Pagi harinya, Lucianna terbangun. Dia melihat album foto tergeletak di ujung tempat tidurnya. Beserta sebuah surat bertuliskan,
"Bawalah benda ini jika kau menginginkannya. Ibu yakin kau akan merindukan rumah ini nantinya.
-Ibu-"
"Bukan mimpi..." ujar Lucianna lirih, sambil tersenyum cerah. Dia segera melesat ke arah kamar mandi. Karena dia tahu bahwa hari ini adalah hari besarnya.
Selesai mandi, Lucianna memakai pakaiannya yang berupa gaun berwarna biru cerah, cardigan berwarna putih, topi jerami berpita biru, dan sepatu berwarna biru muda. Dia segera meraih kopernya dan berjalan ke arah ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, tampak ayah, ibu, serta kedua kakaknya sudah menunggu. Ini akan menjadi sarapan mereka yang terakhir.
"Selamat pagi..." ujar Lucianna, mencoba tersenyum. Tapi entah kenapa, senyuman ini terasa sangat berat. Mengingat hari ini adalah hari terakhir mereka bisa bertemu satu sama lain.
"Selamat pagi, Anna... ini, habiskan sarapanmu." Ujar ibunya lembut. Lucianna mengangguk dan segera memakan sarapannya.
"Kak Lean, kak Leon... maafkan aku." Ujar Lucianna lirih. Matanya berkaca-kaca ketika dia mengangkat kepalanya, menghadap kedua kakaknya. Menandakan bahwa gadis ini tidak rela meninggalkan rumahnya.
"Tidak perlu minta maaf, Lucy..." ujar Leanra tersenyum. "Ini cita-citamu juga kan? Buatlah kami bangga, seperti yang sudah biasa kau lakukan." Sambungnya lagi.
"Aku merasa seperti tidak pantas meninggalkan kalian sendiri disini." Ujar Lucianna.
Leonro membelai kepala adiknya lembut. "Jangan khawatirkan kami, Lucy... nanti sesampainya disana, mungkin kau sudah tidak akan mengingat kesedihanmu lagi. Dan mungkin, kau akan melupakan kami untuk sementara waktu." Ujar Leonro.
"Itu bisa saja terjadi, tapi aku tidak akan membiarkan memoriku sendiri melupakan kalian." Ujar Lucianna tersenyum kecil.
"Sarapanku sudah habis! Saatnya pergi!" Ujar Lucianna ceria kembali. "Apa ada yang kulupakan ya? Aku rasa semuanya sudah lengkap sih." Sambungnya sambil mengecek ulang kopernya.
"Hei, kau mau mati ya?" Bentak Leanra dengan nada sinis sekaligus menyindir. Di tangannya tergantung sebuah alat berbentuk penutup telinga berwarna putih. Ya, revocear. Untuk menutupi bagian 'telinga' suku Recht agar tidak ketahuan oleh Dionam.
"Oh iya! Revocear-ku! Terima kasih, Kak... aku sangat tertolong." Ujar Lucianna sambil cengengesan. Ayah dan ibunya hanya tersenyum melihat kejadian ini.
"Dasar! Kalau kau melupakan ini, sama saja dengan kau bunuh diri! Kau tahu kalau kau harus melewati wilayah Dionam kan?" Ujar Leanra, masih marah kepada adik bungsunya ini.
"Maaf, Kak... aku akan lebih berhati-hati lagi." Ujar Lucianna dengan nada penuh penyesalan.
"Hati-hati dengan para Dionam itu loh, Anna... walau ayah yakin kau akan dengan mudah bisa menghapuskan mereka dari dunia nantinya, ketika kau sudah menjadi Dichornia." Ujar ayahnya bangga.
"Baik, Ayah... aku pergi dulu ya!" Ujar Lucianna sambil memakai revocear-nya. Dan berpamitan dengan keluarganya.
"Dengan begini, aku bebas. Tunggu aku, Gynx Academy!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Magtera Roranta
FantasyPlanet Zenara, dimana semua penghuninya yang berasal dari 4 suku yang berbeda. Hidup berdampingan dengan damai. Sampai suatu hari, perang terjadi. WARNING : CERITANYA SUPER-DUPER PANJANG Lucianna White, seorang gadis yang mencintai perdamaian semenj...