14 - Malam Kelam

1.2K 104 1
                                    

Hari sudah beranjak senja, cuaca di luar sedang hujan. Lucianna sudah berada di kamar asramanya bersama Rose. Dia sudah selesai makan malam dan mandi. Hal selanjutnya yang ingin dia lakukan adalah, menulis surat untuk kedua kakaknya.

"Lucy, kau sedang apa? Bagaimana hari pertamamu?" Ujar Rose heran melihat Lucianna duduk di meja belajarnya. Lucianna tidak menggubris pertanyaannya. Rose mengerti, dan memutuskan untuk bertanya lagi nanti.

Sementara Lucianna terus melanjutkan aktivitas menulisnya. Sekali-kali mengingat kembali kejadian-kejadian sial yang menimpanya tadi. Juga tentang percakapannya dengan Rucarion.

"Suku Orbica ya? Kenapa dia bisa tahu? Padahal tidak pernah ada seorangpun yang bisa melihat mereka." Batin Lucianna ketika dia mengingat kata 'Orbica'.

Lucianna melanjutkan tulisannya.

"Teruntuk : Kedua kakakku,
Leanra White dan Leonro White.
Dari : Adikmu, Lucianna White.

Kak Lean, kak Leon, apa kabar kalian di sana? Aku baik-baik saja di sini. Walau hari pertamaku tidak berjalan semulus yang aku kira. Aku bertemu seorang laki-laki yang egois, sombong, arogan, dan keras kepala yang menjerumuskanku dalam masalah. Namanya Rucarion Greene. Aku membencinya, kak. Dia sangat menyebalkan!

Aku diajaknya bekerja sama untuk 'membunuh'  seorang guru yang sangat baik di Gynx Academy ini. Dia bilang, guru itu sedang dirasuki oleh suku Orbica yang jahat. Entah apa yang dia pikirkan. Tapi setahuku, tidak ada suku Orbica yang bisa ditemukan sekarang. Apakah dia terlalu banyak membaca novel fiksi?

Tapi jangan kuatirkan aku, kak. Aku bertemu orang-orang yang baik di sini. Terutama teman sekamarku, Roseanne. Aku akan menjadi anak yang baik. Aku merindukan kalian.

Salam manis,

Lucianna White."

Lucianna meletakkan pulpennya. Kemudian memasukkan kertas itu ke dalam amplop surat dan memasukkannya ke dalam kotak pos di depan koridor kamarnya. Pengurus asrama akan mengeposnya besok pagi-pagi sekali.

Akhirnya Lucianna merebahkan dirinya ke atas tempat tidurnya. Rose sudah menunggunya sejak tadi.

"Surat untuk keluargamu?" Tanya Rose tersenyum miris. Lucianna menggelengkan kepalanya. "Hanya untuk kedua kakakku." Ujarnya lembut.

"Kau tidak akrab dengan ayah dan ibumu?" Tanya Rose terkejut. Lucianna hanya tertawa kecil sambil menggeleng lemah. Rose terdiam, dia tidak mau membicarakan hal itu lagi.

"Tapi, bukankah... foto itu... adalah foto keluargamu?" Tanya Rose takut-takut. Lucianna mengangguk. "Aku tidak dekat dengan ayah dan ibuku. Tapi bukan berarti aku harus melupakan mereka, bukan?" Ujarnya dengan seulas senyum.

Rose hanya tersenyum kaku mendengarnya. Kemudian melanjutkan pembicaraan mengenai hari pertama Lucianna yang dijawab dengan seadanya olehnya.

Lucianna tiba-tiba teringat sesuatu. Dia berjalan ke arah rak bukunya, dan mengambil sebuah buku yang sangat tebal. Persis seperti ensiklopedia. Lucianna membawanya ke tempat tidurnya.

Rose melongo melihat buku itu. Dia tidak pernah melihat buku seperti itu sebelumnya. Seolah membaca pikiran Rose, Lucianna tersenyum singkat. "Ini buku favoritku, diwariskan turun-temurun semenjak zaman kakek buyutku." Ujar Lucianna percaya diri.

Rose meneguk ludahnya dan mengangguk. Itu buku yang sangat tua. Dan pastinya sangat berharga untuk keluarga Lucianna.

Lucianna membuka halaman pertama, terpampang dengan sangat jelas dan besar menggunakan aksara Zena. Hal yang asing lagi bagi Rose. Sudah lama sekali penghuni planet Zenara tidak menggunakan aksara kuno itu. Mereka sekarang menggunakan huruf-huruf yang lebih sederhana dan mudah dibaca daripada aksara Zena.

"Lucy, kau bisa membacanya?" Tanya Rose. Lucianna hanya mengangguk. "Kami diajarkan untuk bisa menulis dan membaca aksara Zena ketika menginjak umur 2 tahun. Dan harus sudah mahir ketika berusia 5 tahun." Ujarnya datar, matanya terpaku pada halaman-halaman buku itu. Mencari hal yang ingin dia ketahui.

"Apa judul buku ini sebenarnya?" Tanya Rose semakin penasaran. Tanpa melihat ke arahnya, Lucianna menyunggingkan senyum misterius.

"Laet Zenara kre Mirtse,
Misteri Planet Zenara."

Ujarnya dengan nada tegas namun terkesan sangat misterius. Dalam sekejap, petir menyambar. Menambah kesan tegang dan menakutkan di kamar mereka.

"Ke-kenapa misteri planet ini? Ada apa?" Tanya Rose mulai ketakutan. Lucianna tersenyum simpul sambil mengusap kepala gadis itu. "Jangan takut, aku hanya ingin memastikan sesuatu."

"Ini dia." Ujar Lucianna setelah menemukan halaman yang dia cari.

"Bab 4, Suku Orbica."

"Orbica? Ada apa dengan mereka?" Tanya Rose penasaran. Lucianna melanjutkan membacanya. Sekali-sekali dia menjelaskan kepada Rose mengenai arti huruf di aksara Zena itu.

"Bagian 3, Suku Orbica Hitam."

Kalimat itu membuat Lucianna terkejut. Ternyata benar ada Orbica yang jahat. Dia terus membaca, tidak menghiraukan Rose yang terus bertanya.

"Suku Orbica adalah suku yang terbentuk dari roh Lamina yang sudah mati, dan diberikan kekuatan yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Mereka juga memiliki kepribadian, pikiran, dan hati nurani Lamina mereka yang lama. Jika yang mati adalah Lamina yang baik, maka akan tercipta Orbica Putih yang baik hati pula. Tapi jika yang mati adalah Lamina yang jahat, akan tercipta Orbica Hitam yang jahat, kejam, sama seperti kepribadian Lamina itu dulu."

"Orbica hanyalah perubahan wujud dan kekuatan yang abadi dari Lamina... jadi hal selain wujud dan kekuatan, tidak akan berubah." Ujar Lucianna, berbicara sendiri. Kemudian melanjutkan bacaannya.

"Orbica Hitam adalah suku yang paling berbahaya. Dia tidak perlu di-summon dengan mantra, dia bisa bebas berkeliaran, dan bisa dilihat oleh suku lain yang memiliki gelombang kehidupan yang mirip dengannya. Ketika hal ini terjadi, Orbica Hitam bisa saja merasuki atau mempengaruhi orang tersebut."

"Apakah, Mr. Dat juga..." ujar Lucianna mulai khawatir dan ketakutan. Dia ingat bahwa suku Orbica tidak bisa dibunuh dengan senjata maupun sihir. Lucianna kembali melanjutkan bacaan itu.

"Pada dasarnya, kaum Orbica memang abadi. Namun menurut legenda, Orbica Hitam diberi hukuman berat oleh para dewa. Mereka bisa dibunuh dengan 3 cara. Yaitu menggunakan mantra khusus, pedang putih, dan bila Orbica Hitam itu berkata dia mau mengakhiri hidupnya."

"Mantra khusus? Bahkan tidak ada keterangan mantra apapun di buku ini. Jadi bagaimana caranya?" Ujar Lucianna pasrah. Dia melirik ke arah Rose yang ternyata sudah tertidur sejak tadi.

Kamar ini mendadak terasa sepi. Ditambah dengan suara hujan dan petir di luar, suasananya mendadak mencekam.

Tiba-tiba sekelebat bayangan melintas di depan mata Lucianna. Membuat gadis itu merasa sedikit takut. Tapi dia merasa bahwa itu hanya imajinasi atau serangga yang lewat di depan lampu tidurnya.

Tanpa pikir panjang, Lucianna segera menarik selimutnya dan meletakkan buku itu di sampingnya. Berharap bisa segera tidur. Terlebih lagi, besok dia harus bersekolah kembali.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang