Bab 41

1.2K 63 8
                                    


Hari ketiga proyek berjalan sedikit canggung. Akibat kerusuhan yang terjadi kemarin, banyak gosip beredar yang membuatku sedikit canggung. Rama masih bersikap professional saat jam kerja berlangsung. Namun begitu tiba waktu istirahat dia kembali menjadi Rama yang menyebalkan sekaligus menyenangkan. Rama yang dulu ku kenal dan ku cintai. Beberapa kali Dion dan Roy menegurku untuk tidak terlibat masalah selama pengerjaan proyek ini dan aku bersyukur memiliki teman tim seperti mereka.

"Aii.. apa benar-benar tidak ada kata maaf dari mu?? Aku sungguh-sungguh menyesal Ai.." ucap Rama untuk kesekian kalinya hari ini.

"Ram.. kita lagi di tempat kerja.. tidak seharusnya lu bersikap seperti ini.. lu itu kepala proyek disini.. bersikaplah professional tanpa mencampur adukkan masalah pribadi disini.." protesku ketika amarah ini sudah mencapai puncaknya.

"Tapii Ai.. bagaimana mungkin aku bisa bersikap professional ketika wanita yang kucintai berada di depan mataku??"

"Tidak usah gombal Ram... gak akan mempan.. sudahlah lebih baik aku kembali ke lapangan.. masih banyak yang harus kulihat.." ucapku dan langsung keluar dari ruangan yang mulai menyesakkan dada itu.

Kali ini aku benar-benar berusaha untuk focus pada pekerjaan ku. Selain karena kehadiran Rama kembali, kata-katanya tadi mampu menciptakan gelombang aneh di hatiku.

"Airin... lu cek lantai 6 yaa.. gue cek lantai 4 dan Roy cek lantai 5.." perintah Dion ketika aku memberi laporan.

"Okeyy..." sahut aku dan Roy.

Awalnya kami berjalan bersama menuju gedung yang akan kami inspeksi, namun di pertengahan jalan kami berpisah menuju lantai masing-masing. Biasanya kita akan ditemani oleh tiga orang pekerja yang sangat mengerti dengan tata letak di lokasi, namun kali ini entah kenapa yang menemani kami hanya dua orang. Awalnya aku tidak mengambil pusing, mungkin pekerja yang senggang hanya mereka berdua. Tapi ketika aku menapakkan kaki dilantai 6 yang menjadi tujuanku, aku merasakan keanehan. Aku merasa aku sedang diamati oleh seseorang dan tatapannya itu bersifat jahat. Entah kenapa aku merasa seperti itu saja.

"Aii.." panggilan menyebalkan itu kembali menyapa ketika aku baru melangkah beberapa langkah dari tangga.

"..." belum sempat aku menyahuti panggilan itu aku kehilangan keseimbanganku.

Tanpa bisa dicegah, badanku terguling kebawah. Terguling diatas tangga yang masih kasar dan berbahan dasar beton, membuatku menahan rasa sakit yang muncul di sekujur tubuhku yang tidak tertutupi oleh baju. Panik, aku berusaha untuk menahan kejatuhanku sehingga tidak jatuh terlalu jauh, namun mustahil. Sebelum aku benar-benar menghantam lantai dibawah yang seingatku masih ada beberapa besi mencuat dari betonnya, aku menubruk sesuatu dengan keras.

"Ughh.." erangku ketika berhasil menubruk benda keras itu.

"Aiii.. sadar.." panggil seseorang dengan panik dan aku bisa mendengar seruan-seruan panik lainnya.

"Ughh.." hanya erangan itu yang bisa kukeluarkan sementara ini. Pikiranku masih berkabut akibat panik yang melanda. Samar-samar aku mengingat ada yang mendorongku sebelum aku kehilangan keseimbanganku. Namun pertanyaannya, siapa? Tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam area proyek, selain pekerja dan pengamat seperti timku.

"Cepat bawa ke ruang kesehatan.." seru seseorang lainnya dan aku merasa badanku melayang, seperti di gendong.

Aku menutup mataku sejenak guna menenangkan pikiran dan jantungku yang berdetak liar. Berhitung dalam hati merupakan salah satu cara menenangkan diri yang kupelajari lewat internet dulu. Saat hitunganku mencapai angka 90, aku merasakan badanku diatas sesuatu yang lumayan keras. Kurasa aku sudah tiba di ruang kesehatan.

My Wedding Blues (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang