43 - Friends

732 75 0
                                    

Lucianna berlari ke arah kamar asramanya. Dia tahu waktu makan malam sudah tiba sejak tadi. Setidaknya dengan dia datang ke ruang makan saat ini, gadis itu masih bisa mengambil roti atau bahkan sandwich. Kemudian benar saja, Lucianna mengambil 2 bungkusan sandwich yang masih tersisa dan membawanya ke kamar.

Sesampainya Lucianna di kamar asramanya, gadis itu mendapati Roseanne yang tertidur di tempat tidurnya dengan keadaan masih berseragam.

Dengan hati-hati Lucianna meletakkan dua potong sandwich yang diambilnya tadi ke meja belajarnya dan menatap Roseanne, teman sekamarnya sekilas.

Gadis mungil itu berambut pendek imut berwarna coklat-putih, dan mengenakan kacamata berbingkai putih. Dibalut dengan seragam model 'sailor dress' berwarna putih dengan motif garis-garis hitam. Masih lengkap dengan stocking yang dikenakannya pagi ini.

Lucianna merapikan posisi tidur Rose dengan hati-hati. Kemudian segera duduk di kursi meja belajarnya dan mulai menulis surat lagi. Kali ini, Lucianna menceritakan mengenai hal-hal aneh yang terjadi padanya. Hari yang terasa sangat panjang. Mulai dari kesadarannya yang hilang, Rucarion yang tiba-tiba menjadi baik padanya, munculnya Scarlet Hart, dan liontin sebagai hadiah dari Mr. Dat padanya.

Lucianna menghabiskan tiga lembar kertas untuk mendeskripsikan hari keduanya bersekolah di sana. Ditambah satu paragraf yang menjelaskan bahwa dia baik-baik saja di akademi itu. Yang paling penting, dia berusaha meyakinkan bahwa dia merasa senang di sana.

Selesai menulis surat itu, seperti biasa, Lucianna memasukkan kertas suratnya ke dalam amplop, dan memasukkannya ke dalam kotak pos di luar kamar asramanya. Belum ada balasan dari rumahnya. Mungkin dikarenakan pengiriman pos yang lebih lambat dari luar Gynx Academy.

Lucianna-pun akhirnya kembali ke kamarnya dan mandi. Hal-hal yang terjadi hari ini sudah cukup membuatnya lelah. Gadis itu ingin segera tidur.

※※※

Sementara itu, di taman bagian barat Gynx Academy. Tampak sesosok pemuda bersurai belang di bagian kiri dan kanan, putih di bagian kanan dan merah di bagian kiri kepalanya. Ya, Rucarion Greene, sedang duduk di atas ayunan.

Tangan pemuda itu menggenggam erat sebuah jimat berbentuk pembatas buku dengan tatapan kosong. Seolah-olah bertanya pada dirinya sendiri tentang apa arti kehidupan.

"Kalau saja... aku tidak lupa padamu," ujarnya dengan senyum paksa. "Aku... aku tidak akan kebingungan saat ini... kenapa aku bisa di sini? Kenapa aku harus mencarinya? Kenapa aku harus mengatakan itu padanya? Kenapa aku harus mencari orang yang aku bahkan tidak tahu kenapa aku harus mencarinya?! Yang... yang bahkan aku tidak tahu siapa dia," ujarnya frustrasi sambil menatap kosong pada pembatas bukunya.

Seolah dia sedang bicara dengan Arhola miliknya.

"Sudah kuduga kau ada di sini," ujar sebuah suara berat diikuti oleh gemerisik rerumputan yang pasrah terinjak oleh sosok yang baru saja membelah kegelapan malam. "Apa yang sedang kau lakukan?"

Rucarion memicingkan matanya, hanya cahaya Elnos dan Heith, dua rembulan Zenara yang memberikan cahaya padanya. Malam ini tidak seperti malam biasanya yang dipenuhi kunang-kunang. Perlahan, cahaya itu mengenai sejumput rambut di atas kepala sosok itu. Menampilkan warna hitam sepekat malam, dan warna biru gelap.

Tidak perlu melihat dua kali bagi Rucarion untuk mengenali Recht di depannya sekarang.

"Mark, berengsek. Untuk apa kau ke sini?" ujarnya acuh. Mark yang telah disebut namanya tersenyum kecil.

"Sudah tidak ada gunanya lagi berlagak misterius," ujarnya sambil menyalakan lentera yang dibawanya. "Di sini gelap sekali. Untungnya api bisa menerangi sekitarnya. Tidak sulit menemukanmu."

Rucarion mendengus kesal, membiarkan Mark duduk di sampingnya dengan santai.

"Rose sudah tidur," ujar Mark membuka suara.

"Kau datang ke sini hanya untuk memberitahuku kesadaran bocah itu?" balas Rucarion dengan acuh.

"Setelah 'mereka' menghubunginya," lanjut Mark lagi. Kali ini Rucarion terdiam sejenak.

Melihat Rucarion yang ikut terdiam, Mark melanjutkan kalimatnya. "Mereka mau agar dia segera pulang, dan berhenti tinggal di asrama," ujarnya lagi. Rucarion masih menyimpan suaranya.

Mark menghela napas. "Memang ini bukan yang pertama kali, tapi... kali ini mereka mengancam akan berhenti membayar kita jika dia tidak pulang."

Rucarion diam-diam terbelalak mendengarnya. "Adikmu... bagaimana?" tanya pemuda fire-bender itu tidak percaya. Namun Mark menggelengkan kepalanya.

"Yang kukhawatirkan bukan Justin. Tapi Rose. Aku yakin dia akan merasa dibuang oleh kita," ujar Mark menjelaskan.

Rucarion mendengus pelan mendengarnya. "Baru setahun aku mengenalnya, dan aku sudah terjebak dalam hubungan aneh ini, apalagi kalian yang sudah mengenalnya bertahun-tahun?" ujarnya dengan datar.

"Rose... dia anak yang baik. Aku tidak menyalahkan dia karena pergi dari rumah, karena aku merasa itu wajar," ujar Mark. "Tapi dia benar-benar tidak pernah pulang sekalipun sejak dia tinggal di asrama."

"Itu bukan urusanku," ujar Rucarion sambil beranjak dari tempatnya, dan pergi meninggalkan Mark tanpa pamit.

Mark yang ditinggal sendiri hanya bisa menghela napas berat. Tapi seulas senyum tipis terpampang di wajah berkacamata miliknya.

"Sejak kapan kau tidak pernah mengurusi hal-hal yang 'bukan urusanmu'?"

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang