50 - Interogasi

706 82 7
                                    

Lucianna dan Rucarion saat ini sedang duduk di kursi-kursi antik di tengah ruangan itu, dengan teh chamomile panas di dalam kedua cangkir mereka. Rucarion sibuk membaca buku miliknya sementara Lucianna menyeruput tehnya dengan tenang. Keduanya diam seribu bahasa akibat adu mulut yang baru saja terjadi.

Adu mulut yang baru saja terjadi? Apa yang terjadi sebelumnya?

Sebelumnya, Rucarion mempunyai niatan untuk menbuatkan teh chamomile untuk tamunya. Hanya saja, dikarenakan kondisi dapur yang sangat sederhana membuat pemuda itu meminta bantuan Lucianna untuk mengisi air ke dalam poci teh miliknya, tapi bukannya bekerja sama, mereka malah kembaki terlibat ke dalam cekcok.

Pertama, Lucianna tidak terima karena kemampuannya akan digunakan untuk pemuda angkuh di hadapannya saat ini hanya demi menyediakan air untuk menyeduh teh.

Kedua, karena kondisi dapur yang amat-sangat sederhana, di sana tidak ada kompor maupun pemanas air, jadi Rucarion menggunakan apinya untuk memanaskan air dan menyeduh teh. Namun karena Lucianna menyukai teh chamomile yang diseduh lama, terjadi adu mulut yang memperdebatkan lama waktu menyeduh karena mereka akan menggunakan api Rucarion. Jika terlalu lama, mungkin pemuda arogan itu akan berhenti memanaskan airnya, dan Lucianna ingin memastikan itu tidak terjadi.

Saat itu, rumah pohon Rucarion dipenuhi dengan suara tinggi dan kalimat-kalimat kutukan.

Lucianna meletakkan cangkir tehnya setelah menghabiskan separuh isinya, "Teh ini-" ucapan gadis itu dipotong oleh Rucarion.

"Jika kau mau berkomentar soal itu, keluarlah," ketus Rucarion dingin, tatapan matanya tampak serius. Lucianna meneguk ludahnya dan mengurungkan niatnya berkomentar.

"Maaf," ujar Lucianna sambil membuang muka. "Sebagai tamu harusnya aku tidak seperti itu," lanjutnya lagi sambil menundukkan kepalanya.

Rucarion menutup bukunya dan menatap gadis biru di hadapannya lama. Lucianna mendongak sedikit untuk menatap matanya, gadis itu masih mengenakan dua lapis jubah. Jubah putih Rucarion menutupi daerah leher hingga ke atas dagunya.

"Hei, gadis gila," ujar Rucarion menatap dalam mata Lucianna tanpa mengubah posisinya. Gadis itu spontan mendongakkan kepalanya sedikit, menunjukkan responnya.

"Kau tidak merasa aneh memakai dua lapis jubah itu?" tanya Rucarion dengan dingin sambil beranjak ke arah rak buku di belakang Lucianna, dan mencari sebuah buku di sana.

Lucianna terperangah mendengar kalimat pemuda arogan itu barusan. "Ah, tidak apa-apa... aku suka ini, entah kenapa jubahmu terasa lebih hangat," ujar gadis itu dengan senyum tipis.

Rucarion ikut tersenyum angkuh mendengarnya, "Kau lemah sekali..." ujarnya dengan suara kecil, tapi cukup untuk didengar oleh Lucianna. Tapi karena malas berdebat lagi, Lucianna hanya memberikan tatapan membunuh ke arah pemuda itu.

"Laet Zenara kre Mirtse?" Lucianna membaca judul buku yang ada di dalam rak. "Kau juga punya buku itu?" tanya gadis itu heran.

"Itu bukan buku aslinya, aku mendapatkannya bertahun-tahun yang lalu. Dari sanalah aku mempelajari Orbica hitam," ujar Rucarion tanpa menoleh.

"Aku juga punya buku ini... sejak zaman kakek buyutku, diterbitkan sekitar 1 abad yang lalu," ujar Lucianna sambil menatap buku itu lama. "Keluargaku tidak suka membaca. Jadi perpustakaan di rumah kami hanya dikunjungi olehku."

"Kau membaca untuk menjadi Dichornia?" tanya Rucarion yang sudah memutar badannya, menghadap ke arah Lucianna. Mata odd-eye miliknya menatap dalam dengan serius menembus manik sapphire berkilauan di depannya.

Lucianna mematung, membuang muka, gadis itu tidak mau menatap wajah Rucarion.

"Jawab aku," Rucarion menggunakan tangannya untuk mendongakkan kepala si gadis biru untuk menatapnya. "Apa kau ingin menjadi Dichornia dan menjadi kuat untuk menghancurkan para Dionam?"

Tatapan Rucarion yang begitu serius memunculkan sedikit rasa takut dalam diri Lucianna. Bila seseorang tahu bahwa dia bertekad menjadi kuat untuk mewujudkan perdamaian Zenara, entah apa yang akan terjadi pada kehidupannya. Gadis itu menggigit bibirnya, memutuskan untuk tetap bungkam.

Rucarion melepaskan tangannya dari gadis itu. Berjalan kembali ke sofa miliknya setelah mengambil beberapa arsip data dari rak miliknya.

"Belum ada satu Recht-pun yang berhasil mendapatkan gelar Dichornia. Bahkan lulusan akademi ini sekalipun. Ada yang selamat namun cacat, tapi sebagian besar tewas mengenaskan," ujar Rucarion sambil menunjukkan data-data tersebut.

"Salah seorang Recht yang berhasil selamat dari kekejaman ujian itu ada di akademi ini. Wellifer, pengurus asrama putri. Kau pasti sudah bertemu dengannya. Dia tidak terlihat seperti cacat, tapi percayalah bahwa dia buta. Keuntungannya sebagai air bender membuatnya berhasil mengatasi cacatnya."

"Jika mau selamat dari ujian itu, seorang Recht bisa setidaknya berguru dan belajar pada Wellifer agar mengetahui apa isi ujian itu, dan bagaimana mengatasinya."

"Tapi wanita tua itu tidak mudah dibujuk. Aku sendiri malas melihatnya. Tampaknya tidak banyak yang tahu mengenai Madame Wellifer yang merupakan survivor ujian Dichornia."

Lucianna mempertahankan posisi tenangnya. Dengan hati-hati menyimak semua perkataan Rucarion dan memperhatikan satu per satu arsip data yang dibuka oleh Rucarion. Sebagian besar merupakan data dari Recht yang selamat dari ujian, dan kondisi tubuh mereka. Sangat mengenaskan, Lucianna merinding membayangkan jika hal itu terjadi padanya.

"Nister Greene, dari mana... kau dapat semua ini?" tanya gadis itu dengan suara bergetar.

"Aku merekam semua siaran langsung ujian Dichornia. Walaupun dibilang siaran langsung, semua itu tidak lebih dari perkenalan peserta sebelum memasuki tempat ujian, dan keadaan mereka setelah keluar atau dicari oleh tim pencari. Tidak ada seorangpun yang tahu apa yang terjadi di dalam ruang ujian, atau siapa yang menyelenggarakannya."

"Kemudian dari rekaman itu, aku mencari informasi mengenai setiap Recht yang ikut serta. Itu sebuah kerja keras," lanjutnya menjelaskan.

Rucarion akhirnya menyandarkan punggungnya ke sofa antik yang didudukinya. Menatap gadis biru yang merupakan teman sebangkunya memperhatikan satu per satu foto dengan seksama dan mata berkaca-kaca. Jelas sekali Lucianna tidak sanggup membayangkan apa yang terjadi sampai para peserta mejadi seperti itu.

"Aku tanya padamu sekali lagi, Lucianna White. Apakah kau ingin menjadi Dichornia untuk menghancurkan ras Dionam? Seperti mereka semua, yang rela membuang nyawa dan keluarga mereka demi hal itu?!" tanya Rucarion lagi, kali ini dengan sedikit membentak.

Lucianna tidak lagi mampu menahan emosi dan air matanya. Gadis itu menangis. Cukup lama, tapi Rucarion tidak melakukan apapun setelah itu. Lucianna tetap bungkam, gadis itu tidak memberitahu niatnya mengejar gelar Dichornia.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang