22 - Tentang Irene

1K 87 4
                                    

Flashback on

Beberapa tahun yang lalu...

Namaku Irene Evergreen, semua orang memanggilku Irene (Baca : Ai-rin). Aku seorang Spell Caster yang kehilangan suaraku akibat para ilmuwan gila suatu organisasi gelap. Aku yang dulunya ceria, menjadi lebih tertutup dan pemalu.

Kekuatan telepati yang kumiliki, aku menutupnya. Hanya Xavier yang mengetahui hal itu. Itupun sangat jarang aku gunakan. Tidak ada yang bisa kulakukan mengenai traumaku karena kebodohanku sendiri.

Xavier Drakens, dia teman masa kecilku yang merangkap cinta pertamaku. Tingkahnya yang manis, baik, dan selalu berusaha melindungiku sejak kecil membuatku teramat-sangat menyukainya. Tidak peduli apa kata orang yang mengatakan dia pendek, dan emosian.

Tapi perasaanku hanya akan sebatas itu. Vier tidak mungkin menyukaiku, dia bertingkah seperti itu kepada semua teman-temannya. Dan sejak SMP, aku sudah mencoba melupakan perasaan konyolku kepada Xavier.

Aku tidak jahat. Hanya saja... apa kalian terima jika orang yang kalian sukai, berlaku manis kepada semua gadis lain? Aku tidak mau melarangnya, tapi aku juga tidak mau merasakan sakit. Jadi aku rasa, menyerah adalah keputusan terbaik.

Rucarion Greene, aku mengaguminya. Dialah pemuda yang berhasil membuatku berpaling dari Xavier. Hanya saja, dia berbeda sekali dengan Xavier yang manis, ramah, hangat, dan mau melindungi. Rucarion sangat cuek, dingin, sinis, terus-terang, dan arogan.

"Rucarion..." ujarku memanggil namanya. Ah, apa yang kupikirkan? Jelas sekali dia tidak akan mendengar telepatiku. Dengan cekatan, aku mengambil tongkat sihirku dan membaca mantra pendek, hanya agar dia bisa mendengar suaraku.

"Rucarion... kau mendengarku?" ujarku lagi dengan ragu-ragu. Dia menoleh menatapku heran dengan mata terbelalak. Aku memberinya senyum kecil. Ekspresi wajahnya tidak berubah sama sekali.

"Apa?" Ujarnya tegas dan dingin. Aku menggigit bibir bawahku. Berusaha mempertahankan senyum manis milikku. "Hei, kau ini bisu?" Tanya pemuda itu tepat di hadapanku, di depan mataku. Entah maksudnya menyindir atau memang menanyakan yang sebenarnya.

Aku berniat pergi berlari meninggalkannya sambil menangis. Tapi Rucarion terlanjur menahan tanganku. Sakit sekali, tapi aku mencoba menahannya dan tidak berontak. Dengan begitu rasa sakit yang kurasakan lebih berkurang.

"Mantra telepati itu darimana? Kau bisu?" Tanya pemuda itu sekali lagi. Sakit rasanya dikatai 'bisu' oleh orang yang kau kagumi, atau mungkin... orang yang kau sukai?

"Hei, jawab aku! Kau memang bisu?" Tanya pemuda itu sekali lagi, di hadapanku. Aku mempertahankan senyumanku, walau aku berusaha untuk tidak menangis. Inilah kenapa aku lebih sering diam di dalam kelas.

Aku mengangguk perlahan sambil tersenyum miris. Ekspresi wajah Rucarion tidak berubah. Hanya saja tatapannya terasa lebih melembut. Dia melepaskan cekalan tangannya padaku. Aku bisa menarik napas lega sementara.

"Maaf..." ujarnya. Ternyata, pemuda itu tidak seangkuh yang aku pikirkan. Aku mengangguk, mengiyakan. "Telepati tadi..." perkataannya tertahan. "Lupakan, apa yang kau inginkan?" Tanya pemuda itu, kembali pada ekspresi awalnya.

Aku tidak lagi menggunakan telepatiku. Aku harus menutupinya. Aku hanya bisa berharap Rucarion berasumsi bahwa dia berhalusinasi tadi.

Aku mengulurkan tanganku. Yang kutahu, ini adalah isyarat yang mengatakan, 'Ayo berteman!' Tanpa harus mengatakan lebih lagi.

Rucarion mengulurkan tangannya menjabat tanganku. Tetap dengan ekspresi wajah datar. Entah dia mengerti atau tidak, aku tidak peduli. Karena bagiku, persetujuan sepihak sudah cukup jika dia tidak mengerti apa-apa.

"Hei, gadis bisu. Apa maksudmu? Tiba-tiba saja bertindak aneh begini. Telepati itu dari mana asalnya?" Ujarnya ketika menjabat tanganku. Aku mematung mendengar ucapannya itu. Entah dia memang mengerti perasaan orang lain atau tidak. Kini baru aku heran dengan diriku sendiri.

"Kenapa aku bisa mengagumi orang sepertinya?"

Aku menghentakkan tanganku, melepaskan diri dari jabatan tangannya. Seperti orang bodoh, aku berlari ke koridor dengan wajah berurai air mata. Terserah jika kalian mau ikut mengataiku lemah, aneh, atau bodoh. Aku tidak peduli. Yang kutahu adalah, perasaanku sakit sekali.

Kalian tidak pernah merasakan bagaimana rasanya dikatai seperti itu dengan menggunakan kekurangan kalian sebagai bahannya. Apalagi jika pelakunya adalah orang yang kalian kagumi atau bahkan orang yang kalian sukai.

Aku menabrak seseorang. Yang jelas saja membuatku terjatuh. "Maaf" ujar orang itu. Aku mengenal suara ini. Sangat mengenalnya. Aku mendongak untuk memastikan analisisku. Ya benar, Xavier. Dia berdiri di depanku dengan wajah terbelalak.

"Irene, kau... menangis? Kenapa? Siapa yang membuatmu menangis?!" Ujarnya dengan nada marah. Tapi bukannya mengangkatku untuk berdiri, dia malah menemaniku duduk di tepi koridor. Persetan dengan semua orang yang lalu-lalang. Aku tidak peduli lagi.

Aku menggelengkan kepalaku, berusaha menyembunyikan perasaanku. Aku sangat-sangat tidak suka jika ada orang yang ikut campur dalam urusanku. Tapi pemuda itu lain... dia sangat suka ikut campur dalam urusan orang lain.

"Ceritakan padaku." Ujarnya tegas. Aku menghentikan tangisanku. Menatapnya tajam. Namun dibalasnya dengan tatapan lembut beserta senyuman yang... aih... tidak adil sekali... aku tidak pernah bisa menolak perintah Xavier jika dia sudah seperti ini.

Aku tidak mau mengatakannya secara langsung. Dengan kesepuluh jariku yang masih mau rajin bergerak. Aku membentuk huruf demi huruf untuk mengatakan akar permasalahanku.

"G"
"R"
"E"
"E"
"N"
"E"

"Greene?" Ujar Xavier dengan tatapan berapi-api. "Jangan bilang kalau keparat yang berani membuatmu menangis itu adalah Rucarion Greene?" Ujar Xavier dengan tatapan menakutkan.

Aku refleks menahan tangannya, sambil mengangguk, kemudian menggeleng. Xavier mengerti apa artinya. Namun dia masih tidak terima. Kalau aku tidak berhasil menahannya... mungkin sekolah bisa hancur terbakar karena ulah mereka berdua.

'Dua monster yang sangat berbeda.'

"Jangan khawatir Irene. Aku berada di pihakmu. Dia tidak akan bisa membuatmu menangis lagi." Ujar Xavier sambil membelai lembut kepalaku, sebelum akhirnya kembali ke kelas.

Di kelas, aku menemukan secarik kertas di atas mejaku. Kertas itu bertuliskan...

"Tenang saja, rahasiamu aman denganku. Telepati tidak boleh digunakan sembarangan."

Aku melirik ke arah surai merah-putih itu. Tanpa kuketahui, ternyata dia juga melihat ke arahku. Aku mengangguk ragu ke arahnya. Dan dia membalas dengan sebuah anggukan disertai dengan sebuah senyuman... yang... terlihat tulus.

Aku kembali melirik kertas itu. Siapa yang mengira, di bawahnya masih berlanjut tulisan lain...

"Namaku Rucarion Greene, Fire Bender. Senang bisa berteman denganmu, Nature Bender, Spell Caster, Irene Evergreen."

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang