20 - Spell Caster

1.1K 99 4
                                    

Selepas kepergian Rucarion, Irene datang menghampiri Lucianna yang masih terbaring di tempat tidurnya.

"Aku rasa kau sudah mengetahui bakatmu?" Tanya Irene dengan senyum miris. Lucianna menatapnya bingung, namun akhirnya dia mengangguk.

"Aku juga adalah seorang Spell Caster." Ujar Irene mengaku. Lucianna membelalakkan matanya, tidak percaya kepada kenyataan yang baru saja didengar olehnya.

"Bagaimana bisa?" Ujar Lucianna dengan suara bergetar. Irene lagi-lagi tersenyum miris. "Dulu aku sendiri tidak tahu soal bakatku. Sampai aku salah mengucapkan mantra, dan terciptalah kekuatan telepati milikku."

Lucianna menatapnya dengan tatapan seolah tidak percaya. Namun melihat mata Irene yang dipenuhi kejujuran, Lucianna tetap mendengarkan ceritanya.

"Aku senang bermain-main dengan kekuatan telepati milikku. Sehingga banyak orang yang mengetahui keberadaanku dan kekuatan unik milikku. Sampai suatu hari, aku berniat pergi ke rumah Xavier..." Ujarnya menggantungkan kalimatnya dengan tatapan sayu. Mulutnya bergetar dan suaranya mulai terdengar parau.

"Aku ditangkap oleh suatu organisasi. Dan mereka berniat untuk menjadikanku sebagai bahan percobaan dan senjata mereka. Aku dibawa ke laboratorium mereka, dan dihadapkan dengan seekor monster yang sangat mengerikan." Suara Irene kembali menjadi seperti biasa, namun raut wajahnya tampak suram.

"Karena aku belum bisa bertarung saat itu, monster itu berhasil membakarku. Aku dievakuasi oleh tim medis dan mereka menyembuhkan lukaku. Tapi kemudian mereka menyadari bahwa aku sudah kehilangan suaraku." Ujarnya lagi.

Lucianna membelalakkan matanya. Ternyata ada kejadian tragis dibalik suara Irene yang hilang. Bukan hanya sebuah kecelakaan biasa. Lucianna menatap gadis itu dengan tatapan kasihan.

"Jangan menatapku seperti itu." Ujar Irene dengan sebuah senyuman. "Hal itu sudah berlalu, dan tidak akan dapat diulang kembali. Aku sudah kehilangan suaraku, dan itulah yang kudapat."

Lucianna memalingkan wajahnya, merasa tertangkap basah oleh Irene karena terkesan seperti mengasihaninya. "Kemudian, apa yang terjadi?" Tanya Lucianna penasaran.

Irene menghela napasnya, "Seorang Spell Caster yang kehilangan suaranya, tidak penting lagi bagi mereka. Jadi mereka membuangku, dan berniat membunuhku untuk tutup mulut. Tapi aku melarikan diri." Ujarnya mengakhiri ceritanya.

"Dan... kau berbohong pada Xavier?" Tanya Lucianna. Disambut dengan anggukan kepala Irene. "Iya, tentu saja! Aku tidak mau melibatkannya." Ujarnya sambil tersenyum percaya diri.

"Berhati-hatilah, Lucianna... mereka mengincarmu sekarang. Kau adalah Spell Caster, dengan suara yang utuh. Aku yakin kau sedang diincar oleh mereka." Ujar Irene tegas. Lucianna mengangguk ragu. Dia tidak pernah berada dalam posisi yang penting namun tidak menguntungkan seperti ini.

"Apakah bakat Spell Caster milikmu sudah hilang?" Tanya Lucianna kepada Irene. Irene hanya menatapnya dengan bingung. Kemudian menggelengkan kepalanya. "Tidak, bakat khusus tidak akan hilang." Ujarnya santai.

"Mereka hanya tidak bisa mendengarkan mantra apa yang kuucapkan nantinya. Makanya mereka membuangku." Ujar Irene dengan nada rendah. Lucianna menganggukkan kepalanya. Dia merasa cukup dengan penjelasan Irene. Akhirnya Lucianna memilih untuk kembali tidur.

※※※

"Ukh!" Sebuah erangan terdengar dari samping tempat tidur Lucianna. Tanpa pikir panjang, Irene menyibakkan tirai putih yang menutupi tempat tidur Lucianna. Mendapati Xavier yang sudah sadar, dan berusaha bangkit dari tempat tidurnya.

"Xavier! Jangan banyak bergerak dulu!" Ujar Irene, sedetik kemudian dia sudah berada di samping Xavier, membantunya untuk duduk.

Xavier menatap Irene dengan perasaan lega dan bahagia. "Irene, syukurlah kau selamat..." ujarnya lemah.

Irene dapat merasakan matanya memanas saat ini. "Bodoh! Kenapa? Kenapa kau melakukan itu?! Kau bisa saja mati, Xavier!!" Ujar Irene dengan nada tinggi. Walau hanya dengan telepati, terdengar sekali gadis itu sedang marah. Dan teriakannya sangat keras.

Xavier menutup telinganya. Dengan sebuah senyum jahil namun terkesan bersalah, Xavier menatap wajah Irene yang sedang menahan air matanya mati-matian. "Maafkan aku?" Ujar Xavier sambil tersenyum.

Irene tidak dapat menahan air matanya lagi. Dia menangis, namun dia mengangguk. Bukti bahwa dia memaafkan Xavier. Pemuda itu menatapnya sambil tertawa kecil. "Jangan menangis... kau membuatku merasa bersalah..." ujarnya lembut.

"Kau memang bersalah! Kau sudah menakut-nakutiku!" Ujar Irene di sela-sela tangisnya. Xavier menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal sama sekali. "Aku tidak bisa hanya berdiri diam sambil melihatmu yang akan mati, dasar bodoh!" Ujar Xavier sambil menjitak kepala Irene.

Xavier menatap dalam mata emerald Irene. "Dengar Irene. Aku lebih baik mati sendiri daripada harus melihatmu mati." Ujarnya tegas penuh penekanan. Irene menghentikan tangisnya. Menatap pemuda itu penuh tanda tanya. "Kenapa? Apa maksudmu?"

Xavier menghela napasnya. "Kalau kau mati, tidak ada lagi manisan untukku. Aku hanya mau makan manisan buatanmu." Ujar Xavier asal menjawab. Irene mengangguk sambil cekikikan. Kemudian berniat keluar dari ruang kesehatan karena sudah saatnya kembali ke kelas.

"Aku pergi dulu. Nanti aku akan kembali dengan membawa manisan. Istirahatlah, Vier..." ujarnya lembut sambil tersenyum manis. Xavier mengangguk seraya melambaikan tangannya. Kemudian Irene pergi meninggalkan Xavier di sana.

"Aku lebih memilih kehilangan nyawaku daripada kehilanganmu, Irene. Andai kau tahu itu..."

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang