53 - Kode

676 70 11
                                    

Lucianna dan Rucarion akhirnya turun dari rumah pohon itu. Sesampainya mereka di bawah, Rucarion mengeluarkan tongkat sihirnya.

"Revittae," ujar pemuda itu sambil mengucapkan suatu mantra, yang kita ketahui sebagai mantra levitasi yang mengangkat semua benda dalam kendalinya melawan arah gravitasi. Lucianna sedang menggunakan itu untuk mengurangi berat jubah Rucarion padanya.

Mantra itu membuat tangga tali yang digunakan mereka untuk naik, melayang ke atas dan akhirnya disembunyikan oleh kanopi hutan itu.

"Kenapa kau memakai tangga? Kau bisa ke atas dengan revittae kan? Lebih tidak melelahkan," tanya Lucianna heran.

"Ayo, Rose seharusnya sudah selesai dengan kelas malamnya," ujar Rucarion mengacuhkan pertanyaan Lucianna dan berjalan santai ke luar hutan itu. Gadis biru itu mendengus kesal sebelum kemudian mengikuti Rucarion dari belakang.

Dalam perjalanan, Rucarion membuka suara. "Aku lupa, kau punya buku aslinya kan? Laet Zenara kre Mirtse," tanya Rucarion, Lucianna menggumam mengiyakan.

"Bawa itu ke tempatku, aku rasa akan ada suatu petunjuk yang tidak ada di buku kopian milikku," ujar pemuda bersurai belang itu, Lucianna membalasnya dengan sebuah anggukan.

"Kau jadi lebih diam?" tanya pemuda itu, Lucianna hanya mengacuhkannya, dan berjalan lebih cepat. Gedung asramanya sudah berada di depan mata, dengan gedung asrama putra di seberangnya.

Lucianna menaiki tangga menuju teras asrama putri, tapi kemudian berbalik menghadap Rucarion, tangga asrama berjasa dalam menyamakan tinggi dua Recht itu.

"Aku hampir lupa, ini jubahmu," ujar Lucianna sambil berusaha melepaskan jubah putih yang membungkus tubuhnya sejak tadi. Gadis itu tampak kesusahan membukanya. Karena terlalu fokus untuk melepaskan jubahnya, Lucianna tidak menyadari Rucarion menyunggingkan sebuah senyum tipis di wajahnya.

"Ini," ujar Lucianna sambil menyodorkan jubah putih milik Rucarion, menyisakan jubah biru muda yang masih setia menghangatkan dirinya. "Aku tidak tahu kenapa, tapi jubahmu lebih hangat dibanding milikku," lanjut gadis itu dengan tatapan datar.

"Karena kau pendek," jawab Rucarion seadanya. "Selamat malam, gadis gila," ujar Rucarion sebelum berjalan ke arah gedung asrama putra. Lebih tepatnya sebelum gadis itu mulai mengomel. Lucianna sendiri masuk ke dalam gedung asramanya, berniat merebahkan dirinya ke atas tempat tidurnya.

Lucianna mengganti pakaiannya dan menggantung jubahnya kembali, dengan langkah gontai gadis itu berjalan ke arah tempat tidurnya. Sejenak sebelum dia hampir merebahkan diri, Lucianna teringat pada buku yang diwariskan turun temurun di keluarganya. Harus diakui, Lucianna jarang membaca buku itu. Buku yang sering dibaca gadis itu di rumahnya dulu adalah buku-buku mengenai kumpulan mantra.

Dengan perasaan sedikit terpaksa, gadis itu mencari buku yang dimaksud oleh Rucarion di rak bukunya. Buku yang terbilang sangat berat itu cukup membuat Lucianna kewalahan jika harus mengangkatnya.

Sekilas, bukunya dan buku Rucarion tidak menunjukkan perbedaan yang mencolok, hanya saja buku miliknya terlihat jauh lebih tua dan usang.

Lucianna menyadari sebuah hal yang tertera di cover buku tua itu. Hal yang dia ingat tidak dimiliki oleh buku kopian milik Rucarion. Di buku miliknya, terdapat judul besar yang ditulis dengan tinta berwarna emas berkilauan. Karena buku Rucarion merupakan buku kopian, Lucianna memaklumi alasan cover buku itu ditulis dengan tinta biasa.

Tapi ada hal mengganjal yang mengganggunya. Karena cover buku itu terbuat dari hardcover yang dilapisi kulit, sudah sewajarnya jika buku itu memiliki pola guratan yang tidak beraturan ketika diraba. Tapi yang dirasakan Lucianna saat ini adalah adanya guratan-guratan yang terasa seperti sengaja diukir oleh benda tajam untuk meninggalkan jejak.

"Apa ini...?" ujar Lucianna pada dirinya sendiri sambil tetap meraba cover buku tua itu. "Simbol? Huruf? Ataukah... aksara?"

Lucianna meraih tongkat sihirnya, mengangkat buku itu dengan revittae miliknya, dan meletakkannya di atas meja belajarnya.

※※※

Sementara itu, di salah satu kamar di asrama putra, Rucarion terlihat berjalan santai ke arah tempat tidurnya, mendapati teman sekamarnya sedang mendengkur keras dengan keadaan tak berkacamata. Kacamata pemuda itu digantung di atas tempat tidurnya.

Suku Recht yang tidak memiliki daun telinga, memiliki kacamata yang didesain seperti kacamatamu yang kau gunakan untuk berenang di bumi. Yang jadi pembeda hanyalah, tali atau karet penyangga kacamata para Recht dibuat sedemikian rupa dari bahan yang tidak terlihat, dan tidak seterik kacamata renangmu. Dengan bingkai kacamata normal di duniamu.

Rucarion yang masih menggantungkan jubah putihnya di lengannya, meletakkan tongkat sihirnya di atas jubah itu.

"Reif rabx, orf"

Setelah mengucapkan mantranya, jubah miliknya kehilangan kemampuannya memancarkan kehangatan, kembali menjadi jubah biasa, yang tidak begitu hangat.

Rucarion menatap jendela balkonnya yang mengarah ke salah satu kamar asrama putri sambil tersenyum tipis. Kamar itu dihuni oleh Rose dan Lucianna.

※※※

Lucianna menjatuhkan pena miliknya, mendadak gadis itu menjadi gelagapan dan menoleh ke kanan dan kiri. Jarum jam sudah menunjukkan angka 9, dan Rose masih belum pulang dari kelas malamnya, dengan gemetar Lucianna mengambil lembaran kertas yang sedari tadi dicorat-coretnya.

Bentuk ukiran yang aneh itu jelas sekali merupakan sebuah kode, dalam aksara Zena. Karena diukir dengan hati-hati, ukiran itu tidak bisa diterawang, satu-satunya cara bagi Lucianna untuk mengetahui hal itu hanyalah dengan merabanya, kemudian menginterpretasikan hal itu ke kertas untuk mengetahui apa itu.

Guratan bahan dan ukiran yang terasa mirip, membuat gadis itu kesusahan pada awalnya, tapi dengan mencocokkan hal itu dengan daftar aksara Zena yang dia kuasai, meringankan sedikit bebannya.

Lucianna meneguk ludahnya, membaca sekali lagi apa yang baru saja berhasil dia pecahkan.

"Magtera Roranta"

Gadis itu sudah memeriksanya berkali-kali, tapi aksara yang muncul selalu sama. Selalu membentuk rentetan huruf berbunyi 'Magtera Roranta' yang gadis itu sendiri tidak tahu apa artinya.

"Apa ini? Bahasa Zena? Aku tidak pernah mendengarnya..." ujar Lucianna masih terkejut. Kemudian secara tiba-tiba, pintu dibuka oleh angin kencang, dan menampilkan seorang gadis berambut pendek berwarna coklat-putih dengan kacamata berbingkai abu-abu. Rose sudah pulang. Tanpa mengucapkan salam, gadis itu langsung membaringkan dirinya ke atas tempat tidur dan mulai mendengkur.

Lucianna yang terperangah memutuskan bahwa ini saatnya untuk beristirahat. Dengan cekatan gadis itu menyelipkan kertas coretannya ke dalam buku tua itu dan menyimpannya kembali ke dalam rak. Tidak lupa gadis itu meredupkan lentera penerangan di kamarnya sebelum meringkuk ke dalam tempat tidur.

Hari yang benar-benar panjang...

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang