Bab 9

2K 77 0
                                    

Karena hal tersebut aku hanya bisa terdiam seperti orang bodoh yang baru saja kecolongan. Ya.. aku kecurian..ciuman pertamaku.. itupun kalau hal tersebut bisa dikatakan ciuman sih. Tapi tetap saja dia melakukan hal yang gila yang membuatku berteriak didalam hati dan pikiranku. Dalam keterdiamanku aku mencoba untuk menyusun kembali pikiran dan perasaan yang terombang-ambing dan acak-adut akibat perbuatan gila cowok itu. Selama ini aku hanya bisa membayangkan hal tersebut terjadi di novel roman picisan dan komik-komik serial cantik yang selama ini kubaca sebagai selingan, tidak pernah membayangkan akan datang suatu hari dimana kejadian tersebut terjadi padaku. Dan akhirnya ketika hal itu terjadi padaku aku tidak tahu apa yang harus kulakukan.

Aku yakin kini wajahku sudah memerah, dan ketika aku berusaha untuk melupakan kejadian barusan, aku semakin teringat. Apalagi ekspresi wajahnya setelah menjilat ujung bibirku itu. Oh my god, ekspresi bad boy yang hanya bisa kulihat di komik dan anime yang selama ini ku tonton, yang selalu menjadi alasan utamaku untuk tidak meninggalkan mereka. Arrgghhh... rasanya aku ingin berteriak tapi tak sanggup.

"Rin?? Kamu baik-baik aja?? Muka kamu merah loh.." ucapan itu membuyarkan pikiran kacau bin ngawur yang dari tadi seliwuran di otakku.

"Oh Rio.. siapa tadi yang ngetuk pintu??" tanyaku tanpa menjawab pertanyaannya

"Rio??" tanyanya dengan memicingkan wajahnya dan kembali mendekatkan posisinya

"Mas Rio maksudnya.." ucapku spontan sambil membuat jarak kembali dengannya, tapi kembali hal tersebut gagal karena dia kembali menarikku kedalam pelukannya. Ketika aku berusaha untuk bangkit, tangannya memeluk pinggangku yang menahanku untuk berdiri dan dia menarikku untuk bersender di dadanya. Posisi kami ini bisa dibilang sedikit 'intim' dan semakin membuatku salah tingkah. Satu-satunya kegiatan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah kembali memakan sundaeku yang masih setia berada di peganganku.

Entah sudah berapa lama kami dalam posisi seperti ini, yang jelas aku merasa lama sekali. Tapi selama itu pula Rio tidak berbicara apa-apa. Aku hanya takut keheningan ini akan memberitahunya betapa kerasnya debaran jantung ini.

"Ada rencana apa kedepan??" akhirnya dia mengeluarkan suaranya juga

"Hmm.. minggu depan ke Sawahlunto, teruss sepulang dari sana ke lokasi proyek di Palembang, abis itu di Jakarta sekitar 3 minggu, setelah itu gantiin jadwal temen di proyek pembangunan di Jakarta, habis itu stay lagi seminggu, dan setelah itu ada proyek di Pekanbaru, abis itu tanggal kita.." jawabku sambil mengingat-ingat jadwalku untuk 3 bulan kedepan

"Ke Sawahlunto ngapain??" tanyanya lagi tapi kini kepalanya bertumpu dikepalaku

"Acara nikahannya si Fauzan sama Icha.." jawabku sambil berusaha melepaskan tumpuannya, dikira gak berat apa.

"Hmm.. berapa lama tuh??" tanyanya tapi kini kepalanya sudah berpindah menjadi di celah leherku

"Seminggu aja kok.. btw bisa menyingkir dari sana gak.. geli tahu.." jawabku sambil berusaha memberontak, namun gagal karena tangannya yang memeluk pinggangku.

"Kok lama banget... acaranya bukannya sehari aja??" tanyanya dan kini dia sudah menyingkir dari sana, tapi posisi kami semakin berbahaya. Dia menyenderkan badannya ke tangan sofa dibelakangnya dan meluruskan kakinya yang menyebabkan kakiku juga ikutan lurus didalam kedua kakinya dan badanku semakin kebelakang bersender didada bidangnya.

"Ehmm.. bisa lepasin aku gak??" tanyaku dengan suara memelas, karena aku udah gak tahan lagi dalam posisi berbahaya seperti ini. Jantungku udah gak tahu gimana debarannya, kalau bisa meledak dia udah meledak dari beberapa detik yang lalu.

"Emang kenapa?? Aku nyaman kok.." jawabnya dan aku semakin menggerutu didalam hati. Situ iya nyaman, sini yang gak nyaman.

"Teruss kenapa sampe seminggu disana??" lanjutnya tanpa memperdulikan posisiku

My Wedding Blues (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang