49 - Malam

762 85 6
                                    

Lucianna dan Rucarion akhirnya duduk di tepi danau indah itu. Lucianna yang sudah lelah memuji keindahan itu kini diam saja. Gadis itu menikmati indahnya pemandangan malam ini dengan kedua mata sapphire miliknya. Kedua tangannya dia gunakan untuk menopang dagunya.

Rucarion yang sedari tadi menatap kosong ke arah danau berusaha untuk menguasai pikirannya kembali. Tidak bisa dipercaya bahwa dia bertindak seperti tadi. Sungguh tidak mencerminkan karakter seorang Rucarion Greene.

"Hei, Rucarion," Lucianna membuka suara yang memecah keheningan di antara mereka.

"Hmm?" jawab Rucarion tanpa membuka mulutnya, namun sedikit menolehkan kepalanya untuk menatap gadis biru itu.

"Kau selalu ke sini setiap malam?" tanya gadis itu merendahkan kepalanya.

Rucarion membuang muka, berusaha menyembunyikan pikirannya yang kacau saat ini. "Kadang..." jawab pemuda itu seadanya.

"Sendirian?" tanya Lucianna lagi.

Rucarion hanya mengangguk sambil menatap danau di depannya.

Lucianna mengangguk ragu, "Tapi untuk apa kau ke sini?" tanya gadis itu kemudian.

"Aku butuh waktu sendiri sewaktu-waktu," jawab Rucarion seadanya.

"Tapi di tempat seperti ini... apa kau tidak merasa... dingin?" ujar Lucianna merapatkan jubahnya.

Sebuah seringai sombong dan tatapan merendahkan Rucarion mengarah ke gadis biru yang berada di sampingnya. "Aku fire bender, jelas saja aku bisa menghangatkan tubuh-" ucapan Rucarion terpotong oleh Lucianna.

"Haciiih!"

Suara bersin Lucianna yang halus menggema ke segala penjuru danau dan menghilang. Gadis itu buru-buru membersihkan bagian hidung dan mulutnya, dan memberi sebuah cengiran ke arah Rucarion.

"Aku tidak tahan dingin..." ujarnya malu-malu.

Rucarion awalnya terkejut dengan Lucianna yang tiba-tiba saja bersin. Ditambah lagi suara hidungnya yang berair cukup membuktikan bahwa suhu di sana terlalu dingin untuk gadis itu.

"Dasar bodoh..." ujar Rucarion sambil beranjak dari tempat duduknya. Dengan gerakan kecil, pemuda itu melepaskan mantel jubahnya dan meletakkannya di atas kepala Lucianna.

"Pakai itu dulu, aku bukan pembunuh," ujar Rucarion dengan tatapan tegas. Lucianna menatap pemuda itu dengan tatapan terbelalak. Tapi dengan patuh gadis itu meraih jubah putih yang berukuran lebih besar dari tubuhnya, dan membungkus tubuhnya dengan benda itu.

"Hangat..." lirih gadis itu.

Sementara Lucianna berusaha mengenakan jubahnya, Rucarion berjalan ke bawah pohon yang paling besar dan paling kokoh di sana. Kemudian berjongkok dan meraih sesuatu di bagian akar pohon itu.

Sebuah tali, setelah menemukannya, Rucarion menarik benda itu dan detik itu juga sebuah tangga tali terlempar turun. Lucianna yang mendengar suara gemerisik dan suara benturan ringan antar kayu, menoleh ke belakang. Betapa terkejutnya gadis itu ketika melihat ada jalan ke atas dari hutan yang terkenal sangat rindang dan angker itu.

"Kau, naiklah," ujar Rucarion sambil menahan tangga tali itu. Lucianna yang sekarang mengenakan 2 lapis jubah, ditambah lagi jubah Rucarion lebih berat dan panjang dibandingkan jubahnya, tampak kesusahan saat berjalan, apalagi ketika harus menaiki tangga itu nanti.

Rucarion menahan tawanya melihat Lucianna yang tampak seperti tertelan oleh jubahnya. Wajar saja, Lucianna yang memiliki tinggi 155 cm mengenakan jubah Rucarion yang tingginya 177 cm. Bukan perbandingan panjang jubah yang cocok.

"Kembalikan jubahku, lalu naiklah," ujar Rucarion hendak melepas jubah putih miliknya dari Lucianna.

Sesaat sebelum Rucarion berhasil meraih jubahnya, Lucianna menepis lengan pemuda itu. "Aku terlihat konyol dengan ini?" tanya gadis biru itu sambil menunduk. "Revittae!"

Beberapa detik setelah gadis itu mengucapkan mantranya, jubah Rucarion dan jubah miliknya terlihat seperti kehilangan kemampuan mereka untuk mengikuti gravitasi. Ujung jubah yang seharusnya jatuh ke bawah mengenai tanah, dibuat melayang ke segala arah.

"Tangga sebanyak itu hanya akan membuatku kelelahan, tapi karena kau sudah menurunkan tangga, aku akan menaikinya," ujar Lucianna sambil menghampiri tangga tali itu.

"Tapi kenapa kau tidak menggunakan revittae saja? Kenapa membuat tangga?" tanya gadis itu penasaran.

Rucarion yang masih membatu di tempatnya mendadak tersadar, dan ikut berjalan ke arah tangga tali itu. "Hanya ingin," ujarnya singkat sambil mulai menaiki tangga tali itu.

Lucianna mendengus dengan senyum mengejek, "Jangan bilang kau lupa bahwa kau seorang Recht yang bisa memakai mantra untuk terbang dan sejenisnya-Hei! Kenapa kau naik duluan, dasar tidak punya sopan santun!" teriak Lucianna begitu menyadari Rucarion sudah seperempat jalan.

Rucarion menengok ke bawah dengan tatapan merendahkan. "Seharusnya kau bilang aku ini pria dengan sopan santun yang tinggi karena tidak mencuri kesempatan dengan membiarkanmu naik duluan," balas pemuda itu dengan angkuh, dan melanjutkan jalannya.

Lucianna mendecih dan tertawa mengejek. Sebelum tiba-tiba angin berhembus sepoi-sepoi, menyadarkan gadis itu bahwa dia mengenakan rok sebagai bawahannya. Wajah Lucianna berubah menjadi merah padam, kemudian bergegas menyusul Rucarion, seorang pemuda arogan, tapi diakuinya penuh sopan santun.

Sesampainya Lucianna di ujung tangga tali,  Rucarion membantu gadis itu untuk naik ke teras rumah pohonnya. Lucianna takjub melihat sekelilingnya yang terang karena adanya lentera. Kanopi hutan itu berhasil menutupi pendaran cahaya di tengah hutan itu, sehingga tidak ada yang menyadarinya.

Rucarion membuka pintu rumah pohon itu, Lucianna secara otomatis masuk ke dalamnya. Ruangan yang sederhana dan hangat. Cukup luas walau hanya diisi oleh dinding rak buku, beberapa rak buku tambahan, meja dapur panjang yang sangat sederhana, dua sofa antik, beserta sebuah meja berukuran sedang. Tentu saja rumah pohon itu dipenuhi oleh buku dan beberapa lentera. Jendela besar terpampang di samping pintu masuk, dan di belakang meja dapur. Beberapa jenis bunga dalam pot digantung di langit-langit ruangan itu.

"Di dalam sini hangat dan desainnya manis..." komentar Lucianna setelah selesai mengagumi keindahan tempat itu. Rucarion tersenyum bangga mendengarnya. "Selamat datang di ruangan rahasiaku. Selamat sudah menjadi orang kedua yang kuajak ke sini."

Lucianna menoleh, "Orang kedua? Siapa yang pertama?" tanya gadis itu penasaran.

Rucarion berjalan ke arah meja dapur, mengacuhkan pertanyaan Lucianna. Dengan cekatan dia mengambil poci teh dan mencari sesuatu di dalam laci meja dapur.

"Aku tidak punya banyak, kau suka teh rosemary? Kudengar ini populer di kalangan wanita," ujar Rucarion sambil membongkar laci mejanya.

Lucianna menaikkan salah satu alisnya, "Kau punya chamomile?" tanya gadis itu hati-hati. Rucarion kembali menggali lacinya yang tampaknya dipenuhi oleh bungkusan berbagai macam teh.

"Ya, ada," ujarnya singkat. "Sekarang giliranmu membantuku," ujar Rucarion sambil melemparkan poci teh keramik di tangannya pada Lucianna. Gadis itu terkejut setengah mati dan refleks menangkapnya.

Gadis itu mendengus kesal, "Apa maksudmu melemparkan ini padaku? Bagaimana kalau sampai pecah?!" omel Lucianna dengan nada tinggi.

Rucarion menutup telinganya dengan wajah terganggu, "Kau water bender, bergunalah kali ini," ujarnya sambil membuka bungkusan chamomile yang akan diseduhnya.

"Isi pot itu dengan air."

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang