Hari kedua di proyek berlangsung seperti kemarin. Aku mencatat apa-apa saja hasil inspeksi dan menyusunnya secara teratur. Semua berjalan lancar hingga tiba waktu makan siang. Entah dia tahu darimana aku berada di proyek ini atau memang dia sejak awal sudah tahu, Rama tiba-tiba menghampiri meja makan siangku dan duduk tepat disampingku. Dion dan Roy yang duduk didepanku hanya mampu menatap laki-laki ini dengan bingung.
"Haii.."sapanya dengan wajah penuh senyuman. Aku tidak menanggapi sapaannya tersebut dan melanjutkan makan seolah-olah dia tidak ada disana.
"Dingin banget sih Ai..." gerutunya
"Pak Rama kenal dengan Airin??" akhirnya Dion berhasil menemukan kembali suaranya.
"Kenal kok.. mungkin Ai masih marah sama saya.. makanya dia dingin banget sama saya.." jawab Rama dengan santai.
Tunggu sebentar, tadi Dion memanggil Rama dengan sebutan Bapak? Kenapa dia harus seformal itu dengan Rama? Memangnya Rama siapa?. Pertanyaan itu berputar di kepalaku hingga Rama memberikan jawaban diluar bayanganku.
"Kamu pasti lupa deh.. kan aku kepala arsitek proyek ini... tadi pagi kan udah kenalan juga.." ucap Rama seakan mampu membaca pikiranku.
"Maafkan dia pak.. tadi pagi dia focus dengan tugasnya, jadi gak terlalu memperhatikan perkenalan bapak.." ucap Roy memberi penjelasan.
"Ohh tidak apa.. saya tidak akan marah.. lagi pula melihat Ai di lokasi setelah lama tidak melihatnya saja sudah cukup untuk saya.. saya hanya ingin memperbaiki hubungan kami saja.. tidak enak jika terus menerus bertengkar seperti ini.. gimana Ai?? Mau baikan dengan ku??" ucap Rama kembali dengan senyuman favoritku.
"In your dream Ram.. no way to the hell.." balasku cukup dingin sebelum beranjak menjauhi kantin.
Kalau mengingat tentang Rama, banyak sekali kenangan yang tidak ingin ku bangkitkan kembali. Memang banyak kenangan manis antara kami tapi semua tertutupi oleh kenangan buruk yang diciptakannya sendiri. Kalau boleh jujur Rama adalah cinta pertamaku dulu. Laki-laki yang mampu meruntuhkan dinding tebal di hatiku dan membuatku jatuh untuk pertama kalinya di dalam lubang bernama cinta. Dia juga laki-laki pertama yang mampu membuatku menangis semalaman hanya karena tingkah menyebalkannya. Pertama kali dalam hidupku yang normal, aku merasa special jika berada disampingnya. Namun semua berakhir menyakitkan ketika dia lebih memilih untuk meninggalkanku dan bersama mantannya berjalan diatas pelaminan yang pernah kami rancang secara bercanda dulu. Hal itu yang membuatku menjadi apatis terhadap cinta. Jika cinta mampu membuat orang jatuh begitu dalam hingga tidak menyadari apapun maka lebih baik aku tidak mengenal cinta.
Namun sialnya saat ini aku sedang berada di dalam lubang yang sama. Hanya berbeda pemilik. Aku selalu takut jika lubang ini sama dengan lubang yang dulu. Aku selalu berusaha membuat hatiku untuk tidak melupakan kelam dan gelapnya lubang yang dulu, namun hati ini selalu melihat cahaya didalam lubang ini sehingga mau tidak mau aku semakin masuk ke dalamnya.
"Ai... maafkan aku.. aku benar-benar tidak ingin hubungan kita menjadi seperti ini... aku akui saat itu aku bodoh dengan meninggalkanmu dan memilih Lila.. aku bodoh meninggalkan wanita yang benar-benar mencintaiku dan lebih memilih wanita yang hanya memikirkan hartaku.. aku benar-benar menyesal.. tidak bisakah kita menjadi seperti dulu lagi??" ucap Rama saat kami bertemu lagi di jam pulang.
"Hentikan saja semua omong kosong itu Ram... terlalu sering lu bilang hal itu dulu.. dan gue udah terlalu lelah untuk percaya dengan omong kosong itu.. lagi pula saat ini gue sudah memiliki laki-laki lain yang mampu membuat gue bahagia.. jadi gue gak butuh apa-apa dari lu lagi Ram.." balasku yang langsung melangkah keluar dari ruangan sebelum banyak yang bertanya.
"Aii.." seru Rama yang tidak kuhiraukan dan terus melangkah menuju gerbang dimana Mas Rio sudah menungguku.
"Heii Rin.. kamu kenapa buru-buru gitu??" sapa Mas Rio yang ternyata menungguku di pos satpam.
"Gak apa-apa kok mas.. kok nunggu disini? Kenapa gak nunggu didalam mobil aja? Kan lebih nyaman.." ucapku bingung
"Gak apa-apa.. mas pengen lihat aja kerjaan kamu kayak gimana..." balasnya.
"Rin.. dia itu siapa??" tiba-tiba Mas Rio bertanya dengan suara yang tertahan dan aku langsung berbalik untuk melihat siapa yang dimaksudnya.
"Siapa mas?? Dion dan Roy?? Bukannya mas udah tahu mereka yaa.." ucapku ketika melihat Dion dan Roy berjalan menuju tempat kami
"Bukan mereka.. tapi laki-laki yang melihatmu dengan tatapan menyebalkannya itu.." ucap Mas Rio dan saat itu juga mataku menatap langsung ke mata Rama yang ternyata berjalan tidak jauh dari Dion dan Roy.
"Siapa mas??" tanyaku berusaha untuk menutupi keberadaan Rama.
"Haii Ai.. siapa dia??" Tanya Rama dengan menyebalkannya. Bukannya berjalan pulang, dia malah berjalan mendekatiku dan Mas Rio. Ughh sungguh menyebalkan.
"Bukan urusan lu Ram.." jawabku berusaha untuk tidak peduli dan dingin. Namun sepertinya Mas Rio dapat menangkap sesuatu dari pandangan Rama kearahku.
"Apa dia laki-laki yang mampu membuatmu bahagia Ai?" kembali Rama bertanya namun kali ini wajahnya tidak lagi menunjukkan kebahagiaan melainkan kesedihan.
"Yaa.. dia calon suami gue Ram.. dan gue akan nikah dengan dia kurang dari sebulan lagi.." jawabku tanpa menatap wajahnya. Aku takut khilaf dengan wajah sedihnya.
"Apa benar-benar tidak ada kesempatan lagi buatku Ai??" sungguh aku tidak habis pikir apa yang dipikirkan oleh Rama sehingga dia mampu bertanya hal itu. Biasanya kalau orang di beritahu tentang kabar pernikahan pastilah sudah tidak ada kesempatan lagi bukan.. tapi kenapa dia masih bersikeras untuk memiliki kesempatan lain?
"Maaf anda siapa ya?? Ada urusan apa anda dengan calon istri saya?" kali ini Mas Rio bertanya dengan sangat dingin. Aku tahu saat ini dia sedang marah, bukan padaku tapi pada laki-laki didepan kami yang masih meminta kesempatan.
"Saya Rama.. mantan pacarnya Airin.. maaf kalau saya bersikap lancang.. tapi saya hanya ingin meminta Airin untuk memaafkan saya.. tapi sepertinya kesalahan saya sangat fatal.. maafkan aku Aii.." ucap Rama sebelum akhirnya melangkah pergi meniggalkan aku, Mas Rio, Dion dan Roy yang tidak sengaja mendengar pembicaraan.
"Rin.. kita pulang sekarang.." ucap Mas Rio tanpa melirikku dan menarikku begitu saja menuju parkiran.
Selama perjalanan pulang Mas Rio sama sekali tidak bersuara. Aku tidak tahu dia marah pada siapa, padaku atau pada masa lalu ku? Biarkan sajalah dulu, mungkin Mas Rio memilih untuk tidak meminta penjelasan apapun dariku.
つづく
KAMU SEDANG MEMBACA
My Wedding Blues (END)
Romance"apakah dia akan menjadi cinta sejati sekaligus suamiku?" adalah apa yang aku pikirkan setelah menerima lamaran dadakannya malam itu, tapi semakin ku pikirkan semakin aku menjadi takut akan pernikahan. sanggupkah aku menjalani perjalanan menuju kes...