52 - Pembahasan

760 77 7
                                    

Di dalam rumah pohon yang berada di tengah hutan itu, dua Recht baru saja mengetahui hal yang sangat luar biasa bagi mereka berdua. Mungkin bagi seluruh kaum mereka.

"Jadi... partner?" ujar Rucarion memecah keheningan. "Apa rencanamu setelah ini?" lanjut pemuda itu sambil menghadap Lucianna, yang kini dia ketahui seratus persen sebagai Recht yang pro terhadap perdamaian.

"Aku... harus menjadi Dichornia," ujar Lucianna, masih dengan mata terbelalak yang sedikit basah. "Aku harus menjadi kuat untuk mewujudkan perdamaian."

"Dasar cengeng, berhentilah menangis," Rucarion menghampiri gadis itu dan berhenti tepat di hadapannya. "Dichornia tidak akan pernah menangis."

Lucianna mengerjapkan matanya dengan cepat, mencoba mencegah air mata yang keluar. Kemudian membalas tatapan Rucarion dengan tegas. "Aku tidak menangis."

Fire bender pemegang tongkat kelas S itu kembali duduk di sofanya. "Kau kira dengan menjadi Dichornia, semuanya selesai? Cukup dengan menjadi seorang Dichornia, kau bisa mewujudkan perdamaian?" tajam Rucarion dengan tatapan merendahkan.

"Bagaimana dengan meyakinkan Dionam, Orbica, dan Lamina? Apakah kau tidak berpikir sampai ke sana?" ujarnya lagi.

Lucianna terdiam, kehabisan kata-kata. Pemuda di hadapannya benar. Selama ini Lucianna selalu berpikir untuk memperkuat dirinya. Tidak pernah gadis itu berpikir bahwa suku-suku yang lain perlu ikut andil dalam mewujudkan perdamaian Zenara.

"Kita bisa menemui Dionam dengan mudah, cukup dengan melewati perbatasan, dengan kemungkinan kau akan mati. Lamina dan Orbica yang hilang, bagaimana kau mau mencari mereka? Belum lagi untuk membujuk mereka bekerja sama mewujudkan perdamaian?" ujar Rucarion bertubi-tubi dalam satu nafas.

"Oh, dan lagi, kau dari keluarga politik, pernahkah kau berpikir bahwa rakyat, ras manapun itu, bisa saja tidak terima dengan hal ini? Apa yang akan kau lakukan jika mereka melakukan demonstrasi besar-besaran karena menolak hal ini?" lanjut pemuda itu.

Lucianna benar-benar kehabisan kata-kata. Gadis itu hanya bisa terdiam terbelalak mendengar setiap kata yang mengalir dari mulut Rucarion. Tidak ada bantahan, semua yang dikatakannya, seluruhnya benar. Lucianna tidak pernah berpikir sampai ke sana. Gadis itu tumbuh dalam lingkungan yang baik dan aman yang selalu memenuhi kebutuhan dan keinginannya, sehingga dia tumbuh menjadi seorang Recht yang naif. Lucianna tidak pernah menyangka di balik impiannya terdapat semua lika-liku yang baru saja diucapkan pemuda itu.

Melihat Lucianna yang terdiam seribu bahasa, Rucarion menghela nafas berat. "Kau benar-benar berpikir mewujudkan perdamaian Zenara itu semudah melewati tes?" tanya pemuda itu dengan tatapan menyidik. "Jika benar seperti itu aku sudah dipastikan akan menjadi Dichornia," lanjutnya sambil menyombongkan dirinya.

Lucianna tetap terdiam, tapi kali ini gadis itu menunduk. Rucarion yang menyadari perubahan suasana hati water bender di hadapannya itu, mencoba untuk mencairkan suasana.

"Kelihatannya ini alasan kenapa aku yang dipilih untuk menjadi partner-mu hari itu," ujar Rucarion dengan nada rendah. Kalimat itu membuat Lucianna terkejut dan mengangkat kepalanya.

"Hari itu? Kapan? Kau dipilih untuk menjadi Dichornia? Kau dipilih untuk menjadi partner-ku? Apa itu artinya aku juga dipilih menjadi Dichornia? Bagaimana bisa? Sejak kapan?" ujar Lucianna dengan rentetan pertanyaan yang bertubi-tubi.

Rucarion sedikit terkejut mendengarnya, tapi dengan cepat kembali memasang wajah datar. "Kau tahu siapa yang menulis buku itu?" ujar Rucarion mengacuhkan pertanyaan gadis itu sambil menunjuk buku tebal di belakang Lucianna.

Lucianna menoleh, mendapati buku yang ditunjuk oleh pemuda itu.

"Laet Zenara kre Mirtse?" tanya gadis itu memastikan sambil mengeluarkan buku itu dari rak, lalu membuka halaman-halamannya asal.

Rucarion mengangguk, Lucianna membalasnya dengan gelengan kepala.

"Di sana tidak ada nama pengarangnya, tapi buku itu ditulis oleh seseorang yang pastinya mengetahui banyak hal mengenai Zenara. Yang pasti, dia bukan Recht, maupun Dionam. Di buku itu ada begitu banyak informasi mengenai tiap bangsa di planet ini. Termasuk, Orbica Hitam dan pedang putih hal yang tidak diketahui oleh orang awam," ujar Rucarion menjelaskan.

Pemuda itu menatap Lucianna sejenak, "Kau mau tahu deduksiku mengenai penulis buku ini?" tanya pemuda itu dengan hati-hati, dibalas dengan anggukan Lucianna.

"Makhluk Mitologi yang tahu segalanya."

Lucianna membuka suaranya, "Dari mana... kau tahu soal itu?" tanya gadis itu kebingungan.

"Mereka misterius, sebaik apapun mereka, mereka selalu terlihat menyembunyikan sesuatu. Lagipula, mereka satu-satunya bangsa yang tidak terpengaruh maupun terlibat oleh perpecahan ini. Mereka bebas berkeliaran di wilayah Recht maupun Dionam, bahkan mungkin mereka tahu di mana Lamina dan Orbica berada. Mereka tahu banyak mengenai keempat suku planet ini," ujar Rucarion menerangkan deduksinya.

"Sesuai dengan apa yang kubaca di sana, Bangsa Mitologi mempunyai seorang pemimpin, tapi tidak dijelaskan mengenai wujud jelas sang pemimpin. Buku itu menuliskannya sebagai 'Sang Mistis' jadi aku tidak tahu siapa pemimpin bangsa itu sebenarnya. Tapi aku menemukan paragraf yang menceritakan bahwa tangan kanan dari 'Sang Mistis' adalah dia yang abadi dan terikat dengan kuda seumur hidupnya," lanjut Rucarion.

Lucianna berpikir sejenak, mengingat legenda-legenda yang pernah dibacanya. "Seperti Chiron sang Centaur?" tanya gadis itu ragu-ragu.

Rucarion tidak mengubah ekspresinya, "Tepat. Yang membedakan hanya sang tangan kanan ini bukan Chiron."

"Dikatakan juga bahwa tangan kanan pemimpin mereka adalah dia yang mengumpulkan kesemua berita dan data mengenai seluruh kejadian terkini Zenara, sehingga bangsa Mitologi yang tidak terikat dengan suatu suku bisa mengetahui keadaan luar."

"Sekarang dengarkan aku," ujar Rucarion sambil mengubah posisi duduknya. "Sebagai Recht yang menginginkan perdamaian Zenara, pertama kita harus jadi kuat, sangat kuat untuk bisa lulus ujian Dichornia," ujar pemuda itu dengan tatapan serius. Lucianna menyimak kata demi kata dengan baik.

"Untuk lulus ujian itu, kita harus tahu apa yang berada di balik pintu masuk ujian itu, dan apa yang menewaskan hampir semua peserta ujian itu. Kita punya saksi hidup, Madame Wellifer, pengurus asramamu. Rebut hatinya, buat dia tertarik padamu, perlahan ambil informasi mengenai ujian itu."

Lucianna mengangguk tanda mengerti. Rucarion menganggap itu sebagai tanda untuk melanjutkan.

"Kedua, aku akan lebih memperketat pengawasanku kepada Daturn, aku yakin dia punya sesuatu yang disembunyikan mengenai Orbica, terutama Orbica Hitam. Terlebih lagi, dia makhluk mitologi, dan tugasmu adalah untuk mencari tahu lebih dalam mengenai bangsa mereka. Terutama mengenai centaur itu," lanjutnya. "Aku tidak akan menyuruhmu membunuhnya lagi, aku yang akan menyelesaikan itu dengan tanganku nanti."

Sebelum Lucianna sempat bersuara, Rucarion sudah melanjutkan, "Ketiga, temui aku di sini tiga hari lagi. Kita hanya bisa membicarakan ini secara pribadi, selama sekolah, jangan bicara apapun mengenai semua hal yang terjadi di tempat ini," ujarnya tegas dengan tatapan tajam. Lucianna hanya menjawab dengan anggukan.

"Sekarang, ayo, kuantar kau kembali ke asrama," ujar Rucarion sambil beranjak dari sofa yang didudukinya, dan berjalan ke arah pintu. Lucianna mengangguk mengerti dan mengikuti pemuda itu dari belakang.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang