58 - Perpustakaan

543 60 7
                                    

"Tidak ada!" geraman frustrasi seorang gadis menggema di seluruh perpustakaan, memancing semua Recht yang berada di sana untuk memberikan tatapan mematikan besiratkan perintah untuk diam. Mendapat perlakuan demikian, gadis itu menunduk dengan sebuah cengiran.

Aroma buku-buku tua yang bercampur dengan pengharum ruangan perlahan menenangkan kembali gadis itu. Membuatnya kembali fokus dengan bacaannya saat ini.

"Kamus bahasa Zena"

"Rucarion, kau menemukan sesuatu?" bisik gadis itu sepelan mungkin, sambil menyembunyikan wajahnya dengan kamus besar di tangannya.

Pemuda yang dipanggilnya tidak merespon dengan hal yang berarti, membuat sang gadis menghela napas panjang. Dengan malas, gadis itu kembali membolak-balik halaman buku itu.

Sekian lama mereka berkutat dengan buku itu, sang pemuda akhirnya menyerah dan menutup bukunya.

"Cianna, kita kembali saja," ujar pemuda itu tanpa menatap gadis di depannya. Tangannya cekatan membereskan buku-buku yang berserakan di atas mejanya. "Tidak ada gunanya mencari ini sekarang."

Lucianna, nama gadis itu, akhirnya mengangguk dan membantu pemuda di hadapannya membereskan buku-buku yang berserakan. Namun tiba-tiba saja gadis itu teringat akan sesuatu, dan spontan menghentikan aktivitasnya.

"Rucarion, kau... barusan memanggilku apa?" tanya gadis itu terbata-bata. Rucarion menatap gadis itu heran, tapi tidak berniat mengelak dari pertanyaannya. "Cianna. Kenapa? Kau yang menyuruhku untuk memanggilmu dengan namamu," ujar pemuda itu sambil mengangkat buku-buku itu dan berjalan ke arah rak.

Lucianna bergerak menyusul pemuda itu dengan beberapa buku di tangannya. "Bukan itu maksudku. Kenapa dari banyak jenis panggilan nama untukku, kau harus memanggilku dengan 'Cianna'?" tanya gadis itu sambil menyusun buku-buku di rak.

Rucarion yang sudah selesai dengan kegiatannya, menatap gadis itu heran. "Berapa banyak jenis?" tanya pemuda itu dengan sebelah alis terangkat.

Lucianna menarik napasnya panjang sebelum kemudian mengucapkan sebuah kalimat. "Lucy, dipakai oleh sebagian besar Recht yang kukenal. Anna, dipakai oleh orang tuaku. Lucianna, untuk siapapun yang berniat tidak memanggilku dengan formal," ujar gadis itu dalam sekali tarikan napas.

"Jadi, kenapa kau memanggilku begitu?" tanya gadis itu serius. Rucarion menatap mata biru gelap di hadapannya sejenak, kemudian menghela napas berat.

"Pertama, nama panggilanmu tidak cocok dengan lidahku. Aku tidak mau memanggilmu Anna, apalagi Lucy, sama sekali bukan gayaku. Kedua, nama depanmu terlalu panjang untuk kusebutkan dengan cepat. Ketiga, terserah padaku mau memanggilmu seperti apa," ujar sang pemuda dengan nada kesal. "Memangnya apa yang aneh dari itu?"

Lucianna mematung sejenak, mengingat kembali mimpinya tadi pagi yang diakhiri dengan sesuatu yang aneh baginya.

"Tadi pagi aku bermimpi..." gadis itu menggantungkan kalimatnya, kemudian memastikan sekelilingnya aman sebelum melanjutkan perkataannya. "Dionam menyerang kotaku saat aku masih sangat kecil. Sebelum kedua kakakku pergi membantu mengamankan keadaan, mereka menyuruhku bersembunyi. Tapi kelihatannya ada Recht lain yang ada di sana bersamaku. Dia memanggilku persis seperti kau memanggilku."

Rucarion menyimak cerita gadis di hadapannya dengan baik, sambil mengangguk-anggukkan kepalanya. "Dia juga memanggilmu Cianna? Seperti aku tadi?" tanya pemuda itu, dibalas dengan anggukan Lucianna.

Rucarion menatap lekat Lucianna untuk waktu yang lama. Sebelum akhirnya pemuda itu membalikkan badannya. "Kau tahu, pagi tadi Mark juga memanggilmu begitu kan? Lagipula itu hanya mimpi," ujar pemuda itu santai sambil berjalan ke arah meja tempat mereka duduk tadi untuk merapikan kursi mereka.

Lucianna mendadak teringat pada kejadian tadi pagi, saat Mark tiba-tiba muncul di hadapannya. Dengan sebuah cengiran bersalah, gadis itu berjalan ke arah Rucarion yang sedang sibuk merapikan kursi. "Kau benar, mungkin itu hanya mimpi..." ujar gadis itu sambil menggaruk pelan pelipisnya yang tidak gatal.

"Wah-wah, sedang apa kalian di sini?" sebuah suara tiba-tiba saja muncul dan mengejutkan mereka.

"Madame Wellifer!" seru Lucianna melihat sosok wanita paruh baya lengkap dengan seragam tradisionalnya. Matanya abu-abunya yang teduh dan lembut memberikan sorot mata keibuan, walaupun sebenarnya dia tidak lagi bisa melihat.

"Niss White," ujar Wellifer lembut. "Apa yang kau lakukan di sini?" tanya wanita itu. "Siapa yang berdiri di sana bersamamu?"

Rucarion tidak mengubah tatapan maupun nada bicaranya. "Namaku Rucarion Greene, aku-" ucapan Rucarion dipotong oleh Madame Wellifer.

"Oh, aku tahu," ujar wanita itu tersenyum lembut. "Angin sering bercerita tentang dirimu yang kerap berbuat onar di lingkungan akademi."

Perkataan Madame Wellifer membuat Rucarion membuang muka. Dia memang suka membuat onar dan mencari sensasi. Entah mengapa, hal itu menyenangkan baginya.

"Jikalau begitu, bukankah seharusnya kau tahu apa yang kami lakukan di sini? Bukankah angin akan memberitahukannya padamu?" cibir Rucarion sengit ke arah wanita itu.

Madame Wellifer tertawa kecil. "Hoho... kau anak yang kritis. Aku baru saja hendak mengunci tempat ini, tapi aku mendengar suara kalian."

"Bagaimana kalau kalian berdua berkunjung ke tempatku nanti malam?" tanya wanita paruh baya itu. "Niss White, kau sudah tahu tempatnya kan? Akan kuseduh teh chamomile kali ini. Aku akan kembali sepuluh menit lagi."

Setelah mengatakan hal itu, Madame Wellifer segera berlalu.

Sepeninggalan Wellifer, Rucarion mendelik ke arah Lucianna.

"Sudah tahu tempatnya? Kau pernah diundang Wellifer ke tempatnya?!" tanya Rucarion dengan nada tidak percaya. Lucianna yang terkejut hanya bisa mengangguk mengiyakan.

"Kau gila! Bagaimana bisa?! Bahkan Rose yang senantiasa menempel padanya belum pernah diajaknya ke sana! Sementara kau akan dibuatkan teh olehnya!" lanjut Rucarion lagi.

"Ini gila... sekarang aku mendapat kehormatan untuk masuk ke sana dan minum teh bersamanya? Bagaimana ini?!" tanya Rucarion mulai panik kepada dirinya sendiri.

Lucianna menatap pemuda itu heran, "Kau sangat mengidolakan Madame Wellifer?" tanya gadis itu polos, disambut dengan tatapan tajam dari Rucarion.

"Aku kemarin bilang padamu untuk mencuri hatinya dan mengorek informasi mengenai ujian Dichornia, tapi tidak kusangka kau melakukannya secepat ini..." ujar Rucarion dengan tatapan tidak percaya. Sementara Lucianna masih dibingungkan dengan tingkahnya.

"Persetan dengan itu, aku harus bersiap-siap sekarang," setelah mengatakan hal itu, Rucarion segera berlari ke luar meninggalkan Lucianna yang masih kebingungan.

Lucianna mendengus kesal. "Kau bilang kau tidak akan meninggalkanku sendiri..." lirihnya sambil menatap kedua tangannya.

'Emosiku bisa membunuhku, aku harus berhati-hati sekarang,' batin gadis itu sambil berjalan ke arah pintu keluar.

Degg!

Sesaat sebelum Lucianna melangkah keluar, gadis itu merasakan sakit pada kepalanya. Sakit yang terasa dalam waktu sekian detik.

"Aphrossa..."

"Aphrossa..."

Dalam sakitnya, Lucianna mendengar bisikan suara lembut, sementara di sekelilingnya tidak ada siapapun. Gadis itu bergidik ngeri dan pergi meninggalkan ruangan itu secepat yang dia bisa.

Tapi di dalam benaknya tercipta sebuah pertanyaan baru.

Apa itu tadi?

Magtera RorantaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang