dengan senyuman yang terasa lebih lebar.

"Aku anggap itu pujian darimu. Memang benar, akulah gadis dalam cerita itu, dan memang benar bahwa aku kehilangan penglihatanku. Tidak banyak yang tahu, kau salah satunya," ujar Madame Wellifer lembut.

"Sebagai seorang senser, aku bisa memaksimalkan kemampuan kelima indraku. Setelah berlatih bertahun-tahun setelah kejadian itu, kehilangan penglihatan bukan lagi masalah besar bagiku. Dengan memanfaatkan suara angin dan pergerakan udara di sekeliling, aku masih bisa hidup normal, bahkan aku mampu melihat jarak lebih baik dari kalian."

Lucianna menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Sekarang gadis itu mengerti kenapa wanita paruh baya yang terlihat lemah di hadapannya itu bisa mendapatkan panggilan 'Madame.' Bukan karena pangkatnya, tetapi karena ketangguhan dan kekuatannya sebagai salah satu dari sedikit Recht yang selamat ketika ujian akhir Dichornia.

Dengan perlahan Lucianna kembali meneguk teh di hadapannya. "Tapi... kenapa anda memberitahukan ini kepadaku? Bukankah seharusnya hal ini tetap menjadi rahasia?" tanya Lucianna hati-hati.

"Angin memberitahuku, di sini akan ada seorang anak yang spesial yang juga ingin mengambil pendidikan Dichornia."

"Kaukah anak itu?"

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang