25 - Emosi

991 82 0
                                    

"HENTIKAN SEMUA INI RUCARION!" Teriak Irene sambil terisak. "KAU HANYA AKAN MENGURAS NYAWAMU SENDIRI!"

"Omong kosong!" Ujar Rucarion dingin. "Kaulah yang menguras nyawamu sendiri, bisu! Kau kira aku tidak tahu berapa channa yang kau gunakan untuk element's skill-mu?!" Ujarnya ketus.

Channa adalah energi yang dimiliki tiap Recht untuk mengeluarkan sihir elemen mereka. Bisa berupa hal yang biasa, maupun skill untuk berperang.

Irene terkejut mendengarnya. Tapi dia tidak melemahkan skill itu. "AKU TIDAK PEDULI DENGAN CHANNA MAUPUN NYAWAKU SENDIRI!" Jeritnya. Walau Irene tahu, menggunakan elemen tumbuhan melawan elemen api, hanya akan menguras nyawanya.

'Blaarr!!'

Suara ledakan terdengar dari gedung kedua. Tempat di mana satu-satunya gedung yang memiliki fasilitas ruang kesehatan untuk merawat siswa. Semua pandangan tertuju pada geduing itu.

"Ck, sial! Mau sampai kapan kalian diam dan menatap?!" Ujar Rucarion sambil melepas elemennya, membakar semua sulur yang mengikat tubuhnya. Dan tanpa berujar apa-apa lagi, langsung berlari menuju gedung itu.

"Reif dache!"

Setelah mengucapkan mantra itu, kecepatan Rucarion meningkat 15 kali lipat, dengan api di setiap langkahnya. Disusul oleh Xavier dengan elemen petirnya. Irene menyusulnya dari belakang. Elemennya tidak mendukung untuk menaikkan kelincahan dan kecepatan miliknya.

- Flashback, Di tempat Lucianna -

"Mau kemana anak itu? Bukankah dia belum benar-benar sehat?" Sindir Lucianna setelah sadar bahwa dia sedang sendirian di sana.

Lucianna mengambil keranjang manisan itu dan meletakkannya di samping tempat tidur Xavier. Kemudian gadis itu merebahkan dirinya ke tempat tidur miliknya.

Sebelum memejamkan mata, Lucianna mencoba memutar kembali memori perang kecil tadi. Bagaimana caranya dia bisa mengeluarkan skill sehebat itu tanpa disadari olehnya.

Sesaat sebelum dia memejamkan matanya, muncul sebuah portal. Lucianna terlonjak kaget melihatnya. Dan gadis itu semakin kaget, sekaligus ketakutan karena sosok yang muncul dari portal tersebut.

Bukan, bukan sosok abu-abu yang tadi menyerang dia dan Irene. Bukan pula sosok malaikat Lucifer. Di hadapan Lucianna hanya terdapat bayangan hitam. Tembus pandang, berwujud asap.

Lucianna ketakutan, dia ingin berteriak meminta pertolongan, tapi dia tidak bisa. Suara gadis itu seakan tertahan saking takutnya.

Bayangan itu menjelma menjadi sesosok 'manusia'. Memakai pakaian serba hitam. Berbeda dengan sosok yang menyerang mereka, yang mengenakan pakaian abu-abu.

Lucianna merasa takut bukan main. Namun gadis malang itu tidak bisa berteriak. Entah karena sihir makhluk di depannya, atau bukan. Yang jelas, dia sangat ketakutan. Tapi tidak bisa berteriak.

"Droufn za."

Makhluk di depannya berujar. Dari suaranya, Lucianna tidak tahu dia sedang berhadapan dengan laki-laki atau perempuan. Makhluk itu menutupi seluruh badannya. Mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki.

Hal itu membuat Lucianna tidak mengetahui elemen apa yang dipegang oleh makhluk itu. Yang jelas, dia ingin segera keluar dari sana.

"Droufn za."

Ujar sosok itu lagi. Sudah 2 kali dia mengulang kalimat yang sama. Tapi kali ini, dia melangkah mendekat, dan semakin mendekat. Lucianna tidak bisa bergerak dari tempatnya. Bukan karena ketakutan, tapi karena ada sihir yang mengikatnya di sana.

Tangan makhluk tersebut mencengkeram pipi Lucianna, kemudian mencekik lehernya, pelan namun pasti. Lucianna mulai kehilangan kesadarannya sedikit demi sedikit.

"Ei droufn za."

Lucianna takut. Dari matanya mulai menetes butir-butiran bening, turun membasahi pipinya. Dia mengerti arti kalimat yang terus diucapkan oleh sosok itu.

"Aku menemukanmu."

Lucianna takut, di kepalanya sedang berputar segala hal yang terjadi sejak dulu sampai sekarang. Apa kesalahannya sampai harus menjadi seperti ini? Gadis itu sama sekali tidak mengerti.

"Kau menangis?" Ujar sosok tersebut mendekati Lucianna. Lucianna terkejut mendengarnya. Seketika air matanya berhenti menetes.

"Apa ini gadis yang dikatakan berbahaya oleh tuan? Sama sekali tidak memenuhi syarat." Ujar sosok itu lagi mendekatkan wajahnya ke wajah Lucianna, memperhatikan mata Lucianna dengan dalam dan seksama.

"Jangan menangis, aku tidak akan melukaimu..." ujar sosok itu lagi. Menggerakkan tangannya menyentuh puncak kepala Lucianna dan membelainya lembut. "Jangan takut, jangan menangis... kau baik-baik saja."

Perlahan namun pasti, Lucianna mulai merasa tenang. Entah apakah makhluk di depannya ini memakai sihir atau tidak. Yang jelas, Lucianna merasa sangat tenang sekarang. Dia tidak lagi takut ataupun panik. Dan dia sudah berhenti menangis.

'Shessh!!'

Tiba-tiba di setiap sudut ruangan itu muncul bola api dan membakar segala sesuatu yang dilaluinya. Kebakaran tak terelakkan pun terjadi, Lucianna terperangkap di ruangan itu bersama makhluk itu dengan api yang menyala.

"RUNA! APA YANG KAU LAKUKAN?! BAWA DIA!" Teriak seseorang dari ruangan itu. Lucianna tidak tahu darimana asalnya, kelihatannya ada di bagian dinding sebelah kiri ruang UKS.

"Aku tidak mau membawanya! Dia tidak berbahaya! Dia hanya gadis biasa!!" Balas sosok yang ternyata bernama Runa itu. Lucianna bingung. Dia kembali merasa takut. Dia tidak pernah dikepung oleh api seperti ini.

Walau elemen air adalah kelemahan elemen api, tetap saja dia merasa sangat takut. Kedatangan 2 makhluk yang tidak diketahui olehnya, dan tiba-tiba mengalami kebakaran hebat seperti ini. Sungguh sangat-sangat mengejutkan dan menakutkan.

"KUBILANG BAWA DIA, RUNA!" Bentak sosok itu sambil melemparkan sihirnya ke arah Runa.

Runa menangkis serangan itu, dia berniat melindungi Lucianna. "Kau... pengkhianat! Akan kulaporkan hal ini kepada tuan!" Bentak sosok itu lagi.

"Aku tidak peduli! Yang jelas kau-" kalimat Runa terpotong. Dari atas, muncul beribu pedang api, jatuh menghujam badannya. Dengan cepat dan dengan segenap energi yang tersisa, dia melindungi Lucianna.

"Ei droufn za, Aphrossa..."

Itu kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Runa. Setelah pedang apinya menghilang, yang tersisa di ruangan yang terbakar itu hanya Lucianna, dan tubuh Runa yang sudah kaku terbakar. Menjadi mayat. Runa sudah pergi, dia mengorbankan nyawanya demi Lucianna.

Lucianna meneteskan air matanya. Dia marah, dan kesal. Kenapa semua orang harus menderita jika berada di dekatnya? Pertama Irene dan Xavier, sekarang orang asing yang baru dikenalnya. Orang-orang yang baik padanya.

Lucianna sangat marah dan kesal kepada dirinya sendiri. Bisa-bisanya dia mencelakakan hidup orang lain. Dia kesal, dia marah. Tatapannya kosong, dia tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Dan kemudian... hal yang ditakutkan Rucarion terulang lagi.

'Blarr!!'

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang