24 - Kesalahpahaman

1K 84 2
                                    

"Tuan, bagaimana?"
"Apa-apaan pertanyaanmu itu? Jelas, serang dia!"

※※※

Xavier berlari menelusuri lorong demi lorong. Tidak peduli dengan kesehatannya yang belum pulih sepenuhnya. Dia mencari Irene. Entah bagaimana, dia punya firasat bahwa Irene mendengar percakapannya dengan Lucianna, dan hal itu memicu kesalahpahaman.

Xavier menelusuri setiap kelas, koridor, tidak terkecuali bawah tanah. Akhirnya Xavier berhasil menemukan Irene sedang duduk di bawah air mancur. Sedang menangis.

Dengan seulas senyum hangat, Xavier mendekati Irene dengan langkah ringan dan perlahan. Dengan memasukkan tangan ke dalam saku celananya, sebagaimana kebiasaannya.

"Irene..." panggil pemuda itu lembut. Irene hanya menoleh sambil segera menghapus air matanya.

"Ada apa?" Ujar Irene, tidak menghadap kearah Xavier. Dengan langkah cepat, Xavier mengambil tempat duduk di samping Irene, dan mendekatkan posisi tubuh mereka.

"Kau lupa memasukkan cokelat ke dalam manisannya, lagi." Ujar Xavier tersenyum. Tapi Irene mengacuhkannya.

"Manisan akan lebih enak kalau dicampur dengan cokelat, madu, dan selai..." ujar Xavier lagi, sambil menengadah menatap langit biru cerah yang indah. Namun Irene masih terus mengacuhkannya.

"Ditambah segelas susu..." ujar Xavier hampir pasrah. Namun saat itu juga, amarah Irene meledak.

"Xavier! Apa kau sudah gila? Sidah kubilang berkali-kali kalau kau tidak boleh makan semua itu! Kau bisa saja sakit nanti! Apalagi kau baru saja..." ucapan Irene terpotong, "Aku tahu..." ujar Xavier dengan senyum kecil.

Irene terdiam, dia baru sadar atas kesalahannya. Sedetik kemudian, sebuah tangan merangkul tubuhnya. Kaget, namun Irene sudah tahu itu Xavier.

"Irene... Kau marah padaku? Kenapa? Ayo ceritakan..." Ujar Xavier lembut, sambil mengacak surai hitam-hijau gadis itu.

"Jangan sentuh aku Vier!!" Teriak Irene sambil menepis lengan Xavier dengan kasar. "Aku tidak mau menjadi penghalang antar kau dan Lucianna!" Teriak gadis itu lagi, menyembunyikan wajahnya.

Xavier menghela napasnya lega dengan seulas senyuman yang tetap menghias wajahnya. Setidaknya dia sudah tahu alasan gadis ini menangis.

"Lucianna? Dia gadis yang baik..." ujar Xavier sambil menatap langit biru, yang bertolak belakang dengan warna irisnya.

"Sudah kubilang... tinggalkan aku sendiri Vier... aku tidak mau tahu apapun." Ujar Irene semakin menundukan kepalanya.

Lengan Xavier kembali membelai kepala gadis itu. "Irene, aku dan Lucianna... kami berdua tidak ada hubungan apa-apa... jadi berhenti menangis, mengerti?" Ujarnya lembut.

Irene terbelalak, perlahan dia mendongakkan kepalanya, menatap manik topaz milik Xavier. Dan tidak menemukan setitik kebohongan pun di sana.

"Kau... tidak berbohong kan?" Ujar Irene. Dibalas oleh anggukan kepala Xavier. "Tidak, aku tidak berbohong." Ujar pemuda itu dengan senyuman khas miliknya. Irene kembali menundukkan kepalanya.

"Aku terlihat sangat konyol dan menyedihkan." ujar Irene kemudian sambil menutupi wajahnya. Xavier tertawa kecil. "Kau tetap terlihat manis untukku..." ujarnya berbisik. Tidak terdengar oleh gadis itu.

"Hei, Irene... dengarkan aku." Ujar Xavier kemudian. Irene menoleh dan menatap pemuda itu dengan tatapan bingung.

'Ctak'

Sebuah jitakan mendarat mulus di kening Irene. Membuat gadis itu meringis kesal. Sementara pelakunya? Hanya terus menatapnya dengan senyuman yang tak dapat dideskripsikan.

"Lain kali, kalau kau sedang menguping, maka mengupinglah sampai selesai. Atau tunggulah sampai kau mengerti apa maksudnya. Jangan setengah-setengah begini."

Kalimat panjang itu selesai terucap dari mulut Xavier. Irene merasa sangat malu dan bersalah. Karena ketahuan menguping dan telah menimbulkan kesalahpahaman antara mereka bertiga.

Xavier kembali mengacak rambut gadis itu. "Tidak apa-apa... jadikan ini pelajaranmu. Jangan diulangi lagi. Mengerti?" Ujarnya tegas. Irene langsung mengangguk tanpa pikir panjang.

"Wah, wah... kukira siapa yang berani berduaan di jam segini... ternyata hanya kalian berdua." Ujar sebuah suara, yang tiba-tiba saja muncul di samping mereka.

"Ru-Rucarion?" Ujar Xavier terbata-bata. "Apa maumu datang ke sini? Dasar!" Ujarnya kesal. Rucarion, dengan ekspresinya yang selalu datar itu melangkah mendekat dengan santai.

"Membolos, bukan hal yang mengejutkan untukku. Tapi kalian berdua? Rela membolos pelajaran hanya untuk menghabiskan waktu berdua?" Ujar Rucarion panjang lebar.

"Kalian berdua ada hubungan apa?" Tanya Rucarion lagi. Kesal karena tidak dianggap oleh dua sejoli di hadapannya ini. Tidak ada jawaban.

"Kalian berdua sudah memasuki fase Ralvanse?" Ujar Rucarion dengan wajah tanpa dosa. Dan kalimat itu sukses membuat dua Recht di hadapannya itu melemparnya dengan batu.

"Tidak usah sembarangan bicara!" Teriak Xavier dengan wajah memerah. "Jaga ucapanmu itu, bodoh!" Ujarnya lagi.

Rucarion menghela napas. "Bukankah wajar jika kau memasuki fase Ralvanse? Umurmu sudah cukup untuk itu bukan? Kalau aku sih, mewajarkan saja." Ujar Rucarion dengan santai.

Ralvanse adalah fase dimana dua Recht yang berbeda jenis kelamin mulai menemukan perasaan yang berbeda satu sama lain. Fase ini pasti dilalui, tapi untuk kapan dimulai, tergantung masing-masing Recht.

Rucarion merasakan hal yang aneh. Dilihatnya baik-baik Recht di depannya. Hanya ada 2 orang.

"Hei... kalian..." ujar Rucarion dengan ekspresi sedikit panik. "Namaku Xavier, dan dia Irene. Sebut saja nama kami!" Ujar Xavier kesal karena Rucarion terkesan lupa dengan nama mereka.

"Ya, terserah!" Bentak Rucarion menahan amarah. "Hei, dimana gadis gila itu? Bukankah kalian selalu bersama dengannya?" Ujarnya kemudian.

Xavier ber-oh ria di belakang Rucarion. "Oh, Lucianna? Dia masih di UKS. Aku meninggalkannya sendiri tadi. Aku mengejar Irene..." ucapan Xavier terpotong.

"DASAR BODOH!!" Geram Rucarion membanting Xavier ke tanah dan mendaratkan beberapa pukulan di wajahnya. "KENAPA KAU MENINGGALKAN GADIS ITU SENDIRI DI SANA?! KAU INGIN DIA MATI?!" Raung Rucarion sambil terus memukuli Xavier.

Tiba-tiba puluhan sulur datang dan menahan tangan Rucarion. Rucarion sudah tahu, itu elemen dari Irene. Dan seperti dugaannya pula, gadis itu meneteskan air matanya.

"Rucarion! Cukup! Kau apakan Xavier?! APA SALAHNYA?!" Jerit Irene di sela-sela aksinya. Walau sudah ditahan, kekuatan Rucarion tetap melebihi rata-rata Recht biasanya. Irene kembali menangis.

'Sheeshh...'

Rucarion menggunakan elemennya untuk membakar sulur yang menahan tangannya. "KAU LEBIH MEMENTINGKAN PERASAAN GADIS BISU INI DARIPADA NYAWA ORANG LAIN?!" Raung Rucarion kembali memukuli wajah Xavier. "KAU SAMPAH!"

Xavier berniat membalas, tapi dia tahu hal itu tidak ada artinya. Percuma menghabiskan energi untuk melawan Rucarion yang sudah berapi-api diamuk amarah ini. Karena pasti dia akan kalah.

Puluhan sulur kembali mengikat Rucarion. Kesempatan ini digunakan Xavier untuk melepaskan diri dari kunciannya. Dengan beberapa rintihan, napas tersengal dan tubuh penuh luka, setidaknya dia selamat, Rucarion tidak membunuhnya.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang