23 - Isi Hati Xavier

1K 83 1
                                    

"Misi pertama kita gagal, Tuan."
"Dia pasti sudah mengetahui kekuatannya"
"Tapi dia tidak akan pernah mengetahui, siapa dia sebenarnya."
Bukan, 'Apa dia sebenarnya'."

*****

Kelas kembali berjalan seperti biasa untuk Rucarion dan Irene. Tapi bagi Xavier dan Lucianna? Mereka masih harus menghabiskan waktu mereka di ruang UKS. Kondisi tubuh mereka memang sudah membaik, tapi belum pulih sepenuhnya.

"Lucianna…" panggil Xavier lemah. Lucianna menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya. "Ada apa?" Tanya gadis itu heran.

Xavier tersenyum miris, "Bagaimana aku bisa selamat?" Ujarnya menatap mata Lucianna.

Lucianna mematung mendengar pertanyaannya, dia tidak mungkin bilang bahwa dia melemparkan mantra pemulihan untuk pemuda itu.

"Aku yakin sekali aku melemparkan tubuhku untuk melindungi gadis itu. Kupikir aku seharusnya sudah bahagia bersama para dewa di alam sana." Ujarnya lagi.

"Gadis itu? Maksudmu Irene?" Ujar Lucianna sekedar berbasa-basi. Namun Xavier memberi tatapan dan anggukan tegas saat menjawabnya. Menandakan bahwa dia masih menunggu jawaban dari pertanyaannya.

Lucianna meringis. Dia tidak tahu harus menjawab apa. Serangan orang asing tadi terhadap Irene memang sangat dahsyat. Sangat mustahil bagi tubuh Xavier untuk menahan serangan itu dan masih bisa bertahan hidup.

Bahkan dalam pikiran Lucianna sendiri masih terbayang darah Xavier yang bercucuran seolah mewarnai daerah perang tadi. Dan bayangan Irene yang berlumuran darah terkena imbas serangan yang tidak terbendung itu.

Kemungkinan Xavier bertahan kurang dari nol koma sekian persen. Dan kemungkinan Irene bertahan juga masih kurang dari lima persen.

"Mungkin kau anak yang beruntung, Xavier." Ujar Lucianna dengan senyumannya. Dia tidak mau membahayakan Xavier lagi hanya karena mengetahui identitasnya sebagai 'Spell Caster'

"Iya… gadis itu juga demikian." Ujar Xavier dengan pandangan menerawang ke arah langit-langit ruangan yang tinggi itu. Ucapannya selalu sukses membuat Lucianna heran.

"Irene maksudmu?" Tanya Lucianna memastikan. Xavier hanya mengangguk kecil mendengarnya. "Kenapa tidak kau sebut saja namanya?" Tanya Lucianna lagi.

"Hmm… entahlah?" Gumam Xavier sambil tersenyum miris. "Aku tidak suka menyebut namanya jika bukan ketika berbicara dengannya." Sambungnya lagi.

"Kenapa?" Tanya Lucianna semakin heran.

"Maaf kalau ini terkesan berlebihan… tapi bagiku, namanya yang indah itu adalah harta miliknya. Dan tidak perlu kusebarluaskan untuk hal yang tidak penting."

"Hmm… aku tidak mengerti pola pikirmu Xavier…" ujar Lucianna mengerinyitkan dahinya. Xavier hanya terkekeh pelan.

"Mungkin kau belum pernah mengalami hal itu." Ujar Xavier singkat sambil tersenyum menatap langit-langit ruangan itu.

"Xavier, apa kau… menyukai Irene?" Tanya Lucianna to the point. Manik topaz Xavier menatap sapphire milik Lucianna. Dengan sebuah senyum yang tegas, namun lembut dan tulus. Xavier berkata dengan yakin.

"Sangat."

"Aku sangat menyukainya. Sejak dulu, sejak pertama kali kami bertemu, hingga sekarang. Tidak berubah. Aku rela menukarkan nyawaku hanya untuk melihatnya bahagia. Seperti tindakan 'bodoh' yang kulakukan tadi." Ujar Xavier menerawang.

"Hanya saja… dia tidak pernah melihatku." Ujar Xavier kemudian. Tatapan matanya berubah menjadi tatapan sendu. Senyumannya berubah menjadi senyuman miris.

Sebelum Lucianna bereaksi, Xavier sudah memotong pergerakannya. "Aku harap dengan kejadian ini, dia bisa lebih mengerti. Siapa yang harus dia pilih." Ujar Xavier lagi.

Lucianna membelalakkan matanya. "Jangan bilang… Irene menyukai orang lain?" Ujarnya tidak percaya. Xavier hanya bisa mengangguk pelan.

"Siapa orangnya? Kukira kaulah yang paling cocok dengan Irene." Ujar Lucianna jujur, Xavier tertawa kecil mendengarnya. "Kau terlalu jujur, Lucianna."

Xavier menghela napasnya sejenak. Kemudian kembali menatap mata Lucianna yang dipenuhi rasa ingin tahu. "Rucarion Greene." Ujar Xavier lesu.

Lucianna yang sudah terbelalak, dibuat semakin terbelalak. Baru saja Lucianna hendak mengatakan sepatah kata, Xavier segera memggeleng. Dia tidak mau membicarakan hal ini. Dia tidak mau menyakiti dirinya sendiri karena dirinya sendiri.

"Aku yakin dia bisa memilih dengan benar kali ini." Ujar Lucianna dengan senyum manis. "Jika kau bertanya padaku, aku akan lebih memilihmu dibandingkan tuan Greene." Sambungnya lagi.

Xavier terkekeh, "Kau orang pertama yang mengatakan demikian." Ujarnya. "Namun, berjanjilah padaku, kau tidak akan pernah menyukaiku." Ujar Xavier serius.

"Kenapa?" Tanya Lucianna. Entah pertanyaan keberapa yang sudah dia lontarkan kepada Xavier.

Xavier memberikan senyuman tulus kepada gadis itu. "Aku tidak mau kau berakhir membenciku seperti gadis-gadis lain yang mengharapkan hal itu dariku."

"Selama ini, aku hanya berharap pada Irene. Dan, itu membuatku mengabaikan mereka. Dan mereka terkesan seperti dicampakkan. Padahal sebenarnya tidak. Aku tidak mau kau mengalami hal yang serupa."

Lucianna mengangguk pasti dengan seulas senyuman. "Itu mudah! Aku tidak akan menyukaimu Xavier Drakens. Jangan khawatir!"

'Bluk!' Suara jatuh itu mengejutkan Lucianna dan Xavier. Berasal dari luar pintu UKS. Karena tidak ada suara lagi, Lucianna akhirnya berinisiatif membuka pintu itu.

"Lu... cianna..." ujar sosok di balik pintu itu. Xavier tersentak kaget. Suara itu adalah suara yang sangat dikenalnya. "Irene? Kaukah itu?" Ujar Xavier dari tempat tidurnya.

Lucianna berniat membuka pintunya lebih lebar untuk mempersilahkan Irene masuk. Tapi Irene menahan gagang pintu itu.

"JANGAN BUKA PINTU INI LEBIH LEBAR LAGI!!" Teriak Irene, suaranya parau. Seperti sedang menahan tangis. Sontak saja Xavier dan Lucianna terkejut dengan tingkah Irene yang tiba-tiba.

"Irene... ada apa?" Tanya Lucianna khawatir. Irene menjawab dari balik pintu, "Aku hanya mau mengantarkan manisan ini... aku tidak mau masuk, aku tidak mau Vier melihatku yang seperti ini..." ujar Irene lemah.

"Aku pergi dulu, jaga Vier untukku, Lucianna... jangan sakiti dia."

Hanya itu kalimat terakhir Irene sebelum dia berlari meninggalkan ruangan itu. Sementara Lucianna hanya menatap keranjang manisan yang ditinggalkannya dengan tatapan heran.

"Xavier, apa Irene baik-baik saja?" Tanya Lucianna sambi menoleh setelah dia mengambil keranjang itu.

Sayangnya, dia tidak sedang berbicara dengan Xavier, atau siapapun. Ruangan itu kosong sekarang. Hanya ada dirinya, dan keranjang manisan itu. Serta jendela yang terbuka lebar.

"Mau ke mana dia?"

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang