Sepeninggalnya dokter tersebut aku berbaring di atas tempat tidur sambil memikirkan kejadian hari ini. Kejadian kali ini bukan hanya sekedar kecelakaan, tapi percobaan pembunuhan. Aku tahu targetnya adalah aku, beberapa kejadian yang terjadi menyimpulkan hal itu. Aku marah, aku geram, karena dia bukan hanya menargetkanku melainkan melibatkan keluarga dan teman-temanku. Siapapun dia, dia pasti memiliki dendam padaku. Tiba-tiba aku mengingat perkataannya sebelum dia pergi begitu saja, 'gue ingetin sekali lagi, batalkan pernikahan lu dengan Rio'. Perkataan itu langsung mengingatkaku ke beberapa telpon misterius yang akhir-akhir ini tidak terdengar. Sudah kuduga kalau pelakunya adalah orang yang sama. Hanya saja aku belum tahu siapa dalang sesungguhnya. Tapi suara tadi seperti suara yang pernah kudengar, hanya saja aku lupa suara siapa itu.
"Airinn.." panggil seseorang tidak jauh dari tempat tidurku, mengaburkan semua pikiranku.
"Ohh bunda.. Airin disini.." sahutku sambil melambaikan tanganku agar bunda dapat melihatnya.
"Astagfirullah nak..kamu kenapa?? Mana Egi?" Tanya bunda begitu tiba di tempat tidurku.
"Airin juga gak tahu bun.. tiba-tiba aja.. Egi disebelah.." jawabku sedikit berbohong, tidak ingin menambah ke khawatiran bunda, lalu membuka tirai tempat tidur Egi dan menampilkan Egi yang masih tidak sadarkan diri dengan perban di seluruh tubuhnya serta perban di kaki kirinya.
"Astagfirullah.. Egiii..." ucap bunda hampir histeris.
"Udahlah bun.. nanti juga Egi bangun.. ngomong-ngomong bunda sama siapa kesini??" tanyaku berusaha untuk menenangkan bunda.
"Sama semuanyaa.. mereka nunggu di luar, karena gak boleh rame-rame masuk UGD.. gimana keadaan kamu dan Egi?? Egi kita pindahin aja ya ke kamar inapnyaa.." ucap bunda.
"Rin baik-baik aja.. cuman luka lecet ajaa.. udah biasa kok.. iya bun.. rencana Rin tadi juga mau mindahin Egi segera cuman bunda keburu datang.." sahutku dan bunda dengan cekatannya langsung mengurus kepindahan Egi dan dalam sekejab Egi sudah pindah ke ruang VIP di rumah sakit ini.
"Kamu gimana?? Perlu rawat inap juga gak??" Tanya Mas Ryan begitu kami kumpul di kamar.
"Buat apa mas.. kan aku masih bisa jalan.. dan sadar jugaa.." jawabku sedikit kesal dengan pertanyaan isengnya itu.
"Yaa kan kali aja kamu butuh istirahat.. dari kemarin kamu udah ngalamin hari yang berat kann.." ucapnya sambil mengacak pelan rambutku.
"Tenang ajaa... Rin masih sanggup kok.. oh iyaa Rei sama mba mana??" tanyaku karena sejak tadi tidak melihat kehadiran dua manusia itu.
"Mba mu lagi nemenin Rei main di taman bawah.. tadi kata bunda belum boleh masuk kalau kamar Egi belum dapat.. mungkin bentar lagi mereka akan tiba.. kamu gak ngasih kabar ke Rio??"
"Ohh iyaa Rin lupaa.. sangking paniknyaa.."
"Yaudahh kabarin sana.. nanti dianya jantungan lagi pas dapat kabar belakangan.."
"Okeyy dehh kalau gitu Rin keluar dulu yaa.."
"Yaudah sanaa.."
Aku pun keluar dari kamar itu dan menelpon Mas Rio yang ternyata sudah menelponku beberapa kali saat aku panic tadi.
"Halo mas.." sapaku begitu tersambung.
"Haloo Rin.. kamu udah dirumah?? Tadi pulang sama siapa??"
"Di rumah sihh... tapi rumah sakit.. pulang sama Egi.."
"HAHHHH!!! Rumah sakit?? Kamu kenapa?? Rumah sakit mana??"
"Iyaa.. rumah sakit YY, tadi aku kecelakaan sama Egi.. akunya baik-baik aja.. tapi Egi masih belum sadar dan sekarang di rawat di rumah sakit.. di lantai 6 kamar no 602.." ucapku berusaha untuk menenangkan Mas Rio yang jelas terdengar panic
"Okeyy.. sekarang juga mas kesana.. tapi kamu bener baik-baik aja kan??"
"Iya mas.. aku baik-baik aja... kesini aja kalau mau liat buktinya.." ucapku dan panggilan langsung terputus.
Aku berjalan kembali menuju kamar dan mendapati Rei serta Mba Ika sudah berada disana. Rei yang melihatku masuk langsung berlari dan memelukku sangat erat seakan-akan memastikan aku masih hidup.
"Ouch.. Aku baik-baik aja Rei.." ucapku membalas pelukannya sambil menahan sakit akibat pelukannya yang sangat erat menekan luka di sisi perutku. Aku dapat merasakan bahunya bergetar tanda dia menangis.
"Aunty baik-baik aja?? Ada yang sakit?? Ini darah apa??" tanyanya begitu melihat bekas darah di bajuku.
"Aku baik-baik aja kok.. ohh ini cuma luka aja.. nih liat.. gak apa-apa kan.." jawabku sambil menunjukkan luka di sisi perutku yang membuatnya semakin histeris.
"Aduhh kenapa jadi makin kenceng nangisnyaaa..." gumamku sambil berlutut di depannya yang kini sedang menangis sangat kencang.
"Kenapa Rei nangis??" Tanya Mba Ika sambil berjalan mendekat
"Gak tahu nih.. tadi Rin cuma ngasih tunjuk luka yang di sisi perut langsung nangis dianyaa..." jawabku kebingungan melihat tingkahnya
"Wahh ada luka baru lagi Rin??" Tanya Mba Ika kaget
"Luka kecil doang kok.. gak sampe di jahit.. santai ajaa..."
"Hooo.. mungkin dia terlalu khawatir tuh.. udah kamu diemin gihh.. mba mau duduk dulu.." ucapnya yang langsung berlalu menuju sofa yang ada di kamar itu.
"Tenanglah Rei.. aku masih disini dan akan selalu disini.. jangan khawatir.." ucapku kembali dan kini aku menggendongnya lalu membawanya duduk di sebelah Mba Ika.
"Gimana respon Rio??" Tanya Mas Ryan saat aku masih menenangkan Rei.
"Dia dalam perjalanan kesini kok.. Egi masih belum sadar mas??"
"Belum.. kata dokter kemungkinannya nanti malam.."
"Owh.." ucapku lesu.
Selama beberapa jam tidak banyak yang berbicara. Ayah dan bunda sibuk memperhatikan Egi yang masih setia dengan tidurnya. Mas Ryan dan Mba Ika hanya memperhatikan Egi dan aku secara bergantian setiap beberapa menit sekali, memastikan aku tidak mengalami kerusakan lebih dari yang terlihat. Sedangkan Rei masih setia di dalam pelukanku, bahkan kini dia sedang tertidur dengan menggenggam erat sisi bajuku, tidak mau dipisahkan dari ku.
"Assalamualaikum.." panggil sebuah suara dari balik pintu. Mas Ryan yang membukakan pintu tersebut dan mempersilahkan Rio masuk.
"Hei Rin.." sapanya begitu melihatku duduk sambil memeluk Rei yang tertidur.
"Haii.." balasku lemah.
"Kamu baik-baik aja??" tanyanya dan duduk di sisiku.
"Seperti yang mas lihat.. baik walaupun ada beberapa luka.. tapi tidak masalah.." jawabku dan dia langsung memeluk bahuku serta menyandarkan kepalaku di bahunya.
Baru kali ini aku merasakan kenyaman yang luar biasa ketika bersender pada seseorang. Baru kali ini aku merasakan kelegaan yang amat sangat sehingga menyebabkanku ingin menangis. Akhirnya tangis yang sejak awal sudah kuredam kini mengalir bagai air sungai, dan Mas Rio langsung merengkuhku dan membenamkan wajahku di dada bidangnya. Aku menangis beberapa saat sebelum akhirnya berhenti ketika mendengar pertanyaan menyebalkan itu terlontar dari sisi tempat tidur. Sisi dimana Egi yang terlelap akhirnya bangun.
"Kak Airin nangis lagi??" tanyanya dengan nada yang sangat menyebalkan.
つづく
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wedding Blues (END)
Romance"apakah dia akan menjadi cinta sejati sekaligus suamiku?" adalah apa yang aku pikirkan setelah menerima lamaran dadakannya malam itu, tapi semakin ku pikirkan semakin aku menjadi takut akan pernikahan. sanggupkah aku menjalani perjalanan menuju kes...