46 - Ke Luar

708 67 2
                                    

Sepeninggalan Mark, pertikaian mereka berdua perlahan-lahan memadam.

"Rindu dengan kakakmu? Hanya itu?" cibir Rucarion dengan tatapan merendahkan.

"Ya, hanya itu alasan kenapa aku menangis. Hanya itu, HANYA ITU!" bentak Lucianna berkali-kali memberi penekanan pada prosa 'hanya itu.'

"Kau hanya belum terbiasa, lama kelamaan kau juga akan terbiasa, semakin sibuk, semakin jarang menulis surat," balas Rucarion membelakangi tiang pembatas balkonnya. Mata odd-eye miliknya menerawang ke langit-langit balkonnya yang diterangi oleh sebuah lentera.

Lucianna menumpukan dagunya ke atas tangannya sambil mengagumi keindahan langit malam Zenara yang terlihat dari balkonnya. "Aku akan pastikan aku tidak akan melakukan itu," ujarnya mantap. Tanpa disadari, Rucarion membentuk sebuah senyuman di wajahnya, tidak bisa dilihat oleh Lucianna karena pemuda itu berdiri membelakanginya.

"Kau yakin?" tanya Rucarion lagi. "Kau mungkin tidak akan sempat lagi bahkan hanya untuk memikirkan mereka. Pendidikan Dichornia itu berat. Percayalah."

"Kau tidak punya perasaan. Mana mungkin kau mengerti perasaan rindu seperti yang kurasakan?" balas Lucianna ketus dengan nada kesal.

Rucarion mendadak menjadi diam untuk beberapa saat. Meninggalkan Lucianna mengomel-ngomel sendiri. Sampai di suatu titik, Lucianna menyadari ada yang salah.

"Hei, bodoh, kau baik-baik saja?" tanya gadis itu dengan sedikit khawatir yang disembunyikan dengan rasa angkuh. "Kau tidak kedinginan hanya karena ini kan?" Lucianna menatap Rucarion yang hanya keluar dengan kaus merah pudar tipis berlengan dan celana putih selutut.

"Ah, aku melamun. Omelanmu sudah selesai? Aku bosan sekali mendengarnya," tanya Rucarion tanpa mengubah posisinya. Sebelum Lucianna sempat kesal, Rucarion sudah memotongnya.

"Sudahlah, lebih baik kau kembali ke dalam, dan bangunkan bocah itu. Seingatku dia masih ada kelas malam untuk hari ini," ujar Rucarion sambil berjalan masuk ke kamarnya, meninggalkan Lucianna sendirian ditemani cahaya lentera dari bawah dan atas balkonnya.

Rucarion yang sudah masuk ke dalam kamar, menutup pintu balkonnya. Dia berjalan ke arah tempat tidurnya dan kembali berbaring. Sedikit melirik ke arah jendela samping tempat tidurnya, dia melihat Lucianna kembali masuk ke dalam kamarnya.

Di kamar asramanya saat ini hanya terdengar suara detik jam dinding dan aliran air dari kamar mandi Mark. Menandakan pemuda itu masih belum selesai membersihkan dirinya.

Tetapi kalimat balasan dari gadis itu terus terngiang-ngiang di dalam kepalanya.

"Kau tidak punya perasaan. Mana mungkin kau mengerti perasaan rindu seperti yang kurasakan?"

"Ya, gadis bodoh.... Aku tidak mengerti perasaan rindu milikmu. Aku tidak mengerti kenapa kau menyebutnya 'rindu' Mark dan bocah-bocah itu juga sama saja." lirih Rucarion pada dirinya sendiri.

"Kenapa kalian menyebut itu dengan kata 'rindu' padahal... padahal kalian masih bisa bertemu dengan orang-orang itu," lirihnya lagi dengan tatapan sedih.

"Kakak sangat merindukanmu..."

※※※

Lucianna yang sudah menutup pintu balkonnya, berjalan pelan ke arah teman sekamarnya, Roseanne yang sedang tertidur pulas sambil memegang texnegear miliknya. Bekas air mata di sekitar pipinya sudah mulai mengering. Perlahan, Lucianna mengguncang lembut tubuh gadis itu.

"Rose... bangunlah," bisik Lucianna sambil tetap mengguncang tubuh mungil Rose. Gadis berambut pendek itu membuka sedikit matanya yang masih sembab.

"Lucy..." lirihnya pelan. "Jam berapa sekarang?" Lanjutnya lagi sambil menatap langit-langit yang diterangi sebuah lentera.

Lucianna menatap gadis itu sendu, "Masih belum jam 7, bersiap-siaplah dulu, kau ada kelas malam kan?" ujarnya lembut. Rose duduk di tempat tidurnya sambil mengusap matanya pelan. Rambut pendeknya tampak mengembang seolah mengisyaratkan kepada dunia bahwa gadis itu baru saja terbangun.

"Kau mau aku merapikan rambutmu?" tanya Lucianna hati-hati. Tapi pertanyaan gadis itu hanya dijawab dengan gelengan oleh pemilik surai coklat-putih itu.

"Aku memotong pendek rambutku, agar aku bisa mengurusnya sendiri. Tidak apa-apa," tolak Rose dengan halus. Lucianna mengangguk, dia mengerti Rose tidak suka membebani orang lain karena dirinya.

"Kau sudah pakai piyama? Sayang sekali..." ujar Rose dengan nada ceria. "Padahal jam segini banyak hal-hal bagus di sekitar kompleks akademi! Lucy, cobalah keluar waktu malam hari. Jangan hanya membaca terus..." lanjut gadis muda itu cekikikan.

Lucianna yang merasa tertohok dengan kalimat terakhir Rose menyunggingkan senyum kecil, kemudian mengambil tongkat miliknya. Dengan sebuah sentuhan di atas dadanya, pakaian lengan panjang Lucianna berubah menjadi sweater turtleneck berwarna biru muda, dengan bawahan rok sederhana berwarna putih.

Rose yang sudah selesai mencuci muka dan merapikan rambutnya menoleh ke belakang untuk memastikan waktu. Tapi pandangannya teralihkan oleh Lucianna yang berdiri di hadapannya dengan pakaian yang sungguh berbeda dari seragam dan piyama yang selama ini dikenakan olehnya.

Sederhana, tapi memunculkan kesan elegan dan cantik.

"Aku sudah selesai, tempat apa yang kau rekomendasikan?" ujar Lucianna sambil tertawa kecil setelah menyadari Rose menatapnya tanpa berkedip.

"Kau cantik, Lucy. Sangat cantik," ujar Rose sambil tersenyum manis. Lucianna hanya tersipu sambil menggaruk bagian tengkuknya yang tidak gatal. Pipinya sedikit merona. Selama ini, selain kedua kakaknya, tidak ada yang pernah memujinya seperti itu.

"Ini jubahmu, kita turun sekarang," Rose menyodorkan jubah berwarna biru langit kepada Lucianna. Setelah memastikan bahwa teman sekamarnya sudah selesai memakainya, Rose meraih tangan Lucianna dan mereka berjalan beriringan menuruni tangga asrama.

Sesaat setelah mereka sampai di pintu depan asrama putri, seorang Recht perempuan berusia paruh baya tampak sedang menyapu halaman depan.

"Madame Wellifer!" pekik Rose dengan ceria sambil berlari kecil ke arah wanita itu. Lucianna hanya bisa menggeleng melihat tingkah Rose dan mengikutinya dari belakang.

"Suara ini... Niss Parkson?" ujar Madame Wellifer sambil menoleh ke arah Rose, dan menahan tubuhnya dari tubrukan tubuh mungil gadis muda itu.

"Madame, aku sudah bilang... Madame boleh memanggilku 'Rose' saja..." ujar Rose sambil memeluk pinggang wanita di hadapannya itu.

Panggilan 'Madame' adalah panggilan khusus di Zenara. Biasanya digunakan untuk memanggil wanita yang sudah berumur dan merupakan orang dengan pengaruh tinggi seperti pengajar, atau orang yang dihormati. Lawannya adalah 'Sire' untuk kaum pria.

"Lucy! Aku akan memperkenalkanmu dengan sosok yang dihormati di asrama ini dan seluruh Gynx Academy. Madame Wellifer!" ujar Rose bersemangat. Madame Wellifer tersenyum dengan tatapan teduh yang masih mengarah ke Rose.

"Shalve, Madame Wellifer..." ujar Lucianna sambil membungkuk. Madame Wellifer tersenyum lembut ke arah Lucianna. "Shalve, kau anak baru itu kan? Mendengar gaya bicaramu, sepertinya kamu dari keluarga politik." tanya Madame Wellifer lembut ke arah Lucianna. Perlahan Rose melepas pelukannya.

"Aku ingat pernah mengantarmu ke kamar Rose 2 hari yang lalu," lanjut wanita paruh baya itu.

Lucianna menatap wanita di hadapannya dengan seksama. Rambut berwarna abu-abu-putih yang disanggul dengan baik. Lucianna yakin dulunya rambut wanita di hadapannya saat ini berwarna hitam pekat. Iris berwarna putih keabu-abuan, kulit wajah yang penuh kerutan usia, dengan menggunakan busana tradisional yang membuatnya tetap terlihat menawan.

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang