30 - Kelainan atau Anugerah?

1K 90 0
                                    

"Memiliki pedang bermata dua tidak seburuk itu." Ujar Rucarion dengan begitu santainya. Lucianna yang mendengar kalimat itu hanya menatap pemuda bersurai merah-putih itu dengan heran.

"Bukankah begitu? Kau cukup mengarahkan kedua mata pedang itu ke arah musuhmu." Ujar Rucarion lagi.

Lucianna menatap pemuda itu lama.

"Kau mencoba melucu?" Hanya kalimat itu yang terlontar dari mulut gadis biru itu. Rucarion mendecih pelan. "Bukan, bukan apa-apa."

Lucianna menarik selimutnya perlahan menutupi mulutnya. Ekspresi yang ditunjukkan Rucarion barusan sangat berbeda dengan image 'Pangeran' dengan susah payah gadis itu menahan diri agar tidak tertawa.

"Ya tertawalah selama kau masih mampu." Balas Rucarion dengan dingin. Lucianna mendehem pelan dan kemudian kembali seperti semula.

Tiba-tiba gadis itu menyadari sesuatu. Sesuatu yang hampir saja dia lupakan, yang sangat penting tapi hampir tidak disadarinya.

"Hei, tuan Greene... apakah tadi kau... tidak menggunakan tongkat sihirmu?" Tanya Lucianna ragu-ragu. Rucarion yang mendengar hal itu tersentak kaget mendengarnya.

Rucarion menggaruk bagian tengkuknya yang tidak gatal. Kemudian perlahan mendudukkan dirinya di lantai dengan kepala yang direbahkan ke tempat tidur Lucianna dengan sebelah tangan yang digunakan untuk menutup kedua matanya.

"Aku sudah bilang padamu hari itu kan? Aku tidak terkejut dengan kemampuanmu itu..." Ujar Rucarion mengingat kejadiannya dengan Lucianna di hutan waktu itu.

"Kau tidak terkejut atau menghindariku, atau bahkan takut padaku... karena kau juga punya kemampuan ini?" Tanya Lucianna sambil memainkan pusaran air di telapak tangannya.

"Tidak salah... tapi kau bisa beranggapan bahwa..."

"Aku sangat mengerti rasanya menjadi Recht yang cacat."

Kalimat yang dengan mudahnya terlontar dari Rucarion itu membuat Lucianna sedikit kebingungan.

"Cacat? Bukankah ini anugerah?" Tanya Lucianna memastikan analisa Rucarion yang dia anggap keliru.

"Karena wujudnya seperti anugerah dan terlihat sangat berguna... dulu beberapa spesies Recht yang memiliki kelainan semacam kau dan aku, diburu habis-habisan dan dibunuh." Ujar Rucarion mencoba menjelaskan.

"O-oh ya? Kenapa... mereka melakukan itu?" Tanya Lucianna mulai merinding mendengarnya.

"Karena... mereka dianggap keturunan Dionam." Ujar Rucarion sambil memainkan elemen apinya.

"Apa? Kenapa bisa mereka dianggap keturunan suku Dionam?!" Teriak Lucianna saking terkejutnya.

"Entahlah, aku tidak tahu pasti. Yang aku tahu hanya... jika kau punya bakat khusus, kelainan, anugerah, apapun itu. Diam saja." Ujar Rucarion dengan penuh penekanan. Dibalas dengan anggukan dari Lucianna.

"Lalu tuan Greene... maaf tapi, apakah tipe pembagian warna rambutmu itu... termasuk kelainan?" Tanya Lucianna ragu-ragu.

Tanpa jawaban, Rucarion berdiri dari posisi duduknya.

"Aku tidak perlu menceritakan semua hal privasi tentang diriku sendiri pada orang sepertimu sekarang juga kan?"

Lucianna berpikir sejenak kemudian mengangguk. "Kau benar, kesannya agak tidak sopan jika aku bertanya begitu. Maaf tuan Greene."

"Akan ada saatnya kau tahu sendiri. Dan, aku rasa kau tidak perlu memanggilku 'Tuan Greene' lagi mulai hari ini." Ujar pemuda yang terkenal arogan di mata Lucianna itu.

"Padahal aku baru memanggilnya seperti itu hari ini. Sebagai ungkapan balas budi aku rasa tidak sopan memanggilnya 'Pangeran Palsu' setelah apa yang dia lakukan hari ini."
Batin Lucianna dalam hati.

"Ke-kenapa kau menatapku seperti orang bodoh?! Panggil saja namaku! Tidak usah pura-pura dungu begitu!" Ujar Rucarion dengan emosi yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

"Ah... Baiklah Greene..." Jawab Lucianna dengan senyum kebingungan.

"Bukan... bukan nama keluargaku..." Ujar Rucarion menutupi wajahnya yang sangat memerah. Ini kali pertama dia mengucapkan hal seperti ini kepada seseorang. Terlebih seorang gadis.

"Kau boleh memanggil... namaku, Lucianna..." Ujar Rucarion memperjelas ultimatumnya.

"Berarti... aku harus memanggilmu Rucarion mulai sekarang?" Balas gadis biru itu dengan tatapan lugu andalannya.

"Ka-kapan kau mau memanggilku begitu terserah padamu saja! Kenapa kau harus bertanya begitu juga sih?!" Teriak Rucarion meluapkan emosinya. Lucianna tertawa lepas melihat ekspresi pemuda arogan itu yang sangat berbeda dari sebelumnya.

"Aku mengerti, Rucarion. Setidaknya kau tidak perlu menunggu sampai aku sekarat seperti kejadian hari ini baru kau mengizinkanku memanggil namamu." Ujar Lucianna sambil tertawa kecil.

"Ngomong-ngomong soal kejadian hari ini... Kau benar-benar tidak ingat apapun?" Tanya Rucarion memastikan memori Lucianna.

"Aku ingat beberapa potong dari pertempuran kecil di taman tadi, dan kurasa setelah itu aku tertidur setelah memakan manisan dari Irene?" Jawab Lucianna.

"Manisan? Oh... hanya itu?" Ujar Rucarion mencoba menyelidiki lebih jauh mengenai kekuatan misterius yang muncul dari dalam tubuh Lucianna tadi.

"Iya, ada apa memangnya? Apa yang terjadi selama aku tertidur?" Tanya Lucianna penasaran.

"Tidak, kau tidak perlu memikirkannya terlalu keras. Tapi... jika kau mengingatnya, kau bisa ceritakan hal itu padaku, kau mengerti?" Ujar Rucarion dengan tatapan tegas dan serius. Lucianna membalasnya dengan anggukan kepala.

"Kau terlihat ragu... ada yang mengganggu pikiranmu?" Tanya Rucarion, suaranya mulai melembut. Lucianna beranggapan bahwa sisi putih pemuda itulah yang sedang mengendalikan tubuh Rucarion. Dia memang terkesan seperti mempunyai kepribadian ganda.

"Apa aku bisa mempercayaimu?" Tanya Lucianna ragu-ragu. Rucarion yang mendengar pertanyaan itu hanya mengangkat kedua alisnya.

"Aku tidak bisa menjamin suatu hal besar seperti ini sepenuhnya padamu. Maksudku, aku ini juga Recht yang bisa saja bersalah sepertimu. Jadi aku rasa kau tidak perlu terlalu mempercayaiku untuk hal yang terlampau besar." Ujar Rucarion dengan tegas dan mantap.

"Tapi, biar kuberitahu. Aku bisa menjadi tempatmu bercerita sambil menangis atau apapun itu. Karena aku yakin, kau bisa mengandalkanku." Lanjutnya lagi.

Lucianna tersenyum kecil mendengarnya. Ya, bagi Lucianna yang merupakan putri bungsu di lingkungan keluarganya, dia sering mendengar ayah, ibu, dan kedua kakaknya bertemu dengan klien bisnis atau proyek mereka.

Dan Lucianna paling menyukai kalimat yang diucapkan kedua kakaknya, Leanra dan Leonro White. Kalimat itu mirip sekali dengan apa yang dikatakan oleh Rucarion tadi.

"Jangan memaksakan diri untuk terus percaya pada kami. Terutama untuk perkara yang besar dan beresiko tinggi seperti ini. Karena kami juga Recht yang bisa berbuat salah."

"Aku percaya padamu, Rucarion."
Ujar Lucianna sambil tersenyum.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang