33 - Perasaan Aneh

931 82 1
                                    

Lucianna berada cukup lama di ruang kesehatan itu bersama Rucarion. Pemuda itu benar-benar tidak pergi meninggalkannya sama sekali. Dalam hati kecilnya, Lucianna mulai memperbaiki kesannya terhadap pemilik surai merah-putih itu.

"Rucarion, kau tidak mau kembali ke kelas?" Tanya Lucianna membuka topik pembicaraan. Ya, sedari tadi hanya ada keheningan di antara mereka berdua. Ditemani oleh sekeranjang manisan yang dibuat oleh Irene.

Rucarion hanya menggeleng singkat sebagai jawaban. Lucianna sedikit merasa kesal, setidaknya bisakah pemuda itu menghargai usahanya mencari topik pembicaraan?

"Irene dan Xavier... mereka ke mana?" Tanya Lucianna lagi, tidak menyerah mencairkan keheningan itu.

"Mereka pasti sudah ditarik kembali ke kelas. Toh si pendek itu sudah disembuhkan oleh mantra penyembuhmu itu." Kali ini jawaban Rucarion terbilang cukup panjang.

"Aku sengaja menyuruh mereka berdua ke luar." Sebuah pernyataan datar bermakna ganda keluar dari mulut Rucarion. Membuat Lucianna menaikkan sebelah alisnya mencoba mencerna kalimat yang dilontarkan pemuda merah-putih itu tadi.

Seolah menyadari tatapan kebingungan Lucianna, Rucarion mendengus pelan. "Hei, begini-begini... aku tidak mau menjerumuskan orang lain karena kesalahanku. Kalau mereka di sini sekarang, mereka bisa saja dituduh membolos pelajaran sepertiku tadi." Jelas Rucarion panjang lebar.

Lucianna tersenyum selama satu detik. Detik berikutnya gadis biru itu memalingkan wajahnya ke arah jendela.

"Ternyata kau anak yang baik, Tuan Greene." Batin Lucianna sambil tetap tersenyum menatap ke luar jendela.

"Hei, gadis gila." Ujar Rucarion memanggil Lucianna. Hanya saja gadis itu tidak menoleh ke arahnya.

"Hoi... kau mendengarku, tidak?" Ujarnya lagi karena Lucianna tidak kunjung menoleh ke arahnya, atau menunjukkan respon kepadanya.

"Hei!!" Rucarion meninggikan suaranya, sambil mendorong pelan bahu gadis itu. Kesal karena panggilannya tidak diberi respon.

Lucianna yang merasa terganggu menatapnya dengan dingin. "Apa kau ingat namaku?" Ujarnya dengan nada kesal. "Jika aku bisa memanggilmu dengan namamu, kenapa kau tidak memanggilku dengan namaku juga?" Tanya Lucianna ketus.

Rucarion yang mendengarnya terdiam untuk beberapa saat. Pemuda itu tetap menatap Lucianna dengan tatapan kesal. Dan sedetik kemudian dia memalingkan wajahnya.

"Aku lupa namamu."

Bagai terantuk batu, Lucianna memegang pelipisnya yang mendadak terasa berat. Memikirkan mengenai penataan ulang kesannya pada pemuda yang dikenalnya arogan itu. Bisa-bisanya Rucarion semudah itu melupakan namanya.

"Bisa-bisanya kau melupakan namaku!" Seru Lucianna dengan nada tinggi. Rucarion hanya diam sambil mengangkat bahunya dengan tatapan datar yang tak berdosa. Saat itu suasana ruang kesehatan menjadi hening untuk beberapa lama.

Merasa muak dengan perilaku Lucianna yang terus diam seribu bahasa, dan mulai membenci keheningan di ruangan tempat mereka berada itu, Rucarion mendengus pelan dan akhirnya membuka suaranya.

"Cianna..." Ujar Rucarion sambil membuang mukanya. Menghindari tatap mata dengan gadis biru di hadapannya itu. Lucianna yang mendengar kata itu menatap pemuda itu heran.

"Namamu... Lucianna White... aku ingat." Ujar Rucarion datar tetap tanpa menatap wajah gadis itu.

Walau Rucarion memalingkan wajahnya dan tidak mau menatap Lucianna secara langsung. Lucianna bisa melihat perubahan warna di wajah pemuda itu. Semburat merah mulai terlihat di wajah dingin Rucarion.

Lucianna tersenyum sekilas, "Ada apa?" Tanya gadis itu dengan wajah tak berdosa.

Rucarion menghela napasnya, "Kenapa kau menerima hadiah dari monster itu?! Kau tidak tahu kalau tindakanmu itu bisa mencelakai dirimu sendiri?!" Bentak Rucarion ke gadis itu dengan nada tinggi.

Lucianna menaikkan sebelah alisnya, merasa heran. "Kalung ini?" Tanya gadis biru itu dengan polosnya.

'Ctessh...'

Dengan kasar Rucarion merampas kalung dengan liontin kristal biru yang indah dari leher Lucianna. Pemuda itu membakar seujung kuku tali yang terkalungkan di leher gadis itu sebelum menariknya, sehingga Lucianna tidak akan merasa sakit.

"RUCARION GREENE! APA YANG KAU LAKUKAN?!" Bentak Lucianna kesal ke arah pemuda itu, menyadari bahwa kalung hadiah Mr. Dat sudah berada di tangan pengendali elemen api itu.

"Kembalikan! Itu milikku!" Perintah Lucianna dengan nada tinggi. Sementara Rucarion menatap liontin itu dengan hati-hati.

"Liontin ini... terasa mirip... dan... rasanya aku yakin pernah menyentuh bahan seperti ini." Batin Rucarion diam-diam tanpa sepengetahuan Lucianna. "Tapi apa? Di mana? Bagaimana?"

"Hei, gadis gila..." ujar Rucarion berniat memanggil Lucianna. Tapi melihat tatapan beringas gadis itu, Rucarion mengurungkan niatnya.

"Sebut namaku, pangeran palsu!" Perintah Lucianna dengan kesal. Rucarion mendengus kesal, dan akhirnya mengalah.

"Niss White..." Ujar Rucarion sekali lagi dengan panggilan formal. Yang terdengar terlampau formal bagi Lucianna.

"Panggil aku dengan NA-MA-KU!" Perintah Lucianna dengan penuh penekanan di setiap kata, terutama kata terakhir.

"Lucianna!" Panggil Rucarion kehabisan kesabarannya. "Kau tahu darimana benda ini berasal?! Kenapa kau langsung asal menerimanya seperti itu hah?! Aku sudah bilang bahwa satyr itu adalah seorang pembunuh, bukan?!" Ujar Rucarion dengan nada tinggi.

Lucianna terkejut dan mencoba menenangkan dirinya. Kemudian menatap kembali Rucarion Greene dengan tatapan tajam.

"Hei, dengarkan aku! Aku tahu kau bilang Mr. Dat adalah seorang pembunuh! Aku tahu!! Tapi bagiku itu hal yang konyol! Mana mungkin guru sebaik dia bisa membunuh?! Orbica hitam itu hanyalah kiasanmu kan?! Kau hanya membencinya!!" Teriak Lucianna meluapkan amarahnya.

Rucarion menggenggam erat kristal biru dari liontin Lucianna dengan kesal, berusaha menahan amarahnya.

"JIKA DIA SEBAIK ITU, DIA TIDAK AKAN MEMBUNUHNYA! DIA TIDAK AKAN MEMBIARKANMU DALAM BAHAYA! DIA AKAN BERTINDAK, BUKANNYA HANYA DIAM!" Bentak Rucarion kasar dan melempar liontin biru milik Lucianna ke lantai.

Rucarion yang sedang diamuk amarah menampakkan lidah-lidah api dalam jumlah besar dari tubuhnya. Seakan-akan siap membakar apapun yang berada di hadapannya. Dengan susah payah pemuda itu mengatur emosi dan nafasnya dan menenangkan amukan elemen di dalam tubuhnya.

Lucianna sangat terkejut dan merasa sedikit takut. Baru pertama kali ini gadis itu melihat Rucarion semarah ini. Tapi tatapan Rucarion saat itu yang memancarkan rasa bersalah padanya, meyakinkan Lucianna bahwa Rucarion tidak bermaksud membentaknya.

"Ruca... rion..." ujar Lucianna memanggil nama pemuda itu dengan takut-takut, dan berniat menepuk pundak pemuda itu. Hanya semata-mata untuk membantu menenangkannya. Tapi lengan halus Lucianna ditepis oleh Rucarion dengan kasar.

Dengan cepat pemilik surai merah-putih itu memungut liontin biru yang tadi dilemparnya ke lantai dan menggenggamnya erat-erat.

"Aku... tidak mengerti. Tapi... kenapa...?" Ujar Rucarion yang ucapannya terdengar mulai meracau. Menimbulkan tanda tanya besar di kepala Lucianna.

"Kenapa... perasaan ini... terasa aneh?!" Lanjut Rucarion sambil dibalas oleh tatapan penuh tanda tanya dari Lucianna.

Lucianna mendudukkan dirinya dengan tegak. "Rucarion, tenang dulu.... Apa yang kau rasakan? Katakan pelan-pelan." Ujarnya menenangkan pemuda itu.

"Dingin, tapi juga hangat. Tajam, tapi juga lembut. Marah, tapi juga sedih. Sakit, tapi juga lega. Benci, tapi juga... aneh..."

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang