Lucianna saat ini sudah berada di asramanya. Hari sudah menunjukkan pukul empat sore. Sesuai niatnya, gadis itu baru saja selesai mengguyur dirinya dengan air dingin, sekaligus membersihkan dirinya. Rose pergi berjalan-jalan di sekitar taman untuk menghilangkan kekesalannya terhadap Mr. Ray, wali kelasnya yang katanya memberikan tumpukan tugas kepada kelasnya.
Seperti biasa, Lucianna menuliskan surat untuk kedua kakaknya. Tapi tidak banyak yang bisa diceritakan olehnya hari ini. Sehingga Lucianna hanya menuliskan paragraf yang menceritakan bahwa dia baik-baik saja.
Sejenak, dalam kepala gadis itu terputar kembali perkataan Rucarion yang mengatakan bahwa dia akan semakin sibuk dan semakin jarang menulis surat.
Lucianna mendengus kesal, tapi kemudian mendesah pelan. Perkataan pemuda itu benar. Melelahkan rasanya harus menulis setiap hari sementara tidak ada hal spesial yang harus ditulis.
Maka Lucianna menambahkan beberapa paragraf permohonan maaf kepada kedua kakaknya jika dia tidak bisa menulis surat terlalu sering.
Setelah menyelesaikan paragraf itu, Lucianna memasukkan surat tulisannya ke dalam kotak pos, berharap kedua kakaknya tidak lagi mengkhawatirkannya. Dalam hati gadis itu juga memohon agar mimpinya bisa terwujud, sehingga dia bisa pulang sebagai Dichornia.
Tepat ketika Lucianna baru saja memasuki kamarnya kembali, gadis itu melihat sebuah bola api melayang-layang di luar jendela balkonnya. Lucianna, yang saat ini mengenakan baju rumah berupa dress putih sederhana, berjalan ke arah balkonnya karena penasaran.
"Rucarion?" tanya gadis itu terheran melihat partner barunya berada 2 meter di depannya. "Kenapa bermain dengan api? Itu berbahaya!" omel gadis itu sambil mengayunkan tongkat sihirnya dan memadamkan api yang melayang-layang di sekitarnya.
Rucarion tidak menjawab, tidak juga menciptakan bola api yang baru untuk memancing amarah gadis itu. Hal yang aneh bagi Lucianna.
"Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Lucianna perlahan berjalan mendekat ke ujung balkon, melipat tangannya di atas selasar, berniat untuk sedikit menghibur partner-nya dalam misi perdamaian ini.
Rucarion menatap gadis biru di hadapannya datar, beberapa detik kemudian pemuda itu berbalik. "Kita ke sana, bawa bukumu," hanya itu yang dikatakan oleh pemuda itu sebelum pergi meninggalkan Lucianna di ujung balkonnya. Lucianna yang keheranan, akhirnya menurut saja.
Awalnya gadis itu bingung mengenai bagaimana caranya untuk membawa buku sebesar dan seberat itu tanpa diketahui murid lain sesuai kesepakatan mereka? Mau menggunakan revittae sekalipun, buku sebesar itu mustahil untuk tidak terlihat.
Lucianna mendadak teringat dengan mantra aneh yang didengarnya di ujian pertahanan sihir bersama Irene dan Xavier. Mantra aneh yang gadis itu dengar sebelum mereka diserang oleh sambaran petir yang bertubi-tubi.
"Tidak ada salahnya kucoba..." ujar gadis itu ragu sambil mengarahkan tongkat sihirnya menghadap buku tua itu.
"Omnius swad!"
Secara ajaib, buku itu perlahan menghilang dari pandangan. Lucianna tersenyum sumringah, perasaan yang sama selalu datang kepadanya setiap kali gadis itu selesai melemparkan mantra yang asing baginya. Lucianna kemudian mengucapkan mantra revittae, dan segera pergi ke tempat pertemuan mereka.
Tempat yang seharusnya didatanginya dua hari lagi, tapi karena sang tuan rumah mendesak, gadis itu tidak punya pilihan lain.
Setibanya Lucianna di sana, gadis itu tidak melihat satupun tangga tali yang menjuntai. Sepertinya Rucarion memaksanya untuk terbang ke atas sana. Lucianna menatap datar akan situasinya saat ini, tapi sedetik kemudian, gadis itu sudah berada di teras rumah pohon hangat Rucarion.
Tidak butuh waktu lama untuk menunggu agar pintu segera dibukakan. Tanpa banyak basa-basi, Lucianna masuk ke dalam dan duduk di salah satu kursi antik Rucarion. Tidak disangka, di atas meja sudah terseduh dua cangkir teh hijau yang masih mengepulkan uap.
"Teh itu bukan untukmu, tapi kalau kau tidak keberatan, silahkan diminum," ujar sebuah suara berat, yang dikenali Lucianna sebagai suara Rucarion.
Dengan sebuah sentakan dari tongkat sihirnya, gadis itu memunculkan kembali buku tua yang disembunyikannya, dan dijatuhkannya hingga menimbulkan bunyi yang keras.
"Bodoh! Rumah pohonku ini dari kayu!" omel Rucarion sambil memungut buku itu dari lantai. Sementara Lucianna sudah sibuk menikmati teh yang disuguhkan oleh sang tuan rumah.
Rucarion yang saat ini sudah duduk di sofa, menatap gadis itu dengan sungguh-sungguh. Lucianna yang merasa tidak nyaman, melemparkan tatapan tajam ke arah pemuda itu. Tapi Rucarion bergeming.
"Rucarion, kau baik-baik saja?" tanya gadis itu merasa tidak nyaman. Rucarion menundukkan kepalanya.
"Tidak, aku bermimpi aneh pagi ini," hanya itu yang keluar dari mulut sang pemuda. Lucianna hanya diam menatap Rucarion yang kini mengambil sesuatu dari saku vest-nya. Lucianna tidak mengerti kenapa pemuda itu suka sekali mengenakan seragam dengan atribut rompi.
Rucarion mengeluarkan sebuah liontin berwarna biru yang dikenali Lucianna sebagai liontin miliknya.
"Mimpi itu mengatakan sesuatu mengenai benda ini," ujar Rucarion dingin sambil memutar-mutar liontin itu dengan tangannya.
"Aku baru ingat, bahwa benda ini merupakan kunci untuk membuka segel sihirmu yang entah mengapa ada di sana," lanjutnya. "Kau bahkan tidak tahu kenapa dan apa yang disegel darimu."
Lucianna meneguk ludahnya. Rucarion menatap gadis itu dalam-dalam. "Kau..." ujar pemuda itu menggantungkan kalimatnya. "Terlalu kuat," lanjutnya.
Rucarion menatap mata Lucianna yang saat ini membulat sempurna, sebelum melanjutkan perkataannya. "Sihirmu terlalu kuat, oleh karena itu kekuatanmu disegel. Segel itu membatasi channa yang bisa kau gunakan untuk menciptakan mantra," ujar pemuda itu serius.
Beberapa menit kemudian dihabiskan oleh Rucarion untuk menjelaskan bukti-bukti yang menguatkan hipotesanya. Perasaan Lucianna terombang-ambing antara terkejut, ketakutan, dan sedih mengingat dia bisa saja terbunuh karena kekuatannya sendiri.
"Tenang saja," ujar Rucarion menenangkan gadis itu. "Aku sudah tahu maksud dari perasaanku sewaktu menyentuh benda ini."
Lucianna memiringkan kepalanya, "Saat kau meracau?" tanya gadis itu yang langsung disambut dengan tatapan tajam dari fire bender di hadapannya.
"Itu bukan meracau! Itu perasaan yang mengatakan bahwa aku harus menghancurkan benda ini! Kau tidak akan mengerti," ujar Rucarion dengan kesal.
Lucianna terkejut mendengar Rucarion hendak menghancurkan liontin itu. Seolah mengerti, pemilik surai merah-putih itupun menjelaskan. "Aku tidak mau berjuang sendiri untuk perdamaian, siapa yang mengira karena adanya benda ini, kau akan hancur oleh sihirmu yang disegel itu."
Penjelasan Rucarion cukup untuk meyakinkan Lucianna bahwa liontin itu tidak sepantasnya ada di sini bersamanya. Mau tidak mau, mereka harus menghancurkannya. Setidaknya agar kekuatan berbahaya Lucianna tetap bisa disegel.

KAMU SEDANG MEMBACA
Magtera Roranta
FantasiPlanet Zenara, dimana semua penghuninya yang berasal dari 4 suku yang berbeda. Hidup berdampingan dengan damai. Sampai suatu hari, perang terjadi. WARNING : CERITANYA SUPER-DUPER PANJANG Lucianna White, seorang gadis yang mencintai perdamaian semenj...