60 - Runa

527 88 13
                                    

Lucianna saat ini berada di kamar asramanya dengan Rose yang sedang duduk di meja belajarnya sambil mengerjakan pekerjaan sekolahnya. Dia sedang mencoba untuk memikirkan perkataan Wellifer tadi.

"Sebagai Recht yang berani..." gumam gadis itu pelan. Kemudian merebahkan dirinya, dan jatuh tertidur.

※※※

Sementara itu, di salah satu ruangan asrama putra, Rucarion dan Mark saling bertolak punggung dikarenakan posisi meja belajar mereka yang berlawanan arah.

"Mark," panggil Rucarion datar.

"Apa?" jawab Mark seadanya.

"Berapa banyak Recht yang mendaftar dan tetap bertahan dengan program Dichornia sampai akhir?" tanya Rucarion tanpa menoleh.

Mark memiringkan posisi duduknya sejenak, kemudian kembali ke posisi awalnya. "Aku tidak pernah tahu soal itu," ujarnya datar.

"Aku tahu kau mengetahui sesuatu soal ini," ujar Rucarion sambil terkekeh pelan. "Tidak mungkin kau tidak mengetahuinya."

Mark menghela napasnya sejenak. "Lulusan Gynx Academy yang bertahan di jalur itu tidak banyak, sebagian besar hanya bersemangat di awal, setelah itu, mereka memilih untuk mengambil pendidikan biasa."

"Rata-rata siswa yang tetap kukuh dengan tujuannya, paling banyak hanya 3 atau 4 Recht per tahun. Setelah itu biasanya mereka tewas di ruang ujian," lanjut water bender yang menjabat sebagai ketua OSIS akademi itu.

Rucarion menganggukkan kepalanya tanda mengerti. Kemudian tanpa berkata apapun, pemuda itu beranjak dari kursinya, dan merebahkan dirinya ke atas tempat tidur.

※※※

"Uhh... di mana ini?" erang seorang gadis.

"Eh? Apa aku bermimpi? Kenapa aku melayang?"

"Aphrossa..."

"Suara itu lagi..." ujar gadis itu sembari menegakkan posisinya. Tapi gagal karena ruang tempat dia berada seperti tidak memiliki gravitasi.

"Aphrossa!"

"Kenapa dia terus mengatakan 'aphrossa'? " ujar gadis itu heran.

"Tunjukkan dirimu! Siapa kamu?!" teriak gadis itu.

Sejenak setelah gadis itu berteriak, muncul sebuah sosok seperti perempuan. Dengan pakaian berwarna merah-hitam, rambut berwarna senada, dan mata semerah darah.

"Aphrossa!" ujarnya sambil membungkuk memberi hormat. Hal yang sontak membuat gadis yang berteriak tadi bergidik ngeri dan ketakutan.

"Aphrossa!" ujar sosok itu sambil tersenyum dan menunjukkan gigi taringnya yang tajam. Manis, tapi menyeramkan.

Kemudian sosok itu tertawa terpingkal-pingkal dan melayang mengitari gadis yang sedari tadi dipanggilnya dengan nama 'aphrossa'. Dari atas ke bawah, kanan ke kiri.

"Aphrossa!" ujarnya lagi, tampak sangat senang dan ceria.

"Hei-hei, tunggu dulu..." ujar sang gadis sambil menahan sosok itu terbang mengitarinya. Sementara yang ditahan hanya terkikik geli.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang