51 - Pengakuan

727 77 8
                                    

Hening menyelimuti dua insan yang berada di dalam rumah pohon itu. Sudah satu jam berlalu sejak Lucianna meninggalkan ruangan Madame Wellifer. Gadis itu sekarang berada di ruangan yang hangat, berselimutkan dua lapis jubah yang masih setia menghangatkan tubuhnya, walaupun salah satu jubah yang dikenakannya itu bukan miliknya.

"Kau masih tidak mau mengatakannya?" ujar seorang pemuda di ruangan itu. Lucianna membuang muka, membersihkan bekas air mata di pipinya. Bibirnya tertutup rapat tanpa ada niatan untuk membuka.

Rucarion, pemuda itu menghela napas panjang. "Aku sebenarnya sudah tahu jawabanmu, kau tidak ingin melukai satupun Dionam dengan kekuatan yang kau dapatkan nanti," ujar pemuda itu merendahkan suaranya. "Sesulit itukah untukmu mengatakan 'tidak'?" lanjutnya.

Lucianna terbelalak mendengarnya. Setelah berpikir mengenai semua kemungkinan bagaimana Rucarion bisa mengetahuinya, Lucianna teringat bahwa teman sebangkunya itu pernah menanyakan hal yang serupa selepas sekolah tadi, tanpa sadar gadis itu membisikkan jawabannya.

Lucianna membuang muka, "Aku tidak bisa bilang," ujarnya. "Kau sendiri, kenapa kau bilang kau juga mengambil jurusan Dichornia?" tanya Lucianna mengalihkan pembicaraan, mengingat pemuda di hadapannya juga pernah mengatakan bahwa dia mengambil jurusan yang sama.

Rucarion menatap gadis itu sejenak, kemudian membuka suaranya. "Sebenarnya aku sudah tahu kalau kau mengambil jurusan Dichornia sejak awal, sebelum aku bertanya padamu di depan danau itu kemarin. Karena itu, waktu itu aku berani mengaku bahwa aku juga mengambil jurusan yang sama."

"Tapi setelah itu kau enggan memberitahuku alasanmu, kurasa pasti ada sesuatu," lanjutnya.

Lucianna memotong pembicaraan Rucarion sebelum pemuda itu sempat melanjutkan kalimatnya. "Kau bilang kau tahu karena kau membongkar data murid baru? Itu kan dilarang!" ujarnya dengan tajam.

Rucarion menatap gadis itu sinis. "Aku berbohong soal itu. Mana mungkin kulakukan hal semacam itu," ujarnya dengan tawa meremehkan.

"Saat kau melakukan tes masuk, aku bersembunyi di Congic Romata untuk percobaan ketigaku membunuh Daturn. Saat ujiannya selesai, aku berniat mengendap-endap dan menyerangnya saat sudah kembali menjadi vas bunga. Dalam keadaan seperti itu, makhluk itu menjadi lambat merespon sekitarnya. Itulah alasan pancuran airmu bisa mengenainya dengan mudah."

"Aku tidak sengaja, mendengarmu bertanya mengenai kemampuan makhluk mitologi mengendalikan elemen. Juga mengenai Daturn yang tiba-tiba membahas tentang Dichornia, padahal kau tidak menanyakan hal itu. Aku yakin, Daturn sebagai staff khusus akademi ini tahu tentang pilihan jurusanmu."

"Kurasa dia juga kenal keluargamu," lanjut Rucarion lagi. Kali ini membuat mata Lucianna membulat sempurna.

"Mana mungkin! Ini pertama kali aku bertemu bangsa mitologi sungguhan!" sangkal Lucianna. Tapi Rucarion hanya mengangkat bahu.

"Mana kutahu, aku bilang 'aku rasa' dia mengenal keluargamu," ujar pemuda bersurai belang itu menegaskan.

"Kemudian aku mau memastikan sendiri, jadi aku menanyakan hal itu di depan danau kemarin. Ternyata kau tanpa sadar mengangguk, tapi saat kutanyakan soal itu setelah persoalan dengan Arhola tadi, kau tidak ingat pengakuanmu kemarin, jadi aku berbohong dengan mengatakan bahwa aku mencuri datamu," jelas Rucarion panjang lebar.

"Kau terlalu transparan, mudah dibaca, banyak tindakanmu yang tidak kau sadari membuka semuanya," ujar pemuda itu tajam. "Itu sangat berbahaya, jangan buat gerak-gerikmu mudah dibaca oleh orang lain."

Lucianna memutar bola matanya malas, "Terserah, kau tidak menjawab pertanyaanku," ujarnya tajam.

Fire bender itu menghela napas panjang. "Aku mau menemukan seseorang yang hanya bisa kutemukan jika aku mempunyai gelar itu, itu saja yang bisa kukatakan padamu," jawab Rucarion sambil menatapnya, menandakan bahwa dia berbicara jujur.

Lucianna memiringkan kepalanya mencoba mencerna perkataan pemuda bersurai merah-putih di hadapannya itu. Akhirnya dia mengangguk mengerti, tanpa berniat bertanya lebih mengenai siapa yang ingin ditemuinya walau penasaran.

"Apa kau juga membenci Dionam?" tanya Lucianna hati-hati dengan kepala tertunduk. Dia tidak bisa apa-apa lagi. Rucarion sudah tahu terlalu banyak mengenai dirinya dan tujuannya menjadi Dichornia. "Jika kau membenci mereka-"

"Aku tidak pernah bilang bahwa aku membenci mereka," ujar Rucarion memotong kalimat Lucianna. "Kurasa tindakanku di kelas sejarah tadi sudah cukup menjadi bukti. Aku muak dengan permusuhan antar ras ini."

Lucianna mengangkat kepalanya, menatap tidak percaya pada pemuda di hadapannya saat ini. "Rucarion, kau... apa aku tidak salah dengar?" tanya Lucianna tidak percaya.

Rucarion menyunggingkan sebuah seringai. Seringaian yang membuatnya terlihat semakin tampan. "Ya, bodoh. Kau tidak salah dengar. Aku muak dengan permusuhan ini. Bayangkan jika Zenara bebas dari permusuhan. Pasti dunia ini tidak ada lagi yang namanya perbatasan, bayangkan seberapa luasnya dunia tanpa perbatasan itu..." ujar pemuda itu sambil beranjak dari sofanya dan berjalan ke arah jendela besar di belakang meja dapur, menatap langit galaksi yang luas.

Lucianna masih menatap tidak percaya. Selain kedua kakaknya yang mendukung mumpinya mewujudkan perdamaian, ternyata masih ada Recht yang juga menginginkan perdamaian. Gadis itu sendiri tidak menyangka, orang yang menginginkan perdamaian Zenara adalah pemuda yang dikiranya arogan dan egois yang sering membuatnya kesal sejak dia menjadi murid Gynx Academy, Rucarion Greene.

※※※

Sementara itu di kediaman keluarga White...

"Lean! Lihat! Ada surat untuk kita dari Gynx Academy!" ujar seorang pemuda bersurai hitam-kuning dengan iris topaz yang menghiasi wajahnya.

"Leon? Apa itu dari Lucy? Dia pasti menceritakan hari pertamanya," ujar seorang gadis berambut pirang-putih, yang dipanggil Lean. Gadis itu berjalan menghampiri pemuda itu.

Kedua kakak kembar Lucianna yang ditinggalkan oleh adik bungsu mereka, Leanra dan Leonro White sedang berada di ruang kerja. Dengan tidak sabar, mereka membuka surat yang dipegang Leonro.

Mereka tersenyum geli membaca baris pertama yang ditulis oleh adik kesayangan mereka. Tapi berubah menjadi sebuah tatapan tajam ketika membaca baris berikutnya, dan seterusnya, hingga akhir surat itu, mereka tidak lagi tersenyum.

"Leon, aku yakin kau ingat sesuatu kan?" ujar Leanra tanpa melepas pandangannya dari surat adiknya.

Leonro mengangguk dengan gugup. "Aku ingat dengan jelas..." ujarnya dengan suara bergetar. "Api..." lanjutnya lagi.

"Apakah Lucy... bertemu dengannya lagi?" ujar Leanra sambil menutup mulutnya.

"Lebih penting dari itu, apa Lucy masih ingin menjadi Dichornia? Aku tidak bisa membayangkan hidupku jika dia tewas di ujian akhir! Aku tidak ingin adik kita mewujudkan perdamaian Zenara! Tidak setelah apa yang pernah dilakukan bangsa barbar itu pada kita!" ujar Leonro frustrasi.

Sebuah tamparan mendarat mulus di wajah pemuda yang berstatus sebagai kakak laki-laki Lucianna itu. "Tutup mulutmu! Tidak akan kubiarkan Lucy mengikuti ujian akhir itu. Tidak akan kubiarkan adikku yang mewujudkan perdamaian Zenara, setelah apa yang dilakukan ras barbar itu pada keluarga kita," ujar Leanra dengan tatapan tajam.

Leanra memberikan tatapan tajam pada saudara kembarnya, "Jangan pernah beritahu Lucy tentang ini, aku tidak ingin kita menjadi penyebab dia harus menyerah pada mimpinya. Jika ucapan makhluk aneh itu benar, aku ingin dia menjadi Dichornia. Tapi bukan untuk mewujudkan perdamaian konyol itu, melainkan demi menunjukkan kehebatan keluarga White."

"Walaupun kita menentang perdamaian, kita harus bersikap seolah kita setuju pada Lucy dan mimpinya," ujar Leanra sambil kembali duduk di kursinya.

"Hanya saja, aku tidak pernah menyangka, dia juga ada di sana bersama adik kita," ujar Leanra sambil menatap surat di atas meja kerjanya. Leonro yang masih memegang bekas tamparan saudari kembarnya akhirnya mengangguk.

"Kebetulan yang mengerikan..."

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang